Sebuah ketukan membangunkan lelapnya. Arya menggeliat kerena tubuh yang terasa pegal. Malam panasnya bersama sang kekasih membuat lelaki itu enggan bangun.
Matanya mengerjap beberapa kali. Lalu, dengan perlahan lelaki itu duduk. Entah jam berapa kekasihnya pulang. Dia bahkan tak sadar saat wanita itu meninggalkan kamar.
"Siapa?" teriaknya kesal.
Tak ada jawaban hingga Arya berjalan membuka pintu dengan malas. Lelaki itu tersentak saat mendapati siapa sosok di baliknya. Seperti biasa, tatapan sinisnya begitu kentara.
Tiara berdiri sembari menunduk. Gadis itu memakai kaus longgar dan rok batik. Selama berada di sini dia tak diperkenankan memakai pakaian bagus.
"Ada apa?"
"Katanya saya diminta membersihkan kamar Den Arya," jawab Tiara jujur.
"Oh, ya. Masuk."
Arya membuka pintu lebih lebar dan memberikan kode agar Tiara segara masuk. Lelaki itu menyusul di belakang dengan tetap membiarkan pintunya terbuka.
Untuk sesaat, Tiara tertegun melihat isinya. Seumur hidup gadis itu belum pernah melihat kemewahan seperti ini.
"Duh. Gusti," batinnya.
Kamar Arya di desain dengan warna kuning gading. Semua perabotan terbuat dari kayu ukir dengan nuansa emas. Hawa dingin langsung menerpa kulit karena AC yang dinyalakan tanpa henti.
Lampu kristal yang tergantung di langit-langit membuat Tiara ngeri. Entah mengapa wanita itu membayangkan lampunya jatuh seperti di film-film.
Sungguh ini seperti kamar di istana para raja zaman dulu kala. Ternyata Tuan Baskoro pintar menyembunyikan kemewahan di dalam pedesaaan.
"Jangan begong," tegur Arya.
"Maaf, Den. Apa yang harus saya kerjakan?"
Tiara kembali menunduk karena tak berani menatap Arya. Saat ini batinnya terus berdoa agar semua berjalan lancar. Jangan sampai membuat kesalahan, karena sekecil apa pun itu, malah akan menjadi besar.
"Ada barangku yang jatuh di bawah tempat tidur. Coba kamu cari," titah Arya.
Tiara bergumam dalam hati. Harusnya sang tuan menyuruh pelayan lelaki yang melakukannya. Tempat tidurnya berat karena terbuat dari besi. Mana sanggup dia menggesernya.
"Tapi saya ndak bisa--"
"Kamu masuk saja ke kolong tempat tidur. Lalu ambilkan jam tanganku," ketus Arya.
Tiara mulai berjongkok dan menunduk ke arah kolong, mencari-cari benda yang dimaksud tuannya.
"Ehem!"
Suara itu membuat Tiara terkejut. Ternyata Arya alergi dengan debu-debu yang dihasilkan Tiara, saat mulai mencari jam tangan dengan sapu.
"Apa saya--"
"Cepat sedikit! Aku alergi debu."
Tiara mendengkus lalu melaksanakan perintah. Sekalipun keberadaannya sebagai jaminan atas perbuatan ibunya, gadis itu tak rela diperlakukan seperti ini.
Perlahan, Tiara mendorong tubuhnya ke bawah ranjang dan mulai meraba-raba. Untungnya gadis itu berpostur mungil sehingga lebih leluasa bergerak.
"Ada?"
"Belum ketemu. Ndak tau di sebelah mana?" jawab Tiara sembari berteriak.
"Jangan lama-lama. Aku mau pergi dan pakai jamnya."
"Kalau begitu Den Arya bantu saya. Jangan diam saja," usul Tiara.
Arya tertegun mendengarnya. Selama ini belum pernah ada orang di rumah ini yang berucap seperti itu. Namun, entah mengapa kali ini dia menuruti apa yang diminta Tiara.
"Aku bantu apa?"
"Ambilkan senter. Di bawah sini gelap."
Ranjang besi itu cukup kokoh walau usianya sudah puluhan tahun. Namun, kekurangannya hanya satu. Jika orang yang berada di atasnya bergerak, akan terdengar derit yang mengganggu.
Baskoro masih mempertahankan barang-barang peninggalan leluhur. Pada zaman dahulu ranjang besi seperti itu termasuk barang yang mewah. Apalagi milik keluarganya yang paling mahal.
"Aku ndak punya senter," jawab Arya malas.
"Coba cari dulu. Apa saja yang penting ada cahaya."
Arya terdiam sejenak, lalu mengambil ponsel dan menyalakan fitur senter. Lelaki itu ikut berjongkok dengan kepala menunduk ke bawah ranjang.
"Ada ndak?"
"Belum ketemu."
Tiara masih mencoba meraba-raba hingga akhirnya tangannya menyentuh sebuah besi dingin. Gadis itu langsung menggenggamnya untuk memastikan apakah itu jam yang dimaksud.
"Sudah ketemu, Den."
Tiara mengatakan itu dengan nada girang. Wanita itu bahkan lupa statusnya karena euforia. Dia bergegas keluar dan menyodorkan jam kepada Arya.
"Bagus!" puji Arya senang.
Tiara membalasnya dengan senyuman, lalu menepuk-nepuk kausnya yang kotor karena terkena debu.
"Di bawah kotor sekali," ucapnya polos.
"Ah masa? Bukannya setiap hari dibersihkan."
"Itu coba Den Arya lihat."
Tiara menunjuk kausnya yang pnuh debu. Gadis itu bahkan menutup hidung agar tak terhirup.
"Sepertinya yang membersihkan kamarku kurang teliti," gumam Arya.
Tiara mengangguk untuk membenarkan ucapannya tuannya. Gadis itu hendak berpamitan saat tiba-tiba saja Arya menahan lengannya.
Jantung Tiara berdebar. Sungguh dia takut akan sentuhan itu. Bukan karena mereka sudah suami istri. Namun, dia trauma akan penyiksaan.
"Mulai besok, kamu yang bertugas membersihkan kamarku."
Arya mengucapkan itu dengan yakin. Bagaimanapun dia harus berterima kasih karena Tiara sudah membantu menemukan jam kesayanganya.
"Tapi bukannya Den Arya ndak suka sama saya--"
"Ndak ada tapi-tapian. Mulai besok tugasmu membersihkan kamarku. Urusan dapur biar Ningsih yang mengerjakannya."
Setelah mengucapkan itu, Arya mendorong Tiara keluar dan segera menutup pintu.
***
"Cincinmu bagus," sindir Ningsih.
"Sepertinya mahal."
"Jangan-Jangan dari hasil ibumu menjual diri--"
Brak!
Tiara sengaja menyenggol galon kosong hingga terjatuh. Hal itu membuat ucapan Ningsih terhenti. Siapa pun boleh menghinanya, tetapi jangan sampai merendahkan ibunya.
"Cincin ini milikku. Mau aku dapat dari mana itu bukan urusan Bibik."
"Eh berani njawab. Mentang-mentang dilindungi sama Den Arya."
"Tentu saja. Dia kan su--"
"Apa?"
"Majikanku," ralat Tiara.
Tak satupun orang dapur yang tahu mengenai pernikahan mereka. Hanya beberapa pengawal kepercayaan yang menyimpan rahasia.
"Aku ndak mau ribut sama siapapun di rumah ini. Aku cuma mau bekerja."
"Bagus kalau begitu. Yang rajin supaya ibumu di penjara merasa senang."
Tiara mengepal tangan karena geram. Dia masih muda dan emosinya labil. Mulut Darsih begitu tajam bak pisau, hingga membuatnya kesal.
"Lebih baik Bibik memasak. Aku juga mau mencuci dan mengepel lantai."
Tiara berjalan menuju kamar mandi. Ada setumpuk keset kaki yang harus dibersihkannya.
Tubuhnya terasa pegal tetapi belum waktunya istirahat. Tiara berharap agar magrib segera menjelang.
Tak ada pekerjaan lagi setelah malam tiba. Arya tak pernah makan malam di rumah. Dia akan keluar dan pulang larut malam.
Tiara mengetahuinya karena suara raungan mobil lelaki itu selalu terdengar. Juga malam itu saat Arya membawa wanita.
"Istri rasa pembantu," lirihnya.
"Aku ndak berharap diperlakukan seperti istri juragan besar. Aku justru berharap diceraikan."
Setelah mencuci keset, Tiara mengambil perlengkapan pel. Untungnya dia diperbolehkan memakai alat pel.
Tiara bisa pingsan kalau harus mengepel dengan tangan.
"Pel yang bersih. Jangan sampai ada debu-sebu seperti di kamarku."
Tiara tersentak dan mengangkat wajah. Ternyata Arya melewati ruang tamu. Sepertinya lelaki itu akan pergi.
"Inggih, Den."
"Rajin-rajinlah bekerja agar aku merasa kasihan padamu."
Arya dengan santainya menginjak lantai yang sudah Tiara pel dan berlalu begitu saja. Deras sepatutnya terdengar menggema di ruangan itu.
"Astagfirullah."
Malam di Taiwan itu begitu indah, langit dipenuhi bintang-bintang yang bersinar terang. Seakan memberikan cahaya pada perjalanan baru Tiara dan Reyhan sebagai pasangan suami istri. Suasana kota yang ramai di siang hari kini berubah menjadi tenang dan damai. Dengan suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di sepanjang jalan.Di sebelah mereka, Shara berjalan dengan ceria, menggandeng tangan Tiara. Sementara Darsih, berjalan di samping mereka."Aku nggak percaya kita akhirnya bisa liburan bareng kayak begini," kata Tiara sambil tersenyum lebar ke arah Reyhan. "Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan."Reyhan tersenyum dan merangkul bahu Tiara, "Aku juga merasa begitu. Kita sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini, Tiara. Ini saat yang tepat untuk menikmati hidup."Mereka berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni, menciptakan suasana yang romantis dan hangat.Shara terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar melihat lampu-lampu di sepa
Malam itu, suasana rumah Tiara begitu berbeda. Lampu-lampu kecil berbinar lembut di sepanjang taman belakang, memancarkan nuansa hangat dan romantis.Meja makan yang dihiasi lilin serta kelopak bunga mawar merah menjadi pusat perhatian. Reyhan telah merencanakan semuanya dengan sempurna.Ketika Tiara turun dari tangga, mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, Reyhan menatapnya tanpa berkedip. "Kamu cantik sekali malam ini," ucap Reyhan tulus, berdiri dan meraih tangan Tiara.Tiara tersenyum kecil, menyembunyikan kegugupannya. "Dan kamu selalu tampan," balasnya sambil tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana.Reyhan menarik kursi untuk Tiara. “Silakan, istriku.”Tiara duduk dengan anggun. Reyhan mengisi gelas untuk mereka berdua. Hidangan makan malam pun dimulai dengan suasana hangat. Mereka menikmati makanan favorit Tiara. Ternyata Reyhan sendiri pesan secara khusus dari restoran ternama.“Ini terlalu sempurna,” ucap Tiara setelah menyantap hidangan utamanya.Mata Tiara berb
Tiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan. Gaun itu tidak terlalu mencolok, tapi sangat pas dengan konsep intimate wedding yang mereka rencanakan. Di belakangnya, Shara berdiri memandangi sang mama dengan mata berbinar."Mama cantik sekali," ucap Shara penuh kekaguman.Tiara tersenyum, lalu membungkuk untuk memeluk Shara. "Makasih, Sayang. Kamu juga cantik dengan gaun kecilmu itu."Terdengar ketukan di pintu, lalu Reyhan masuk, mengenakan setelan jas abu-abu yang terlihat santai tapi tetap berkelas. "Apa aku boleh melihat calon istriku?" tanyanya sambil tersenyum.Tiara menoleh dan tersenyum lembut. "Kamu datang terlalu cepat. Kita belum mulai acaranya.""Kalau begitu, aku akan menunggu di luar. Tapi aku harus bilang, kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tiara," Reyhan berkata sambil menatapnya penuh cinta.Saat Tiara hendak menjawab, salah satu panitia kecil mereka datang memanggil. "Semua sudah siap. Kita bisa mulai kapan saja."Tiara dan Reyha
Acara pertunangan Tiara dan Reyhan digelar sederhana namun penuh kehangatan di sebuah restoran yang disewa khusus. Dekorasi ruangan yang didominasi warna pastel dengan lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis. Keluarga dan sahabat terdekat hadir, menyaksikan momen penting itu. Tiara, yang mengenakan dress anggun berwarna peach, tampak menawan. Sementara Reyhan tampil gagah dengan setelan jas abu-abu.Reyhan berdiri di depan semua tamu, mengambil mikrofon, dan mulai berbicara. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara yang sangat spesial ini. Hari ini, saya ingin mengungkapkan rasa syukur karena bisa berdiri di sini. Di samping wanita yang luar biasa, Tiara. Dia adalah alasan aku ingin menjadi pria yang lebih baik setiap hari.”Tiara tersipu, menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu. Termasuk Shara yang duduk di meja depan bersama Darsih, ibu Arya.Setelah pidato singkat Reyhan, seorang pela
Reyhan berdiri di tengah ruangan yang sudah dihias dengan indah untuk opening kedua usaha Tiara, yaitu monuman boba. Tempat itu dipenuhi dengan teman, keluarga, dan rekan bisnis yang datang untuk memberikan dukungan. Bu Dewi dan Rina juga datang. Bahkan anak-anak panti semua ikut serta dan diberikan seragam. Karena usaha yang ini letaknya di ruko dengan halaman luas, Tiara mengundang semua orang yang dikenalnya. Tiara mengenakan gaun simpel berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun. Ia sibuk menyambut tamu, mengobrol dengan beberapa mitra, dan memastikan semuanya berjalan lancar.Saat acara berjalan, Reyhan tampak lebih tenang dari biasanya, meski ada sesuatu yang mengganjal di wajahnya. Ia sering melirik Tiara, menunggu momen yang tepat."Reyhan, kenapa melamun? Semua sudah siap?" tanya Tiara saat menghampirinya dengan segelas minuman di tangan.Reyhan tersenyum. "Iya, semuanya sudah siap. Kamu tenang saja. Hari ini akan berjalan sempurna."Tiara mengangguk sambil membenahi r
Arya duduk di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Langit mendung seperti hatinya. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Bayangan Tiara yang dingin, pelukan Shara yang erat, dan kenangan pahit masa lalu. Ia merasa seperti orang yang kehilangan arah.Arya bergumam pelan."Apa semua ini salahku? Kalau aku dulu tidak gegabah bersikap… mungkin Tiara masih di sisiku. Tapi apa? Aku malah menghancurkan semua."Supir, yang mendengar gumaman itu, bertanya hati-hati."Den Arya, apa Anda baik-baik saja? Perlu kita berhenti sebentar?"Arya menggeleng sambil memaksakan senyum kecil. "Lanjutkan saja, Pak. Kita harus cepat sampai."Tiba-tiba, ponsel Arya bergetar. Ia merogoh benda itu dari saku jas. Nama Raka, salah satu polisi yang menyrlidiki kasus bapaknya, tertera di layar. Dengan cepat, Arya menjawab."Halo, Pak. Ada apa?" tanya Arya sedikit cemas.Suara di ujung telepon terdengar serius. "Mas Arya, kami punya perkembangan penting soal kasus kematian Tuan Baskoro. Kalau memungkinka