Nasib malang menghimpit Rayana ke jalan yang tak pernah diinginkannnya. Rayana terpaksa menjadi istri kedua suami kakaknya—Arya. Bahkan, ia harus mengandung demi kebahagiaan kakaknya. Arya menganggap Rayana sebagai wanita murahan yang berani mengusik rumah tangganya. Namun di balik sikap dingin dan tatapan bencinya, terselip ketertarikan yang perlahan tumbuh dan menyeret mereka untuk berbagi kehangatan.
더 보기“Kalau bukan karena permintaan Ashley, aku tidak akan pernah sudi menyentuh perempuan sepertimu.”
Suara Arya terdengar lantang. Dingin. Menggores tajam, seperti bilah belati menusuk harga diri Rayana. “Aaahh… sakit… Tolong, hentikan…” Rayana merintih. Napasnya putus-putus. Air matanya membanjiri wajah, namun tidak ada tangan yang sudi menghapusnya. Tubuhnya terbaring polos dan tak berdaya, di bawah pria yang tadi siang telah menikahinya secara siri. Arya Chandra Widyantara—suami kakak tirinya yang kini menjadi suaminya juga. Rayana menggeliat, mencoba melepaskan diri, namun sia-sia. Kedua tangannya telah terangkat paksa ke atas, dibelenggu dalam genggaman kuat. Kedua kakinya dikunci, membuat bagian tubuhnya yang sensitif terbuka tanpa ampun. “Jangan kak… aku belum siap…” Namun pria itu tidak menggubris. Tatapannya dingin. Matanya tajam menusuk, tanpa belas kasihan sedikit pun. Rasa takut menyebar cepat di dalam tubuh Rayana, menjalar seperti racun yang menyesakkan dada. “Diam! Perempuan murahan. Ini yang kau inginkan, bukan? Suara Arya menggelegar, dipenuhi kebencian. Napasnya bau alkohol menyengat. Dengan kasar Arya mendorong miliknya kedalam, tanpa peduli teriakan kesakitan yang pecah dari bibir Rayana. “AARRGH!” Tubuh Rayana melengkung dalam jerit tertahan. Malam ini, ia telah kehilangan sesuatu yang paling ia jaga. Rayana Maharani, hanyalah anak adopsi. Putri angkat dari pasangan konglomerat Richard dan Ruby Jansen. Ashley Jansen, putri kandung mereka adalah istri sah Arya Chandra Widyantara—pria yang kini juga menjadi suami Rayana, atas perintah Ashley sendiri. Rayana terisak dalam diam, tubuhnya gemetar hebat. Dingin dari hembusan AC kamar hotel menusuk hingga ke tulang, namun tak sebanding dengan rasa perih dan ngilu yang mencabik dari dalam tubuhnya. Arya bangkit dari atas tubuhnya, berdiri dengan napas berat, lalu meraih handuk dan membungkus tubuhnya sendiri. Ia bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah Rayana yang masih terbaring lemas tak berdaya di atas ranjang. “Bersihkan dirimu. Saat aku kembali, aku tidak ingin melihatmu dalam keadaan menjijikkan seperti itu,” ujarnya datar, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah rutinitas tak berarti. Rayana menarik selimut dengan gemetar, menutupi tubuhnya sendiri sambil menahan rasa sakit yang terus mencengkeram. Bagian bawahnya terasa panas dan perih. Seolah sedang dicabik-cabik. Arya masuk ke kamar mandi, pintunya dibanting keras. "Hiks... Huhuhuhu!" Rayana menangis tersedu-sedu, tubuhnya menggigil sementara hatinya terasa remuk redam, seperti sedang dihancurkan tanpa ampun. ***** “Cheers… untuk masa depanku sebagai model go internasional,” ucap Ashley riang. “Cheers!” serempak teman-temannya ikut merayakan kesenangan Ashley malam ini. Ashley Jansen sedang larut dalam gelak tawa dan gemerlap pesta. Dentuman musik memenuhi ruangan diskotik, gelas-gelas anggur terangkat, dan kamera ponsel berkedip mengabadikan senyum sempurna di wajah para sosialita. Malam ini, Ashley memilih bersenang-senang dengan para temannya. Tak ingin mengganggu malam pertama Rayana dan suaminya. “Jadi, Ash… benar si culun itu setuju dinikahkan dengan suamimu?” tanya Melanie, manajer sekaligus sahabat lama Ashley, dengan nada setengah tak percaya. Ashley tersenyum miring, menegak cairan sampanye, “Aku hanya memberinya dua pilihan. Dan seperti dugaanku, dia memilih menuruti kemauanku tanpa banyak tanya. Patuh, seperti biasanya.” Melanie tertawa puas sambil menyesap minumannya. “Kau memang jenius, Ash. Aku yakin, tidak lama lagi kariermu akan semakin melejit... asalkan kau tetap menjaga bentuk tubuhmu seperti sekarang.” Ashley menyandarkan tubuhnya dengan anggun di sofa beludru. Ia menyilangkan kaki dan tersenyum penuh percaya diri. “Tentu saja. Tidak ada tempat untuk stretch mark di tubuh seorang supermodel.” Melanie memiringkan kepala, alisnya terangkat. “Lalu… bagaimana caramu membuat suamimu setuju menikahi adik tirimu?” Ashley terkekeh pelan, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Melanie, “Aku katakan padanya bahwa si culun Rayana sendiri yang memohon padaku—meminta agar bisa meminjamkan rahimnya, karena sejak dulu, dia terobsesi pada suamiku. Rayana gadis gila yang rela jadi wadah demi bisa merasa ‘dimiliki’ oleh pria sekelas Arya, meski hanya lewat seorang anak.” Melanie terbelalak, terus tertawa sambil memegangi perutnya. “Astaga, kau memang licik Ash. Kau katakan seperti itu… dan suamimu percaya begitu saja?” Ashley tersenyum lebar, penuh kemenangan. “Sejak dulu, Arya sangat mencintaiku. Ia akan melakukan apa saja demi kebahagiaanku. Termasuk membiarkan adik tiriku mengandung anak kami.” Melanie menggelengkan kepala, lalu bertepuk tangan beberapa kali dengan senyum tak percaya. “Kau benar-benar berbahaya, Ash. Kecerdikanmu tidak main-main. Kurasa sudah saatnya kau mengikuti casting untuk film layar lebar.” Ashley mengangkat gelasnya ke udara. “Untuk kehidupan yang hanya berpihak pada perempuan cerdas sepertiku.” Gelas mereka berbenturan pelan dalam suasana sunyi, sementara di luar, lampu neon terus berkedip liar, seolah menertawakan kebohongan yang terbangun dengan apik. "Untuk apa aku repot-repot hamil? Aku tak ingin tubuhku rusak hanya demi permintaan ibu mertuaku yang sok baik tapi menyebalkan. Aku lahir untuk sorotan kamera," gumam Ashley sembari mengisi gelasnya dengan sampanye. Ia mengangkat gelasnya lagi. "Cheers... untuk rahim pinjaman."Rayana tersenyum miris, menunduk lagi. Jemarinya memainkan permukaan air, seakan mencoba mengusir rasa perih yang muncul.“Mereka... tidak seburuk Ashley, tapi juga tidak pernah benar-benar menganggapku bagian dari keluarga. Aku ada di rumah itu, tapi seperti orang asing. Mereka jarang menegurku, jarang mengajakku bicara.”Sambil bercerita, bayangan masa lalu membawa Rayana jauh mundur ke masa dua belas tahun lalu, hari ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Jansen.Pintu besar rumah itu terbuka dengan lebar, di ambang pintu berdiri Ruby Jansen, wanita elegan dengan senyum ramah yang memancar dari wajahnya yang cantik.Di sampingnya berdiri seorang pria yang tampaknya seumuran dengan ayahnya, Richard Jansen. Dia memiliki tinggi badan yang tak terlalu tinggi, dan perutnya agak buncit, namun garis wajahnya tegas dan cukup tampan.“Mulai sekarang, kamu tinggal bersama kami,” kata Ruby, nada suaranya hangat menenangkan.Rayana yang kala itu masih usia remaja, menunduk
“Rayana, tunggu dulu.” Arya memanggil sambil mengejarnya.Rayana melangkah lebih cepat, menjauh dari Arya. Napasnya tersengal, bukan karena lelah, tapi karena emosi. Sungguh, Arya itu selalu membuatnya naik darah.“Mau apa lagi? Aku sudah muak denganmu!" pekik Rayana sambil berjalan cepat, menyusuri koridor hotel, matanya berkilat penuh amarah.“Ayolah, kamu tahu kan aku ini memang suka bercanda....”Rayana mendengus. “Aku muak bicaramu yang selalu menjurus ke arah itu.”“Hei... Kalau aku tak bisa bercanda denganmu, dengan siapa lagi aku harus jadi diri sendiri?” ucap Arya lirih.Kata-kata itu membuat Rayana kehilangan daya untuk membalas. Ia berhenti berjalan maju, jantungnya berdegup kacau.Tanpa memberi kesempatan Rayana menghindar, Arya melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Rayana, memeluknya erat dari belakang.“Lepaskan aku!” suara Rayana bergetar, tubuhnya meronta-ronta minta dilepaskan.Namun Arya mempererat pelukannya, Arya menunduk, bibirnya hampir menyentuh helai rambut Ray
"Ini bulan madu kita. Simpan saja cerita sedihmu itu, dan jangan pasang wajah suram di hadapanku lagi!" bentak Arya, lalu bergegas masuk ke dalam villa.Rayana hanya bisa diam, menelan ludah pahit. Rasa kecewa menyelinap di hatinya—ternyata suaminya sama sekali tak peduli pada luka kelam yang masih membekas dalam hidupnya.“Hmmp… di kepalanya hanya soal buat keturunan. Benar-benar lelaki yang tak punya hati,” gumam Rayana lirih, sambil menyeret koper masuk ke villa.Beberapa saat, setelah Rayana baru saja selesai menata pakaian di lemari. Ia keluar kamar, lalu mendapati Arya sedang duduk di ruang santai, sibuk menatap layar laptopnya. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, seakan dunia di sekeliling tak lagi penting.“Tu–tuan…” suara Rayana pelan, nyaris ragu. "Hmmm," Arya berdehem. Tanpa melihat ke arah Rayana.“Ka–kalau boleh tahu… berapa lama kita akan menetap di Bali?” tanyanya terbata-bata.“Yah... Mungkin seminggu, atau dua minggu,” sahut Arya tanpa menoleh, matanya tetap ter
"Hmm..."Rayana coba membuka kedua mata perlahan, terasa berat karena habis menangis. Sinar mentari pagi menyelinap dari celah jendela membuatnya mengerjap pelan. Begitu sadar, ia sontak bangun kaget—menoleh ke kiri dan kanan. Kosong.“Eh, kemana dia?” gumamnya pelan. Ia bahkan sempat menepuk-nepuk kasur, memastikan tidak ada seseorang yang bersembunyi di balik selimut.Dengan hati yang masih berdegup kencang, Rayana memeriksa sekeliling kamar, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Setelah puas dengan penemuan bahwa dirinya benar-benar sendirian, ia menurunkan tatapan ke pakaiannya."Syukurlah, aku masih pakai baju." Ia bernapas lega. Mengingat kejadian yang memalukan di hotel dulu tak ingin terulang lagi.Rayana membuka pintu kamar perlahan, mengintip ke luar. Koridor tampak lengang, tak seorang pun terlihat. Dengan hati-hati ia melangkah keluar, telapak kakinya yang telanjang tak menimbulkan suara di lantai dingin itu.Hening.Hanya kicau burung dan gemericik air mancur da
“Maaf aku tidak bisa, Anda… masih sakit. Jadi lebih baik aku di kamar sebelah saja, toh aku tetap bisa mendengarmu kalau butuh sesuatu.”Arya menghela napas panjang, sambil memegangi keningnya. “Kamu lupa, kata dokter tadi… kalau aku sampai demam lagi, sakitku bisa tambah parah.”Rayana mendengus, berusaha menutupi rasa cemas yang muncul. “Jangan sok dramatis. Barusan kamu masih bisa bercanda dan habiskan sepiring buah. Lebih baik anda istirahat saja, biar besok cepat pulih dan kembali bekerja.”Arya menutup mata rapat-rapat, suaranya dibuat serak dan lemah, seolah kehilangan tenaga. “Aku tidak bercanda, Rayana… tubuhku benar-benar berat. Tolong, jangan biarkan aku sendirian malam ini.”Rayana terdiam. Batinnya berperang hebat—akalnya ingin menolak, tapi tatapan Arya yang lemah meluluhkan niatnya untuk melarikan diri.“Baiklah… tapi jangan berbuat macam-macam,” ucapnya dengan berat hati.Arya tersenyum puas, mengangkat tangan seolah bersumpah. “Aku janji. Hanya tidur, tidak lebih.”Ma
"Tuan Arya mengalami demam tinggi akibat radang. Saya sudah memberikan obat penurun panas, tetapi Anda harus terus memantau kondisinya. Pastikan ia cukup istirahat dan diberi cairan yang cukup. Kalau demamnya tinggi lagi, segera hubungi saya lagi," ucap sang Dokter."Terima kasih banyak, Dokter. Saya akan merawatnya dengan baik." seru Rayana, kedua tangannya terus mengepal kaos yang ia pakai.Lagi-lagi tak bisa kabur, tak ada pilihan bagi Rayana, seharian penuh akhirnya ia merawat Arya sesuai instruksi dari sang Dokter. Setiap beberapa jam, ia memberikan obat yang diberikan dokter dan mengompres tubuh Arya dengan air hangat.Kesal teramat kesal, tentu saja hal itu yang sedang Rayana rasakan sekarang. Dirinya harus terpaksa merawat suaminya lebih dari 24 jam, lantaran tak ingin nama kedua mendiang orangtuanya buruk, kalau Arya sampai meninggal karena ia abaikan."Bangunlah Tuan, Anda harus makan bubur, walaupun hanya sedikit, tapi bisa menambah tenaga."Perlahan Arya membuka matanya, i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글