Seorang gadis desa yang merantau ke ibukota, demi menjalankan amanah. Dia pun mengalami kejadian di luar nalar, dan harus menghadapi seorang diri. Kematian selalu menghantuinya setiap saat. Bukan hanya kematiannya, tetapi juga kematian orang-orang terkasihnya dan orang asing, yang tak sengaja bertemu dengannya. Bahkan dia mampu mengetahui di mana kejadian itu akan terjadi, yang membuatnya ketakutan. Dia harus pergi meninggalkan suaminya dan membawa anaknya pergi menjauh. Karena dalam penglihatannya, sesuatu yang besar akan terjadi. Mampukah Nita berjuang di alam lain? Alam yang tidak pernah dia jamah.
View MoreKenalkan namaku Nita, aku merantau ke kota besar demi mencari kehidupan yang layak, karena kabur dari rumah. Tidak banyak pekerjaan yang dapat aku pilih, karena hanya lulusan SMA dan tak ada pengalaman. Aku bekerja di sebuah showroom motor karena diberi kesempatan oleh tetangga kost'an. Bekerja di bagian kasir, mengharuskanku menjadi orang yang ramah dan bisa berinteraksi dengan banyak costumer.
Banyak costumer yang datang untuk membeli motor, tapi bukan hanya orang biasa saja. Banyak dari mereka yang mendapakan uang dari cara-cara yang diluar akal manusia namun, tidak mungkin aku menghakimi mereka.
Tak terasa sudah hampir satu tahun bekerja di sini dan aku bisa mengeksplor kemampuan diri. Ada niat untuk melanjutkan kuliah, tapi masih terbentur dengan biaya.
Hari ini Jum'at penuh berkah, belum juga jam makan siang, tapi lapar sudah menyiksa, biasanya aku membawa bekal untuk makan siang, entah ada apa dengan hari ini sehingga tidak ingin membawa bekal yang telah kubuat. Alternatifnya mencari pedagang makanan yang biasa mangkal, ada satu pedagang siomay dipinggir masjid tak jauh dari tempatku bekerja. Kuputuskan untuk memesannya, selagi menunggu aku memperhatikan lalu lalang orang yang ada didepan mata. Ada perasaan yang membuat hati ini berdebar tidak menentu, entah karena apa.
Pesanan sudah terhidang di depan meja. Kebiasaanku menghirup bau makanan yang akan dimakan membuat orang-orang terheran-heran. Saat menikmati aroma yang sudah masuk ke dalam hidung, tiba-tiba,
Duaaar!
Bruuuk!
Terdengar pecahan kaca juga jeritan histeris, bau anyir mengalahkan nikmatanya aroma bumbu somay.
Karena takutnya, tak berani ku membuka mata hanya menggenggam erat garpu ditangan.
"Mbak ... mbak kenapa?" Tanya tukang somay, khawatir.
Aku membuka mataku perlahan, memperhatikan sekelilingku. Tak ada yang terjadi, semua seperti apa yang terlihat.
"Aah enggak bang, bau bumbunya sangat menggoda," terangku, menutupi kegelisahan.
'Ya Allah, aku kenapa?' bathinku. Berharap apa yang kulihat tak pernah terjadi.
Segera kusantap somay yang sudah ada di hadapan.
Terlihat para lelaki memasuki pelataran Masjid untuk Sholat jum'at dan semakin banyak jemaah yang datang. Dengan cepat somay kuhabiskan dan kembali ke showroom karena karyawan pria pasti pergim ke masjid. Terdengar suara azan di belakangku, menandakan sholat jum'at akan dimulai. Akupun berlari kecil takut jika showroom benar-benar kosong.
"Mbak Nita jangan keluar dari dalam, apapun yang terjadi." Suara laki-laki separuh baya menghentikan langkahku.
"Kenapa pak, apa ada yang salah?" Tanyaku keheranan.
Beliau berlalu menuju masjid dim tempatku makan somay tadi dan menoleh kepadakut, lalu senyum sendi menghiasi wajahnya yang keriput. Membuatku tertegun.
"Nit, bantuin dong. Banyak konsumen nih!" Teriak supervisor penjualan, ketika melihatku datang.
Aku menuju meja yang mana sudah ada beberapa orang mengantri. Membantu menerangkan apa yang mereka tanyakan. Tetiba kepalaku terasa sakit, sejenak memejamkan mata dan memegangi kepala yang benar-benar sakit sekali.
Duaaar!
Bruuk!
Teriakan kali ini memecahkan telinga hingga aku terlonjak dari kursi yang kududuki.
"Mbak tolong selamatkan anak saya." sambil menarik kakiku.
"Mbak tolong saya," Disalah satu mobil terdengar suara itu.
"Heii mbak jangan melihat saja, tolong kami!" Suara pria, yang kedua kakinya sudah terputus.
"Nita ... Nit kamu kenapa, hei!" Mbak Afsah menepuk-nepuk pipiku dan menggoncang keras tubuhku.
"Ada kecelakaan Mbak, banyak korban," ucapku namun, tidak mampu membuka mata ini.
"Kamu mimpi kali Nit, enggak ada apa-apa koq," jelasnya.
"Ada Mbak, bajuku berlumur darah begini. Terciprat dari dalam mobil-mobil yang baku hantam itu," Aku memeluk mbak Afsah erat.
"Istighfar Nit, kamu kenapa? Coba kamu buka mata, jangan terpejam seperti itu. Tak ada apapun yang terjadi," ucapnya menenangkanku.
Kuberanikan diri membuka mata dan benar saja, tidak ada yang terjadi. Jantungku semakin berdebar. Para konsumen hanya melihat aneh ke arahku. Tak kuhiraukan pandangan mereka dan melanjutkan pekerjaanku. Mbak Afsah menepuk pundakku dan berbisik,
"Jika ada beban, kamu bisa berbagi dengan ku." Hanya bisa mengangguk pasrah.
Setelah melayani beberapa konsumen, aku kembali ke ruangan atas tempatku biasa bekerja. Aku berjalan menuju jendela melihat keadaan dibawah sana, karena rasa gelisah yang makin menjadi.
Debaran ini semakin kencang membuat dada sedikit sesak. Terlihat lelaki paruh baya itu dibawah sana dan melihat kearahku, di sini.
"Apakah dia bisa melihatku," bathinku berkecamuk, karena lelaki itu tak berpaling dari tatapannya kearahku.
Tak berselang lama setelah aku palingkan wajahku dari arahnya, kilasan kecelakaan itu terlihat jelas dan aku kembali melihat kebawah.
Aku hanya mampu teriak histeris melihat tubuh lelaki itu terpental tak berdaya, dengan senyum masih tersungging di wajahnya.
Aaaa!
Aaaa!
Aku menjerit-jerit melihat kecelakaan itu, tidak mampu berbuat apa-apa.
Segera berlari kebawah diikuti staff yang lainnya, setelah melihatku histeris dan melihat apa yangi terjadi sebenarnya dari jendela.
Berkali-kali hampir terjatuh dari tangga, karena lututku lemas saat menyaksikannya langsung dari ruangan atas.
Saat sampai di bawah, ruangan sudah kosong. Mereka berlari mencoba melihat apa yang terjadi. Aku menerobos kerumunan yang ada, mencari sosok lelaki paruh baya itu. Tadi aku melihat jelas dia terpental ditabrak mobil itu.
Siapa dia? Kenapa memperingatiku! Bagaimana dia mengenalku!
Aku tak memperdulikan bau anyir dan rintihan orang-orang disekitar, mataku mengelilingi tempat itu mencarinya.
Kudapati dia tergolek lemah tak jauh dari pembatas jalan. Tangannya kuraih, ingin mengangkat tubuhnya tapi tak sanggup.
"Pak, ayo bangun kita menepi kesana. Paksakan diri pak," pintaku padanya.
"Cepat kamu pergi dari sini, tadi sudah kuberitahu jangan keluar." perintahnya sulit ku mengerti.
Dia mendorongku dengan sisa tenaganya.
"Pergi ... Cepat lari, tak ada waktu!" Aku meneteskan airmata tak mengerti.
"Lari kesana, cepat ... cepat," teriaknya lagi.
"Tapi Pak ... bapak ikut, ayo Pak," bujukku.
"Pergi" dengan hembusan terakhir dia berkata.
Aku menangis sesenggukan, lalu terdengar dentuman keras dari arah belakang.
Aaaaa!!
Aku bangkit dan mencoba berlari tapi kakiku dipegangi oleh lelaki, yang kakinya patah.
"Mbak tolong ... tolong," rintihnya.
"Mbak bawa anak saya, selamatkan dia." Teriak seorang wanita dari mobil, terlihat dia menggendong bayi yang sudah berlumur darah.
Aku hanya diam terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
"Lari ... lari!" suara lelaki yang tadi sudah menghembuskan nafas nya, terngiang.
Terkejut dengan suara itu, kepalaku menoleh ke arah lelaki paruh baya itu dan hanya tubuh kaku yang terlihat.
"Lari ... larilah, cepat." Terdengar jelas suara itu lagi.
Dengan menahan airmatab, aku berlari secepat mungkin. Sembari berteriak pada mereka yang meminta tolong.
"Maafkan saya ... maafkan saya!"
Sebuah mobil tronton membunyikan klaksonnya keras dan menambah parah kecelakaan yang terjadi.
Suara dentuman dan teriakan bersahutan, mengiris hati yang melihat dan mendengarnya.
Mbak Afsah yang melihat, menarikku dengan cepat karena sebuah kayu terlempar dari truck yang ditabrak tronton, mengarah tepat di depanku.
Aku tersungkur dan tak mampu bangkit, kakiku tertimpa kayu itu.
Tronton itu menyebabkan kobaran api dan terlihat jasad kaku itu sudah tertimpa mobil yang menabraknya tadi.
Aku merintih, menyaksikan kobaran api itu dan terngiang-ngiang jeritan juga permintaaan tolong dari mereka.
Dan siapa lelaki paruh baya itu? Mengapa iya sepertinya tahu, apa yang terlintas dibenakku.
Bau anyir dan terbakar menghiasi udara siang itu. Darah menutupi sebagian baju yang aku kenakan, dan kaki ini mati rasa sangat sakit jika diangkat.
Aku berteriak, memohon maaf pada merekaa, karena tidak ada satupun yang dapat tertolong.
"Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.
Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a
"Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab
"Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m
Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b
Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments