Beranda / Horor / Belenggu Rumah Darah / Bab 3 - Rumah yang Terlupakan

Share

Bab 3 - Rumah yang Terlupakan

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-12 10:20:21

Arga berdiri di halaman depan rumah tua itu, membiarkan angin sore menyentuh kulitnya yang terasa panas. Di depannya, rumah tersebut menjulang seperti raksasa yang diam, dingin, dan menunggu. Bram, yang berdiri di sampingnya, memandangi bangunan itu dengan ekspresi resah. Tidak ada lagi gurauan, tidak ada lagi canda ringan seperti biasanya. Sejak ketukan dari balik pintu kemarin, atmosfer di antara mereka terasa berubah.

"Lo yakin kita harus lanjut, Ga?" Bram bertanya pelan, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya sudah pasti. Arga, dengan segala sikap keras kepala dan logikanya, tentu tidak akan mundur.

Arga menarik napas dalam-dalam. "Bram, kita udah di sini, udah mulai. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya sia-sia. Lagipula, nggak ada yang aneh di sini. Semuanya hanya perasaan."

Bram melirik sekilas ke arah pintu depan yang sekarang tertutup rapat. Ia masih bisa mendengar suara ketukan pelan itu, meskipun mungkin hanya imajinasinya. Namun, bagian terdalam dari dirinya tahu, ada sesuatu di rumah ini yang berbeda.

"Mungkin lo bener," kata Bram pelan, meski suaranya terdengar tidak yakin. "Tapi gue tetep nggak suka. Perasaan gue nggak enak sejak kita pertama kali masuk."

Arga mengabaikan komentar Bram dan berjalan menuju pintu, mengeluarkan kunci yang sudah dia pegang sejak tadi. Dengan gerakan cepat, dia membuka kunci pintu itu dan menekan gagangnya. Suara engsel yang berderit menyambut mereka, seolah rumah itu merespon kehadiran mereka lagi.

Saat mereka melangkah masuk, Arga menyalakan senter di tangannya, meskipun sinar matahari dari luar masih cukup terang. Dalam beberapa detik, udara di dalam rumah terasa berubah—lebih dingin, lebih lembab, dan sekali lagi, perasaan berat yang tidak terlihat mengelilingi mereka.

Hari ini, mereka berencana untuk memulai renovasi di lantai atas. Namun, saat mendekati tangga kayu yang berderit, suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari atas, meskipun tidak ada siapa-siapa di sana. Arga menghentikan langkahnya, dan Bram langsung berhenti di belakangnya, wajahnya memucat.

"Tolong bilang lo juga denger itu," gumam Bram pelan, hampir seperti berharap itu hanya imajinasinya.

Arga menggigit bibir bawahnya, menahan napas. "Gue denger. Tapi mungkin kayunya lapuk. Lantai atas kan udah lama nggak dipakai."

Namun, meskipun Arga berusaha menyangkal, langkah-langkah itu terdengar terlalu jelas, terlalu nyata. Seolah-olah ada seseorang—atau sesuatu—yang berjalan dengan tenang di lantai atas, menunggu mereka.

Mereka akhirnya mencapai puncak tangga, dan di sanalah, segala hal mulai terasa lebih menekan. Udara lebih dingin, dan ada bau aneh yang menyengat di sekitar mereka. Bukan sekadar bau lembab biasa, tapi sesuatu yang lebih tajam, seperti bau logam dan tanah basah.

Ruangan pertama di lantai atas adalah kamar tidur utama, sebuah kamar besar dengan jendela menghadap ke halaman belakang. Arga mendorong pintu kamar itu perlahan, dan langsung disambut oleh pemandangan yang tak terduga. Sebuah ranjang tua berdiri di tengah ruangan, kainnya sudah robek dan dipenuhi debu. Namun, yang paling mencolok adalah cermin besar di sudut ruangan, cermin yang hampir identik dengan yang ada di lantai bawah. Permukaannya bersih, sekali lagi, anehnya bersih, tanpa sedikit pun jejak debu.

“Gue nggak suka cermin ini,” bisik Bram, matanya terpaku pada pantulan dirinya di permukaan cermin. “Serius deh, Ga. Ini udah terlalu aneh.”

Arga menatap cermin itu dengan penuh perhatian. Sesuatu tentang cermin itu membuat punggungnya merinding, meskipun dia tidak tahu apa. Ada perasaan tak nyaman yang merayap masuk, seperti sepasang mata yang mengintai dari balik kaca.

“Kita di sini buat renovasi, Bram. Fokus aja pada pekerjaan,” kata Arga, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. Dia berbalik dan mulai memeriksa dinding, mencoba mencari retakan atau bagian yang perlu diperbaiki. Bram, meskipun masih tampak tidak nyaman, mengikuti Arga dengan canggung.

Namun, belum beberapa menit mereka berada di dalam ruangan itu, sesuatu terjadi.

Sebuah suara. Bukan lagi suara langkah kaki atau kayu berderit. Kali ini, suara tawa pelan terdengar dari sudut ruangan. Suara itu dingin, menembus kesunyian, dan seakan berasal dari balik cermin.

Bram mundur dengan cepat, wajahnya pucat pasi. “Ga… lo denger itu kan? Tolong bilang lo denger…”

Arga membeku. Dia mendengar tawa itu. Pelan, hampir seperti bisikan, namun jelas. Tawa itu terdengar dekat—terlalu dekat.

“Kayaknya kita perlu keluar dulu dari sini,” ucap Arga akhirnya, meskipun ada sedikit getar di suaranya yang tidak bisa ia sembunyikan.

Tanpa berpikir dua kali, Bram setuju. Mereka berdua berbalik, siap meninggalkan ruangan, namun sebelum mereka sempat melangkah, pintu kamar menutup dengan sendirinya. Bukan tertutup perlahan—melainkan menutup dengan keras, seolah seseorang dengan marah membantingnya dari luar.

"Astaga!" Bram berteriak panik, berlari ke arah pintu dan mencoba membukanya, namun pintu itu terkunci rapat. “Ga! Ini nggak lucu! Ini serius!”

Arga mendekat, mencoba menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga, tapi pintu itu seakan enggan terbuka. Sesaat, dia menoleh ke arah cermin, dan jantungnya berhenti sejenak. Di dalam cermin, mereka berdua terlihat jelas, namun... ada sesuatu yang salah.

Di belakang mereka, sebuah bayangan gelap bergerak pelan. Bukan bayangan mereka, tetapi sesuatu yang lain, lebih besar, dan bergerak mendekat dengan langkah lambat, seolah menikmati ketakutan mereka.

“Buka pintunya, Ga! Cepat!” Bram berteriak lagi, panik semakin menguasai dirinya. Arga, yang kini juga merasakan ketakutan yang nyata, menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga.

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, pintu itu terbuka dengan tiba-tiba, membuat Bram hampir terjatuh. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua langsung keluar dari kamar itu, menuruni tangga dengan cepat, napas terengah-engah.

Begitu mereka mencapai lantai bawah, mereka berhenti, berusaha mengatur napas. Jantung Arga masih berdetak kencang, tapi dia tidak ingin terlihat terlalu takut di hadapan Bram. Namun, di dalam hatinya, dia tahu sesuatu di rumah ini sedang bermain-main dengan mereka.

“Lo liat tadi? Di cermin… ada sesuatu di belakang kita,” kata Bram dengan suara gemetar. “Gue nggak tau itu apa, tapi kita harus keluar dari sini.”

Arga terdiam. Dia memang melihatnya. Sebuah bayangan besar, gelap, yang bergerak mendekat dari belakang mereka. Tapi apakah itu nyata? Atau hanya permainan cahaya?

“Kita nggak bisa keluar sekarang, Bram,” kata Arga akhirnya, mencoba terdengar tegas. “Kita harus selesaikan pekerjaan ini.”

Bram menatapnya dengan tak percaya. “Lo masih mau lanjut?!”

“Tentu saja. Tapi kita harus hati-hati. Gue nggak tahu apa yang ada di rumah ini, tapi kita nggak bisa mundur sekarang.”

Meskipun kata-kata itu terdengar tegas, Arga tahu dalam hati bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan lagi. Sesuatu di rumah ini sedang membangkitkan rasa takut yang paling dalam dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika.

Sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, pintu rumah tiba-tiba terbuka perlahan, mengeluarkan suara derit panjang yang menakutkan. Bram dan Arga menatap pintu itu dengan ngeri, seolah-olah rumah itu sendiri sedang mengundang mereka masuk kembali.

Di luar, langit mulai berubah kelabu, dan kabut tipis mulai menyelimuti desa. Hawa dingin kembali mengalir masuk ke dalam rumah, seolah mengingatkan mereka bahwa apa pun yang terjadi di dalam rumah ini belum selesai.

Mereka belum selesai. Dan rumah itu... belum selesai dengan mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 120 - Desa yang Kembali Hidup

    Desa Sinarjati, yang dulu begitu sunyi dan dipenuhi ketakutan, kini mulai berangsur kembali hidup setelah rumah tua terkutuk itu hancur. Penduduk yang selama bertahun-tahun hidup di bawah bayang-bayang kegelapan, akhirnya bisa merasakan kelegaan yang telah lama mereka rindukan. Matahari yang bersinar di atas ladang dan pepohonan tampak lebih hangat, lebih terang, seolah-olah alam itu sendiri sedang merayakan berakhirnya kutukan yang selama ini membelenggu desa.Di pasar kecil desa, para pedagang kembali dengan senyum di wajah mereka, menawarkan dagangan dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Anak-anak mulai berlarian di jalan-jalan yang dulu sunyi, tidak lagi takut untuk mendekati area yang dulu dikenal sebagai tanah terkutuk. Suasana penuh harapan tampak mengisi setiap sudut desa, membawa angin segar yang sebelumnya tertahan oleh kegelapan.Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama.Desas-desus mulai menyebar di antara penduduk. Seiring berjalannya hari, bebe

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 119 - Kehadiran Tak Terlihat

    Malam di kota seharusnya membawa keheningan yang menenangkan, namun bagi Mira, setiap malam justru terasa semakin menakutkan. Keheningan yang menyelimuti apartemennya kini bukan lagi tanda kedamaian, melainkan awal dari sesuatu yang mengerikan. Malam demi malam, kehadiran yang tak terlihat semakin kuat, membayangi setiap gerakan dan napasnya. Suara-suara yang awalnya samar kini semakin jelas, seperti sesuatu yang tak kasat mata berusaha mendekatinya.Mira berdiri di jendela apartemennya, memandangi jalanan kota yang sepi. Tirai di sebelahnya berkibar pelan, meskipun tidak ada angin yang masuk dari jendela tertutup. Dia menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan cemas yang semakin menekan dadanya. Tapi dia tahu, di dalam hatinya, bahwa apa yang dia rasakan bukanlah imajinasi semata. Sesuatu telah berubah, dan kehadiran itu semakin nyata, semakin sulit untuk diabaikan.Langkah-langkah kecil terdengar samar dari koridor apartemen, seperti seseorang sedang berjalan pelan,

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 118 - Penglihatan yang Mengganggu

    Pagi itu, matahari terbit seperti biasa di luar jendela apartemen Mira, memancarkan sinar hangat yang lembut ke dalam ruang tamunya yang tenang. Hari yang cerah seharusnya membawa perasaan damai, namun bagi Mira, keheningan ini terasa tidak wajar—terlalu sunyi, terlalu kosong. Dia telah mencoba menenangkan pikirannya sejak mimpi buruk yang semakin sering menghantuinya, namun rasa cemas itu tetap melekat, merayap di sudut pikirannya.Dengan setengah sadar, Mira berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang masih lelah akibat malam tanpa tidur. Saat dia membuka keran, air dingin mengalir, memercikkan kesegaran yang sejenak menghilangkan rasa kantuk. Namun, ketika dia mengangkat wajah untuk menatap cermin, sesuatu yang aneh terjadi—sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika.Di balik bayangannya sendiri di cermin, Mira melihat sekilas sosok lain, seseorang yang begitu dikenalnya. Arga. Dia berdiri di belakangnya, tersenyum samar, seperti bayanga

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 117 - Langkah yang Tertinggal

    Mira duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi dengan laporan-laporan jurnalistik yang harus dia selesaikan. Di sekitar kantor, suara ketikan cepat dan obrolan singkat antar rekan kerjanya menggema, menciptakan suasana sibuk yang biasa di tempat itu. Namun, bagi Mira, hiruk-pikuk itu tidak bisa menutupi kegelisahan yang terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa berat, dan di balik setiap kasus aneh yang dia tangani, ada bayangan yang selalu mengintip dari masa lalu—dari rumah tua di Desa Sinarjati.Sudah beberapa minggu sejak Mira kembali ke kota, mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Dia kembali bekerja sebagai jurnalis, meliput berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kota. Namun, meskipun tangannya sibuk mengetik, pikirannya terus melayang kembali ke desa, ke kegelapan yang pernah menyelimutinya, ke rumah tua yang kini hanya tinggal reruntuhan. Setiap kasus misterius yang dia tangani seolah mengingatkan pada sesuatu yang lebih be

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 116 - Cahaya di Tengah Kegelapan

    Malam di kota besar tampak tenang, namun dalam keheningan itu, Mira tidak bisa merasa benar-benar damai. Sejak kembali dari Desa Sinarjati, rasa lega yang semula ia rasakan mulai memudar, digantikan oleh kecemasan yang kian hari kian membesar. Meskipun dia tahu rumah tua itu telah hancur, meskipun kutukan itu telah dipatahkan, ada sesuatu yang terus menghantuinya—bayangan kegelapan yang seolah-olah tidak mau pergi.Setiap malam, Mira terbangun dengan jantung berdetak kencang, peluh dingin membasahi tubuhnya, dan mimpi buruk yang selalu sama menghantuinya. Dalam mimpi itu, dia berdiri di depan rumah tua yang tak lagi ada. Kegelapan pekat menyelimuti sekeliling, dan meskipun rumah itu telah runtuh, ia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih kuat, lebih jahat. Bayangan hitam tanpa wajah terus mendekatinya, menyeretnya ke dalam kegelapan, dan setiap kali dia mencoba melarikan diri, kakinya terbenam di tanah yang basah dan berat, seperti lumpur yang menahannya.Mira te

  • Belenggu Rumah Darah   Bab 115 - Mira yang Terbebaskan

    Matahari baru saja terbit ketika Mira menginjakkan kaki di stasiun kereta kota. Udara pagi di kota besar terasa berbeda—segar, penuh kehidupan, dan jauh dari suasana mencekam yang selama ini menyelimuti Desa Sinarjati. Suara deru kendaraan dan aktivitas pagi hari mulai menggema, menciptakan simfoni perkotaan yang dinamis. Bagi sebagian besar orang, itu hanyalah pagi yang biasa, namun bagi Mira, hari ini menandai awal yang baru, sebuah kebebasan yang baru dia rasakan.Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar masuk ke paru-parunya, merasa beban berat di pundaknya yang selama ini menghantuinya mulai terasa lebih ringan. Ketika dia meninggalkan desa, dia tahu bahwa dia tidak meninggalkan masa lalu sepenuhnya—jejak kutukan yang pernah merantai hidupnya tidak akan sepenuhnya hilang. Namun, kini dia menyadari bahwa kutukan itu bukan lagi sesuatu yang membebani atau mengurungnya. Itu hanyalah bagian dari sejarah dirinya, dan dia telah belajar menerima itu.Mira be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status