Kehidupan yang Juna Bramantyo jalani sangatlah sempurna dan sesuai dengan apa yang ia rencanakan. Memiliki karir yang bagus sebagian dokter dengan finansial yang cukup. Memiliki keluarga kecil bahagia dengan istri yang cantik, penurut, yang begitu ia cintai, bernama Liana Meylissa. Serta dikarunia putri yang sangat imut, pintar dan menggemaskan yang ia beri nama Sienna Putri Bramantyo. Sungguh Juna sangat bersyukur dan bahagia dengan apa yang ia miliki. Namun sayang, semua itu nyaris hancur bahkan sampai mampu membuat rumah tangganya yang harmonis porak-poranda ketika seorang gadis muda yang merupakan pasiennya dengan sengaja menyisipkan diri ke dalam rumah tangganya bersama Liana.
Lihat lebih banyakSienna duduk di kursi kecil berwarna merah di sudut kafe, menggoyang-goyangkan kakinya yang mungil sambil memandangi pintu masuk. Balon warna-warni tergantung di dinding, dan kue ulang tahun besar berbentuk unicorn berada di atas meja. Anak-anak lain sudah mulai menikmati permainan dan kudapan, tetapi mata Sienna tetap terpaku pada pintu.
Gadis kecil itu turun dari kursi, melangkah menghampiri bundanya yang tengah berdiri di luar area kafe. "Ayah mana Bunda, kok belum datang?" Liana menunduk, berjongkok agar sejajar dengan putrinya. Ia memasang senyum kecil meski hatinya diliputi resah karena sang suami belum juga tiba. "Sebentar ya, Bunda coba telepon Ayah lagi," ucapnya sambil mengelus lembut rambut Sienna. Sienna mengangguk, memandang ibunya dengan harapan besar. Sementara itu, Liana mengangkat ponselnya lagi, mencoba menghubungi sang suami--Juna, untuk kesekian kalinya. Namun, seperti sebelumnya, panggilan itu tidak juga dijawab. "Kenapa sih, Yah? Kok gak diangkat-angkat?" gumamnya lirih dengan nada kesal bercampur cemas. Perasaan gelisah kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sudah lebih dari setengah jam sejak terakhir ia menghubungi Juna, tetapi kenapa suaminya itu tidak kunjung datang juga? Malah sekarang panggilannya tidak diangkat. Sienna, yang berdiri di sampingnya, menarik-narik ujung baju Liana. "Bunda, gimana? Ayah sudah sampai mana?" tanyanya dengan suara kecil namun penuh harap. Liana menelan ludah dan mencoba tetap tenang. "Sebentar ya, Sayang. Telepon Bunda belum diangkat Ayah." Ia mencoba menelepon lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban. Tidak lama kemudian, Raina, adik kandung Liana, melangkah mendekati mereka. "Kak, apa gak sebaiknya kita mulai saja acaranya? Anak-anak di dalam sudah mulai rewel," katanya dengan nada hati-hati. Liana mengalihkan pandangannya ke dalam kafe. Benar saja, keadaan di sana mulai tidak terkendali. Sebagian besar anak-anak yang datang sudah bosan menunggu, beberapa bahkan mulai menangis. "Iya, Dek, lebih baik kita mulai sekarang saja. Kasihan anak-anak sudah menunggu dari tadi," ujar Soraya, kakak tertua mereka, yang menyusul menghampiri. Liana menghela napas panjang, berusaha meredam kecewanya. Dengan berat hati, ia mengangguk. Tidak mungkin terus mengulur waktu sementara tamu-tamu kecil itu sudah mulai tidak sabar. Liana kembali berjongkok di depan Sienna. "Sayang, acaranya kita mulai dulu ya?" pintanya lembut. "Tapi Ayah 'kan belum datang, Bun," jawab Sienna dengan suara pelan. Liana menghela napas dan mencoba tersenyum. "Ayah sebentar lagi pasti datang, Sayang. Jadi, kita mulai dulu ya? Nanti kalau Ayah sampai, kita tiup lilin lagi, gimana?" "Tapi, Bunda... Sienna mau ada Ayah," balasnya, kali ini matanya mulai berkaca-kaca. Liana terdiam sesaat, memikirkan cara lain. Ia menunjuk ke arah teman-teman Sienna yang sudah berkumpul di tengah ruangan. "Sayang, coba lihat teman-teman Sienna. Mereka sudah menunggu lama, sampai ada yang nangis. Kasihan, 'kan?" Sienna menoleh, melihat teman-temannya yang mulai tampak bosan. Ia tidak ingin memulai ulang tahunnya tanpa Ayah, tapi ia juga merasa kasihan melihat mereka yang sudah lelah menunggu. Dengan hati berat, ia mengangguk kecil. Liana mengusap puncak kepala putrinya, mencoba memberikan semangat. "Anak Bunda baik sekali. Yuk, kita mulai acaranya," ucapnya lembut. Sienna melangkah menuju kerumunan anak-anak dengan kepala menunduk. Liana menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya, 'Kamu di mana sih, Yah? Lihat anak kita, dia begitu kecewa karena kamu gak datang.' *** Pesta ulang tahun Sienna akhirnya selesai. Anak-anak yang hadir telah pulang dengan membawa hadiah kecil dan senyum ceria. Namun, di sudut kafe yang kini sepi, Liana duduk dengan Sienna tertidur di pangkuannya. Gadis kecil itu kelelahan setelah sepanjang hari menunggu ayahnya yang tak kunjung datang. Ponsel Liana berdering. Nama Juna muncul di layar. Akhirnya lelaki itu menghubunginya juga. Ada rasa lega, namun Liana tidak bisa mengenyahkan begitu saja rasa kecewanya. Lalu dengan perasaan campur aduk, ia menjawab panggilan itu. "Halo." Suaranya datar, tanpa emosi. "Bunda, Ayah minta maaf," suara Juna terdengar lelah di ujung telepon. "Ayah gak bisa datang. Ada pasien emergency. Kondisinya kritis, dan harus segera Ayah tangani." Liana memejamkan mata, berusaha menahan luapan emosi yang bercampur antara amarah dan kekecewaan. Sebagai seorang dokter, pekerjaan Juna sering kali membuatnya absen dalam acara keluarga atau terpaksa pergi di tengah acara karena panggilan darurat. Selama ini, Liana selalu berusaha memahami, tetapi kali ini, rasanya jauh lebih sulit. "Yah, kamu tahu hari ini penting. Hari ulang tahun Sienna. Kamu sendiri yang bilang akan datang, bahkan berjanji akan pulang lebih awal." "Ayah tahu, Bunda. Tapi situasinya darurat. Ayah benar-benar gak bisa tinggalin pasiennya," balas Juna, terdengar bersalah. Liana menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang semakin mendalam. "Aku selalu mengerti, Yah. Selama ini, aku selalu memaklumi saat kamu sibuk atau harus tinggal lebih lama di rumah sakit. Tapi ini berbeda. Ini ulang tahun putri kita, dan dia sangat menantikan kamu." "Ayah benar-benar minta maaf, Bun. Ayah akan bicara dengan Sienna nanti. Ayah janji akan menjelaskan semuanya." Liana tertawa kecil, tapi ada kepahitan dalam suara itu. "Nanti? Kamu pikir itu cukup? Yah, dia hanya seorang anak kecil. Dia gak butuh penjelasan panjang. Yang dia butuhkan cuman kamu ada di sini, bersamanya." "Ayah akan menebusnya, Bun. Tapi Ayah gak bisa pulang sekarang. Bahkan kayanya untuk beberapa hari ke depan Ayah masih sibuk banget di rumah sakit. Ada banyak pasien yang membutuhkan." Kata-kata itu seperti petir di telinga Liana. Ia mencoba menahan emosinya, tapi amarah mulai mengambil alih. "Apa kamu bilang? Kamu bahkan gak bisa pulang? Sama sekali gak ada waktu buat jelasin langsung ke anak kita? Yah, apa kamu sadar seberapa kecewanya Senna hari ini?!" "Ayah tahu, Bun. Ayah tahu Ayah salah. Tapi Ayah gak bisa ninggalin tugas gitu aja. Ayah mohon pengertian Bunda kali ini." Liana menggeleng meski Juna tidak bisa melihatnya. "Pengertian? Selama ini aku selalu mengertiin kamu, Yah. Selalu. Tapi kali ini aku benar-benar kecewa. Bukan hanya karena kamu gak datang, tapi karena kamu bahkan gak mau meluangkan waktu untuk meminta maaf secara langsung sama Senna. Dia anak kita, Yah! Apa kamu gak lihat betapa pentingnya hari ini untuk Sienna?" Juna terdiam di ujung telepon. Ia tahu Liana marah, dan kali ini ia tidak bisa membantah. "Ayah akan bicara sama Senna, Bunda. Tapi gak bisa sekarang. Ayah benar-benar gak bisa pulang." Liana merasa dadanya sesak. Ia menatap wajah Sienna yang tertidur dengan gaun ulang tahunnya, wajah kecil itu terlihat damai, tetapi Liana tahu betapa kecewa putrinya tadi. "Yah," ucapnya pelan, tapi dengan nada tajam, "aku gak tahu harus bilang apa lagi. Tapi kalau kamu terus seperti ini, jangan salahkan aku kalau Sienna perlahan mulai merasa kamu gak ada buat dia." Sebelum Juna sempat menjawab, Liana memutus panggilan itu. Ia tidak ingin mendengar alasan lain lagi. Dengan tangan gemetar, ia mengusap lembut rambut Sienna. "Maaf ya, Sayang. Bunda tahu kamu mau Ayah ada di sini. Tapi sepertinya Ayah masih sibuk dengan pekerjaannya." Malam itu, di dalam kesunyian, Liana merasa kelelahan secara emosional. Ia tahu Juna pria yang baik dan bertanggung jawab, tetapi kali ini ia telah mengecewakan keluarganya. Untuk pertama kalinya, Liana merasa kemarahan dan kekecewaannya sulit untuk diredam. Bersambung ...Juna memasuki kamar sang anak, ia langsung disambut kalimat tanya dan tatapan tajam sang istri. "Ngapain kamu ke sini?!"Juna melangkah menghampiri anak dan istrinya yang berada di atas kasur, namun Liana lebih dulu beranjak dan mendekati suaminya, sehingga kini mereka berdiri ditengah-tengah ruangan."Bun, maafin Luna ya? Dia gak bermaksud bikin Senna mengabaikan panggilan kamu. Dia gak tahu kalau--""Bela aja terus istri muda kamu itu!" Sela Liana cepat."Ayah gak bela Luna, Bun. Ayah cuman--""Cuman apa, hah? Cuman gak terima dan gak suka kalau istri mudanya aku marahin?" ucap Liana dengan tatapan nyalang seraya melipat kedua tangannya di dada."Gak gitu Bunda..." Juna mencoba untuk menyentuh pundak Liana, namun dengan cepat wanita itu menepisnya."Susah payah aku ngedidik Senna dan menjauhkan dia dari handphone. Tapi malah dengan mudahnya istri mud
Meski kesal dan dalam keadaan suasana hati yang kacau, tapi Liana tidak bisa mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu segitu saja. Maka dari itu, dipukul empat sore ini, seperti biasa ia berkutat di ruang dapur untuk menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya."Sayang bantuin Bunda masak yuk!" Teriaknya memanggil sang putri.Dikarenakan Liana tidak memperbolehkan Sienna bermain gadget, untuk mensiasati agar anaknya tidak cepat bosan, Liana kerap kali mengajak Sienna untuk melakukan berbagai hal di rumah, termasuk mengajak Sienna untuk membantunya memasak.Menurut Liana hal itu lebih bermanfaat ketimbang membiarkan anaknya bermain gadget. Lagipula Sienna juga tipikal anak yang penurut dan senang-senang saja melakukan banyak hal bersama sang ibu.Namun ada yang sedikit berbeda kali ini. Biasanya anaknya itu akan langsung menghampiri ketika Liana memanggil, tapi sekarang sudah ditunggu beberapa saat, sang putri tidak kunjung datang juga, bahkan tidak menyahut sama sekal
Entahlah, Liana sendiri tidak tahu, apakah keputusannya untuk tetap bertahan bersama Juna adalah langkah yang benar atau justru kesalahan yang akan semakin menyakiti dirinya di kemudian hari.Namun, jujur saja, selain Sienna, ada alasan lain yang membuatnya masih bertahan di tengah badai yang menghantam rumah tangganya. Alasan itu sederhana namun begitu kuat: rasa cintanya pada Juna.Tak mudah menghapus cinta yang telah tumbuh subur selama bertahun-tahun di hatinya. Meski rasa itu kini bercampur dengan luka dan kekecewaan mendalam, ia tak bisa begitu saja menghilangkan kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama.Enam tahun pernikahan mereka, ditambah tiga tahun masa pacaran, bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu, begitu banyak kenangan manis yang tersimpan di sudut-sudut hidupnya. Senyuman Juna, perhatian kecilnya, bahkan janji-janji yang dulu pernah diucapkannya—semua itu terukir terlalu dalam di hatinya hingga sulit dilupakan begitu saja. Maka, apakah salah jika
Di dalam ruangan, Liana mendekati ranjang Sienna. Wajah putrinya terlihat pucat, dengan tubuh lemah terbaring di atas ranjang. "Bunda..." suara kecil Sienna menyambutnya. "Iya, Sayang? Apa yang sakit?" Liana berdiri di sisi ranjang, membelai lembut kepala putrinya. "Kepala Senna sakit, Bunda... badan Senna juga lemas..." keluh Senna dengan suara kecil, matanya sedikit terpejam karena lemah. "Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kamu pasti sembuh," bisik Liana lembut, sambil membelai rambut putrinya. "Tapi Senna harus makan dan minum obat dulu, ya?" Senna menggeleng pelan. "Gak mau, Bunda..." "Kalau gak makan, sembuhnya lama, loh," bujuk Liana, mencoba tersenyum untuk menguatkan putrinya. "Gini deh, Senna mau apa? Bunda janji turutin." Mata Senna yang tadi redup kini berbinar kecil. "Senna mau Ayah, Bunda. Senna mau Ayah di sini..." Liana tertegun. Kata-kata sederhana dari putrinya itu menusuk hatinya yang sedang hancur berkeping. Ia berusaha menahan tangis, menyembunyikan rasa
"Ayah—""Bunda—" Keduanya berucap bersamaan, dengan ekspresi terkejut yang serupa. Namun, perbedaan di antara mereka begitu nyata. Liana terkejut melihat suaminya bersama wanita lain, sementara Juna terkejut karena keberadaan istrinya di rumah sakit, terlebih saat Liana memergokinya bersama seorang gadis. Dalam sekejap, kegelisahan menyelimuti pria tersebut. "S-siapa dia, Yah? Kenapa kamu—" "A-ayah bisa jelasin, Bun." Juna buru-buru memotong, sebelum Liana menyelesaikan kalimatnya. Ia menoleh pada gadis yang duduk di kursi roda. "Luna, kamu ke ruangan lebih dulu, ya?" Aluna mengangguk, ia tidak mengatakan sepatah katapun, sebab ia takut hanya akan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Lantas Juna memanggil seorang suster yang kebetulan lewat untuk mengantarkan Aluna ke ruangannya.Setelah Aluna pergi, suasana berubah tegang. Liana menatap Juna tajam, matanya memerah, mencerminkan amarah yang membara bercampur luka yang baru saja terbuka. "Jadi, ini alasan kenapa kamu gak bisa
Tiga hari telah berlalu sejak Juna terakhir kali menghubungi Liana. Selama itu pula, pria itu belum sekali pun pulang ke rumah. Meski begitu Juna terus mencoba menghubungi sang istri meski panggilannya tidak pernah dijawab.Liana memilih untuk menonaktifkan ponselnya. Rasa kecewa dan kesal terhadap Juna yang lebih mementingkan pekerjaan membuatnya enggan mendengar alasan apa pun. Baginya, kata maaf melalui telepon tidak cukup. Ia dan Sienna tidak membutuhkan itu—mereka membutuhkan kehadiran Juna. Pagi itu, seperti biasa, Liana mencoba membangunkan Sienna. "Sayang, bangun yuk. Hari ini kamu harus sekolah," ucapnya lembut sambil mengetuk pintu kamar anaknya.Namun, tak ada jawaban dari dalam. Liana akhirnya masuk dan mendekati ranjang Sienna. Ia menggoyangkan tubuh putrinya pelan. Tapi begitu tangannya menyentuh lengan Sienna, ia langsung merasakan kehangatan yang tidak biasa. "Ya tuhan, badan kamu panas sekali, Nak." Liana dengan cepat menyentuh wajah Sienna, memastikan apa yang di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen