“Coba pakai ini.” Max mengulurkan bungkusan yang berisi alat tes kehamilan yang baru saja Jerry beli tanpa basa-basi.“Apa ini?” sahut Valerie yang tengah tiduran sambil membaca buku di sofa. Ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan bingung. “Test pack,” jawab Max singkat membuat Valerie melongo. “Siapa yang hamil?” tanya Valerie polos. Max berdecak mendengarnya, lalu mengedikkan bahunya tidak acuh.“Kan makanya aku bilang kamu coba pakai.”Valerie membuka bungkusan itu mengambil salah satu alat tes kehamilan itu, lalu menatap suaminya sesaat. “Kamu—”“Kenapa?” tanya Max menatap istrinya yang tengah membolak-balikan alat tes kehamilan tersebut. “Kamu tidak tahu cara pakainya?”“Bukan.”“Lalu?” Max menatap istrinya dengan pandangan menuntut.“Kamu sangat ingin segera punya anak ya?” tanya Valerie hati-hati. Max justru melipatkan kedua tangannya di dada dengan mata tidak lepas menatap istrinya. “Seharusnya kamu pun sudah tahu jawabannya kan. Kenapa masih bertanya.”Valerie
Max mendengarkan penjelasan dokter kandungan dengan antusias, sementara Valerie justru sibuk menatap suaminya. Wajah Max terlihat berseri-seri, dengan bibir tidak hentinya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman. Melihatnya, membuat Valerie terpesona rasanya ia ingin menghentikan waktu agar terus bisa melihat wajah bahagia suaminya. Rasanya ia hampir tidak pernah melihat rona bahagia pada pria yang biasanya memasang wajah dingin itu.“Kau sejak tadi menatapku seperti itu? Ada apa?” tanya Max sambil memasangkan seat beltnya pada Valerie. “Terpesona ya? Karena aku tampan. Kamu baru sadar?” lanjutnya kian menggoda membuat Valerie tersadar dan langsung mencubit pinggang suaminya, hingga Max mendesis.“Percaya diri sekali. Aku hanya tengah berpikir kalau kau sudah gila. Sejak tadi tidak hentinya tersenyum. Sengaja ya sedang tebar pesona,” cibir Valerie membuat Max melongo lalu detik berikutnya pun tertawa.“Cemburu?” godanya.Valerie hanya berdecak membuang pandangannya menatap ke a
Ting... Tong...Bunyi bell pintu membuat Gracia yang saat itu tengah bekerja di ruang televisi pun terhenti. “Tumben sekali Alex tidak langsung masuk.” Gadis itu mengambil segelas minuman di sisinya meneguknya sesaat, sebelum kemudian beranjak ke arah pintu. Sebelum membukanya ia lebih dulu melihatnya ke arah monitor yang terlihat. Dan detik berikutnya matanya melotot dengan jantung berdetak lebih kencang. “Kak Max...”Ia kembali menyembunyikan tubuhnya di balik pintu, dengan perasaan yang tidak karuan. Ia mengira yang datang itu Alex, karena pria itu kini memilih tinggal di mes dibandingkan harus tinggal bersamanya. Keberuntungan Alex mendapatkan pekerjaan di sebuah bangunan. “Ada apa dia kemari? Apakah dia ingin kembali membuangku ke tempat menyedihkan itu?”Bayangan bagaimana sulitnya hidup di daerah terpencil itu kembali terlintas membuat Gracia panik. “Gracia buka pintunya. Aku tahu kau ada di dalam!” Max terus mengetuk pintu dan menekan bell berkali-kali, karena memang sebel
“Kak Cherry...” Valerie terkejut melihat saudara tirinya di depannya. Menyapu pandangan sekitar di mana ia baru menyadari, jika ia berada di tempat yang begitu asing. Seperti sebuah gudang kotor dan menyeramkan, ia menduga tempat itu pasti berada di pelosok yang jauh dari hunian manusia.“Oh adik tiriku sayang.” Cherry menyeringai membelai wajah mulus Valerie. “Bagus kau sudah sadar."“Apa yang mau kakak lakukan?!” “Aku ingin bermain-main denganmu sebelum kemudian menghabisi dirimu!”Wajah Cherry terlihat begitu menakutkan, seolah ada dendam yang begitu merasuk dalam jiwanya. Valerie mencoba memberontak ingin berlari. Tapi, jangankan untuk berlari melepaskan tangannya pun ia tidak mampu. Kedua tangannya saat ini terikat kuat, begitu juga dengan kakinya. “Lepaskan aku, Kak.”“Untuk apa aku menculikmu jika pada akhirnya akupun melepasmu.” Cherry menarik tubuhnya menjauh. “Terus kakak mau apa?"“Tentu saja melenyapkan dirimu.”“Apa salahku, Kak? Selama ini aku tidak pernah mengusik keh
Lima belas menit sebelumnya. Max masih berusaha mencari keberadaan istrinya. Hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan GPS yang menunjukkan keberadaan istrinya. “Kau tahu tempat ini, Jerry?” Max menunjukkan ponselnya. “Gps yang aku pasang di kalung Valerie. Berhenti di tempat ini.”“Itu gudang pabrik rokok yang terbengkalai, Tuan. Saya tahu tempat itu, sangat jauh dari kota.” “Kita terbangkan helikopter menuju kesana. Bawa anak buahmu Jerry.”“Baik, Tuan.”Dalam kurun waktu beberapa menit Max sudah tiba di tempat di mana penyekapan Valerie. Gudang itu dijaga oleh segerombolan para preman, tapi anak buah Jerry yang teramat tangguh mampu mengatasi itu. Max dengan cepat menyelinap masuk menuju pintu, mencari keberadaan Valerie. Dari balik pintu ia bisa mendengar jeritan Valerie. Dengan pistol di tangannya, ia dengan cepat mendobrak pintu hingga pintu yang terlihat kuat itupun langsung terbuka dan rusak. Tangannya langsung menarik pelatuk di tangannya tepat sasaran.Dorr... Dorr....Dara
Valerie dan Sarah langsung menoleh ke sumber suara terlihat Robert dan Joana melangkah mendekat. Valerie tertegun sejenak, ia sudah lama tidak melihat mertuanya itu, tepatnya semenjak Joana memohon agar Gracia dibebaskan. Tapi, melihat kondisinya kini Valerie sedikit heran karena wajah perempuan itu terlihat cerah seolah tanpa beban, sangat berbeda saat terakhir kali keduanya saling bertatapan.“Papa ..."“Mama ...”“Bagaimana kabarmu, Valerie?” tanyanya usai keduanya mendekat.“Kalian ngapain kemari?” Belum sempat Valerie menjawab Max lebih dulu tiba menyambar begitu saja. Raut wajahnya terlihat tidak bersahabat. “Apa ada alasan untuk seorang Ayah ke rumah putranya sendiri?” tanya balik Robert. Max mendesis malas. “Tapi, biasanya memang begitu."“Max —"“Ah sudahlah aku juga mau ke kantor.” Max berlalu meninggalkan semuanya yang diikuti Jerry. Melewati Valerie begitu saja. Seusai kepergian suaminya Valerie kembali duduk menghabiskan sarapannya yang masih belum tersentuh sedikitp
“Kenapa dengan wajah ku?” tanya Max bingung.“Kau itu masih tidak menyadari wajahmu yang menyeramkan itu. Jika menantuku melihatnya bisa-bisa dia semakin stress dan cucuku bisa lahir sebelum waktunya. Sudahlah lebih baik kamu diam di rumah. Papa juga mau numpang tidur di sini.” Robert menjawab sambil berlalu menuju kamar tamu, meninggalkan Max dan Jerry yang masih terpaku di tempat.“Kau dengar itu Jerry. Papa bilang jika Valerie akan semakin stress melihat wajahku. Maksudnya apa coba? Memangnya wajahku itu menakutkan?” Max berdecak sementara Jerry hanya terdiam tidak berani menjawab. Bagi Jerry memang tidak menakutkan, tapi sikap dingin Max itu terkadang menyeramkan. Apalagi saat keinginannya tidak segera terpenuhi, pun jika ada yang berani membantah perintahnya, emosinya akan meledak dan siap menghabisi siapapun. Pantas saja jika istrinya yang tengah hamil itu akan stress jika melihat wajahnya. Mungkin saja karena hal itu akan membuat ia teringat perlakuan Max padanya.Semua yang
Sepanjang perjalanan ke rumah Max terus menggerutu kesal. Ia merasa Joana terlalu ikut campur urusannya. Seandainya saja ia tidak mengingat nasehat Dokter Elia tentang kondisi janin Valerie, tadi ia pasti akan langsung menerobos masuk menemui istrinya. “Kau lihat itu, Jerry. Perempuan itu benar-benar sudah berani denganku. Bisa-bisanya dia mengusirku, saat aku mau menemui istriku. Dia pikir dia itu siapa?” gerutu Max sambil mengendurkan dasinya.“Dia ibu tiri Anda, Tuan,” jawab Jerry yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Max. “Em... Maksud saya. Istri Ayah Anda,” ralatnya kemudian sambil memukul bibirnya. “Berani kau salah bicara sekali lagi ku gunting bibirmu!” ancamnya yang langsung membuat Jerry kembali memegang bibirnya, membayangkan seandainya itu terjadi, ia pun bergidik ngeri.“Maaf, Tuan.”“Aku heran masa iya sih Valerie bisa stres karena melihat wajahku. Yang benar sajalah. Ini pasti akal-akalan dia saja.”Jerry menghela napas panjang. Tidak mengerti bagaimana ia h