Malam itu, ketika langit sudah sepenuhnya gelap dan kabut tipis semakin tebal di luar jendela, Arga dan Bram memutuskan untuk bermalam di rumah yang mereka sewa di tepi desa. Rumah sederhana itu berjarak beberapa kilometer dari rumah tua yang mereka renovasi, cukup jauh untuk membuat mereka merasa aman... setidaknya untuk sementara.
Bram tampak gelisah. Dia duduk di sofa kecil di ruang tamu, pandangannya lurus ke luar jendela yang menampilkan pemandangan suram desa Sinarjati. Angin malam berhembus pelan, membuat tirai jendela sedikit berkibar.
“Kita nggak bisa terus kayak gini, Ga,” kata Bram tiba-tiba, suaranya pecah di tengah keheningan yang mencekam. “Rumah itu—apa pun yang ada di sana—gue yakin ada sesuatu. Gue ngerasa ada yang ngeliatin kita. Terutama dari cermin itu. Lo tau kan apa yang gue maksud?”
Arga, yang sedang menulis catatan di laptopnya, menoleh. Matanya beralih ke Bram yang kini tampak lebih pucat daripada biasanya. Pikirannya melayang ke peristiwa sore tadi. Bayangan yang bergerak di balik cermin, tawa pelan yang mereka dengar—semua itu tidak bisa diabaikan begitu saja, meskipun ia sangat ingin percaya bahwa semuanya hanya ilusi.
“Aku nggak bisa bohong, Bram. Tadi siang ada hal-hal yang memang... nggak biasa,” jawab Arga sambil menutup laptopnya. Dia berjalan mendekati jendela, memandang ke luar sejenak, lalu kembali duduk di sebelah Bram. “Tapi kita harus tetap rasional. Bisa jadi kita capek, mungkin perasaan kita yang bermain-main. Nggak ada bukti nyata kalau itu hal gaib.”
“Bukti nyata?” Bram mendengus, seolah kata-kata itu terlalu naif. “Lo liat sendiri kan di cermin tadi? Apa menurut lo itu bukan bukti nyata?”
Arga tidak menjawab. Kali ini, sulit baginya untuk membantah. Pikiran logisnya terdesak oleh rasa takut yang semakin mencuat. Namun, untuk menyerah pada ketakutan bukanlah solusi, pikirnya. Proyek ini terlalu penting, dan meninggalkannya hanya karena beberapa kejadian aneh bukanlah pilihan.
“Gue bakal minta Pak Kusuma datang besok,” kata Arga akhirnya. “Dia kan tetua di sini, pasti dia tau lebih banyak tentang sejarah rumah itu. Mungkin dia bisa ngasih penjelasan.”
Bram tidak terlihat puas, namun dia tidak membantah. Dia tahu Arga bukan tipe orang yang bisa dengan mudah diyakinkan soal hal-hal mistis. Tapi setelah apa yang terjadi hari ini, bahkan Bram yang biasanya suka bercanda merasa lelah dan terganggu oleh atmosfer rumah itu.
Malam semakin larut, dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk tidur. Arga berbaring di kamarnya, sementara Bram di kamar sebelah. Heningnya malam seharusnya memberikan ketenangan, namun bagi Arga, keheningan itu justru membuatnya lebih gelisah. Pikirannya kembali berputar-putar, mengingat setiap detail kejadian di rumah tua itu—langkah kaki, pintu yang tertutup dengan sendirinya, dan yang paling jelas, bayangan di cermin.
Arga menutup matanya, mencoba mengabaikan semua itu, namun otaknya tidak bisa berhenti memikirkan satu hal: apa yang sebenarnya ada di rumah itu?
Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari saat Arga terbangun. Kamar itu gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu jalan yang menembus tirai jendela. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya, namun sesuatu yang aneh membuat tubuhnya membeku.
Ada suara. Bukan dari luar, tapi dari dalam rumah.
Arga bangkit perlahan, telinganya menangkap suara itu dengan lebih jelas. Suara pelan, seperti bisikan... atau gumaman. Seperti seseorang berbicara pelan di sudut ruangan, hampir tidak terdengar, tapi pasti ada.
Hatinya berdebar lebih cepat. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan menuju pintu kamar, mencoba mencari sumber suara itu. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar dan mengintip ke luar.
Di lorong, gelap gulita. Tidak ada cahaya yang menyala, dan semuanya tampak normal. Namun, suara itu masih ada, samar-samar seperti datang dari ruang tamu. Arga merasa ada sesuatu yang salah, sangat salah. Napasnya semakin cepat, tapi dia memaksa dirinya untuk maju.
Setiap langkah terasa seperti menggema di dalam rumah yang hening. Sesekali, lantai kayu di bawah kakinya berderit pelan. Semakin dekat dia ke ruang tamu, semakin jelas suara itu terdengar—seperti seseorang berbicara dalam bahasa yang tidak bisa ia pahami. Sebuah bisikan aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.
Begitu dia mencapai pintu ruang tamu, Arga berhenti. Dengan hati-hati, dia mengintip ke dalam.
Ruang tamu kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana, tapi suara bisikan itu masih terus terdengar, kali ini lebih jelas. Seolah suara itu... datang dari dalam dinding. Atau mungkin dari bawah lantai?
“Bram?” Arga memanggil pelan, meskipun dia ragu sahabatnya akan berada di sana. Tidak ada jawaban. Dia melangkah masuk ke ruang tamu, matanya menyapu setiap sudut ruangan, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan suara itu.
Dan kemudian, tiba-tiba, suara itu berhenti. Keheningan yang tiba-tiba membuat Arga merasa lebih gelisah. Dia berbalik, hendak kembali ke kamarnya, ketika tiba-tiba... ada bunyi lain.
Tok, tok, tok.
Tiga ketukan pelan terdengar dari jendela di belakangnya. Arga berhenti, tubuhnya kaku, dan perlahan menoleh ke arah jendela.
Di luar jendela, hanya kegelapan. Tidak ada apa-apa. Tapi ketukan itu terdengar sangat jelas, seperti ada seseorang yang mengetuk dari luar.
Arga mendekat dengan hati-hati, merasa jantungnya berdegup keras. Tangannya perlahan menyentuh tirai, dan dengan tarikan cepat, ia membukanya.
Kosong.
Tidak ada siapa pun di luar. Hanya kegelapan malam dan kabut tipis yang menyelimuti desa.
Namun, sebelum dia bisa menarik napas lega, pintu di belakangnya tiba-tiba terbanting keras. Suara dentuman itu menggetarkan seluruh rumah, membuat Arga tersentak mundur.
“Bram?!” Arga berteriak, kali ini benar-benar panik.
Tanpa berpikir panjang, Arga berlari menuju kamar Bram. Namun, ketika ia membuka pintu kamar sahabatnya, Arga terhenti. Kamar itu kosong. Tempat tidur Bram masih rapi, seolah tidak pernah ditiduri.
“Bram?” Arga memanggil lagi, kali ini lebih pelan, suaranya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. Dia memeriksa seluruh kamar, tapi tidak ada tanda-tanda Bram di mana pun.
Dan kemudian, terdengar suara pelan dari belakangnya. Sebuah bisikan, seperti yang ia dengar sebelumnya, namun kali ini lebih jelas. Suara itu terdengar dari balik dinding... atau mungkin dari bawah lantai.
Arga berdiri kaku, jantungnya berdetak kencang. Apa yang sedang terjadi? Ke mana Bram pergi? Dan siapa yang berbisik di dalam rumah ini?
Namun, sebelum dia bisa mengumpulkan keberanian untuk mencari lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Perlahan, langkah itu semakin dekat. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana.
Arga melangkah mundur, keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya. Kemudian, tiba-tiba, pintu depan rumah terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara derit pelan yang mencekam.
Di luar, kabut semakin tebal. Udara dingin menyusup masuk, membawa serta aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih gelap—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Arga berdiri membeku di tempatnya, matanya terpaku pada pintu yang terbuka lebar, menanti siapa—atau apa—yang mungkin akan muncul di ambang pintu itu.
Dan dalam kegelapan kabut yang pekat, sosok samar perlahan muncul. Sesosok bayangan yang tinggi, dengan mata kosong menatap lurus ke arahnya, berdiri di depan pintu. Tanpa kata, tanpa suara, sosok itu hanya berdiri di sana, menatap Arga dengan tatapan yang menghancurkan ketenangannya.
Arga tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa berdiri di sana, terpaku oleh rasa takut yang merayapi seluruh tubuhnya.
Sementara di dalam pikirannya, hanya satu pertanyaan yang berputar-putar: Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Desa Sinarjati, yang dulu begitu sunyi dan dipenuhi ketakutan, kini mulai berangsur kembali hidup setelah rumah tua terkutuk itu hancur. Penduduk yang selama bertahun-tahun hidup di bawah bayang-bayang kegelapan, akhirnya bisa merasakan kelegaan yang telah lama mereka rindukan. Matahari yang bersinar di atas ladang dan pepohonan tampak lebih hangat, lebih terang, seolah-olah alam itu sendiri sedang merayakan berakhirnya kutukan yang selama ini membelenggu desa.Di pasar kecil desa, para pedagang kembali dengan senyum di wajah mereka, menawarkan dagangan dengan lebih ceria daripada sebelumnya. Anak-anak mulai berlarian di jalan-jalan yang dulu sunyi, tidak lagi takut untuk mendekati area yang dulu dikenal sebagai tanah terkutuk. Suasana penuh harapan tampak mengisi setiap sudut desa, membawa angin segar yang sebelumnya tertahan oleh kegelapan.Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama.Desas-desus mulai menyebar di antara penduduk. Seiring berjalannya hari, bebe
Malam di kota seharusnya membawa keheningan yang menenangkan, namun bagi Mira, setiap malam justru terasa semakin menakutkan. Keheningan yang menyelimuti apartemennya kini bukan lagi tanda kedamaian, melainkan awal dari sesuatu yang mengerikan. Malam demi malam, kehadiran yang tak terlihat semakin kuat, membayangi setiap gerakan dan napasnya. Suara-suara yang awalnya samar kini semakin jelas, seperti sesuatu yang tak kasat mata berusaha mendekatinya.Mira berdiri di jendela apartemennya, memandangi jalanan kota yang sepi. Tirai di sebelahnya berkibar pelan, meskipun tidak ada angin yang masuk dari jendela tertutup. Dia menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan cemas yang semakin menekan dadanya. Tapi dia tahu, di dalam hatinya, bahwa apa yang dia rasakan bukanlah imajinasi semata. Sesuatu telah berubah, dan kehadiran itu semakin nyata, semakin sulit untuk diabaikan.Langkah-langkah kecil terdengar samar dari koridor apartemen, seperti seseorang sedang berjalan pelan,
Pagi itu, matahari terbit seperti biasa di luar jendela apartemen Mira, memancarkan sinar hangat yang lembut ke dalam ruang tamunya yang tenang. Hari yang cerah seharusnya membawa perasaan damai, namun bagi Mira, keheningan ini terasa tidak wajar—terlalu sunyi, terlalu kosong. Dia telah mencoba menenangkan pikirannya sejak mimpi buruk yang semakin sering menghantuinya, namun rasa cemas itu tetap melekat, merayap di sudut pikirannya.Dengan setengah sadar, Mira berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya yang masih lelah akibat malam tanpa tidur. Saat dia membuka keran, air dingin mengalir, memercikkan kesegaran yang sejenak menghilangkan rasa kantuk. Namun, ketika dia mengangkat wajah untuk menatap cermin, sesuatu yang aneh terjadi—sesuatu yang membuat tubuhnya membeku seketika.Di balik bayangannya sendiri di cermin, Mira melihat sekilas sosok lain, seseorang yang begitu dikenalnya. Arga. Dia berdiri di belakangnya, tersenyum samar, seperti bayanga
Mira duduk di depan meja kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi dengan laporan-laporan jurnalistik yang harus dia selesaikan. Di sekitar kantor, suara ketikan cepat dan obrolan singkat antar rekan kerjanya menggema, menciptakan suasana sibuk yang biasa di tempat itu. Namun, bagi Mira, hiruk-pikuk itu tidak bisa menutupi kegelisahan yang terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa berat, dan di balik setiap kasus aneh yang dia tangani, ada bayangan yang selalu mengintip dari masa lalu—dari rumah tua di Desa Sinarjati.Sudah beberapa minggu sejak Mira kembali ke kota, mencoba menjalani hidupnya seperti biasa. Dia kembali bekerja sebagai jurnalis, meliput berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kota. Namun, meskipun tangannya sibuk mengetik, pikirannya terus melayang kembali ke desa, ke kegelapan yang pernah menyelimutinya, ke rumah tua yang kini hanya tinggal reruntuhan. Setiap kasus misterius yang dia tangani seolah mengingatkan pada sesuatu yang lebih be
Malam di kota besar tampak tenang, namun dalam keheningan itu, Mira tidak bisa merasa benar-benar damai. Sejak kembali dari Desa Sinarjati, rasa lega yang semula ia rasakan mulai memudar, digantikan oleh kecemasan yang kian hari kian membesar. Meskipun dia tahu rumah tua itu telah hancur, meskipun kutukan itu telah dipatahkan, ada sesuatu yang terus menghantuinya—bayangan kegelapan yang seolah-olah tidak mau pergi.Setiap malam, Mira terbangun dengan jantung berdetak kencang, peluh dingin membasahi tubuhnya, dan mimpi buruk yang selalu sama menghantuinya. Dalam mimpi itu, dia berdiri di depan rumah tua yang tak lagi ada. Kegelapan pekat menyelimuti sekeliling, dan meskipun rumah itu telah runtuh, ia merasakan kehadiran sesuatu yang lebih kuat, lebih jahat. Bayangan hitam tanpa wajah terus mendekatinya, menyeretnya ke dalam kegelapan, dan setiap kali dia mencoba melarikan diri, kakinya terbenam di tanah yang basah dan berat, seperti lumpur yang menahannya.Mira te
Matahari baru saja terbit ketika Mira menginjakkan kaki di stasiun kereta kota. Udara pagi di kota besar terasa berbeda—segar, penuh kehidupan, dan jauh dari suasana mencekam yang selama ini menyelimuti Desa Sinarjati. Suara deru kendaraan dan aktivitas pagi hari mulai menggema, menciptakan simfoni perkotaan yang dinamis. Bagi sebagian besar orang, itu hanyalah pagi yang biasa, namun bagi Mira, hari ini menandai awal yang baru, sebuah kebebasan yang baru dia rasakan.Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar masuk ke paru-parunya, merasa beban berat di pundaknya yang selama ini menghantuinya mulai terasa lebih ringan. Ketika dia meninggalkan desa, dia tahu bahwa dia tidak meninggalkan masa lalu sepenuhnya—jejak kutukan yang pernah merantai hidupnya tidak akan sepenuhnya hilang. Namun, kini dia menyadari bahwa kutukan itu bukan lagi sesuatu yang membebani atau mengurungnya. Itu hanyalah bagian dari sejarah dirinya, dan dia telah belajar menerima itu.Mira be