แชร์

Beneath the Mafia’s Veil
Beneath the Mafia’s Veil
ผู้แต่ง: Selena Cipher

Chapter 1: Camellia Putih

ผู้เขียน: Selena Cipher
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-12 21:10:08

Hujan deras membasahi jalanan Ravenwood, menciptakan genangan air yang memantulkan lampu-lampu jalan berwarna kekuningan. Kota itu, meskipun besar, selalu terasa mencekam di malam hari. Deru mobil patroli polisi terdengar di kejauhan, semakin mendekat ke salah satu sudut distrik industri yang sepi.

Leon Ardian melangkah keluar dari mobilnya dengan mantelnya yang panjang. Dia menghela napas panjang sambil memandang ke arah gudang tua yang dikelilingi garis polisi. Sebuah tempat yang jauh dari peradaban, tempat di mana tak seorang pun berharap menemukan kehidupan atau kematian.

“Detektif Ardian!” suara seorang petugas polisi memanggil. “Kami menemukan korban lainnya. Ini yang ketiga minggu ini.”

Leon mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu kasus ini akan menjadi mimpi buruk lain yang membangunkannya di tengah malam. Mengambil senter dari sakunya, dia berjalan mendekati lokasi di mana tubuh seorang wanita ditemukan.

Tubuh itu terbaring di tengah ruangan besar yang kosong, diterangi oleh lampu portable yang dipasang tim forensik. Di sebelah tangan kanannya, bunga camellia putih tergeletak dengan tenang, kontras dengan darah yang mengalir dari tubuhnya.

“Camellia lagi,” gumam Leon.

“Ya, detektif. Sama seperti dua kasus sebelumnya. Posisi korban, bunga, semuanya identik,” jelas seorang teknisi forensik.

Leon memandang ke arah bunga itu, lalu ke wajah korban. Dia tidak lagi merasa mual melihat tubuh manusia yang tak bernyawa, tetapi ada sesuatu yang mengganggu tentang pola ini. “Apa sudah ada ahli otopsi di sini?” tanyanya.

“Baru datang. Dia di luar, sedang bersiap.”

Leon mengangguk dan berjalan keluar gedung. Di sana, seorang wanita berdiri di bawah payung hitam, mengenakan jas lab putih yang kontras dengan langit kelabu di atasnya. Rambut cokelat gelapnya ditata rapi, dan ekspresi wajahnya dingin seperti malam itu.

Evelyn Selene.

“Dokter Selene,” Leon menyapa dengan nada datar.

Evelyn menoleh dan mengangguk kecil. “Detektif Ardian,” jawabnya. Suaranya tenang, hampir tanpa emosi.

“Kami menemukan korban ketiga. Camellia putih lagi. Sepertinya pembunuhnya ingin kita tahu sesuatu.”

Evelyn tidak menanggapi langsung. Dia hanya mengarahkan pandangannya ke gudang, lalu melangkah masuk tanpa meminta izin. Leon mengikutinya dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. Evelyn memang terkenal dengan sikap dingin dan efisiensinya, tetapi itu justru yang membuatnya disukai atau dibenci oleh banyak orang.

“Beritahu saya apa yang anda temukan,” pinta Evelyn begitu dia berjongkok di samping tubuh korban. Tangannya yang terbungkus sarung tangan lateks mulai memeriksa luka-luka dengan cermat.

Leon menyilangkan tangannya di dada. “Wanita. Usia kira-kira 30 tahun. Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Dan bunga itu…”

“Camellia,” potong Evelyn. “Bunga yang melambangkan kesempurnaan dan keanggunan. Tetapi dalam beberapa budaya juga dianggap sebagai simbol pengkhianatan.”

Leon menaikkan alisnya. “Simbol pengkhianatan? Pembunuh ini tampaknya punya selera aneh.”

“Bukan selera,” jawab Evelyn sambil berdiri. “Pesan.”

“Pesan apa?”

Evelyn memandang Leon dengan tatapan serius. “Pesan yang hanya dia pahami, setidaknya untuk saat ini. Saya perlu melakukan otopsi lebih lanjut, tetapi dari luka-lukanya, ini bukan sekadar pembunuhan acak. Dia ahli. Potongannya bersih, terencana.”

Leon mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau begitu, lakukan apa yang perlu Anda lakukan. Saya akan mencari tahu lebih banyak tentang korban.”

Evelyn mengangguk dan mulai mengatur persiapannya. Sementara itu, Leon melangkah keluar, menyalakan rokok, meskipun tahu itu dilarang di lokasi kejadian. Dia memandang ke arah hujan yang semakin deras, pikirannya dipenuhi teka-teki yang terus bertambah.

Di pagi hari, Leon kembali ke kantornya. Tumpukan dokumen dan laporan memenuhi mejanya. Sambil duduk, dia membuka berkas korban terbaru.

Lara Finnigan. 32 tahun. Wartawan investigasi.

“Wartawan,” gumam Leon. “Apa yang sedang dia selidiki?”

Leon mulai membaca laporan pekerjaan Lara. Ternyata dia sedang menulis artikel tentang kejahatan terorganisir di Ravenwood, sebuah artikel yang belum selesai dan tampaknya menjadi alasan dia dibunuh.

Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Leon. Evelyn masuk dengan sebuah map di tangannya. Dia tampak sedikit lelah, tetapi tatapannya tetap tajam.

“Hasil otopsi,” katanya sambil meletakkan map itu di meja Leon.

Leon membuka map tersebut dan membaca isinya. Evelyn menjelaskan, “Korban meninggal karena kehilangan darah. Luka-luka di tubuhnya sangat presisi, seperti dilakukan oleh seseorang dengan pengetahuan medis. Saya yakin ini bukan pertama kalinya pelaku melakukannya.”

Leon memandang Evelyn. “Ahli medis? Atau seseorang yang pernah bekerja di bidang ini?”

Evelyn mengangguk. “Kemungkinan besar iya. Tapi saya menemukan sesuatu yang menarik.”

“Apa itu?”

Evelyn menyerahkan foto close-up dari luka di tangan korban. Ada sesuatu yang terukir di kulitnya sebuah angka.

“’0411’,” baca Leon keras-keras. “Apa artinya?”

“Saya belum tahu. Tapi ini bukan angka acak. Bisa jadi tanggal, kode, atau bahkan tanda untuk korban berikutnya.”

Leon menghela napas panjang. “Kalau begitu, kita harus bergerak cepat sebelum ada angka lain yang muncul.”

Evelyn memandang Leon dengan tatapan serius. “Saya harap anda benar-benar serius dengan ini, Detektif Ardian. Karena pelaku ini tidak hanya cerdas, dia juga menikmati apa yang dia lakukan.”

Leon tersenyum kecil. “Tenang saja, Dokter Selene. Saya tidak akan membiarkan dia lolos.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 33: Fajar yang Menyala

    Cahaya pagi perlahan menyentuh permukaan laut, memecah kegelapan malam yang menyelimuti kapal penyelamat. Suara ombak yang tenang seakan menjadi pengingat bahwa, meskipun mereka selamat dari serangan sebelumnya, badai baru mungkin saja akan segera datang.Di ruang medis kapal, Hayes duduk di samping ranjang Evelyn. Matanya tetap tertuju pada layar monitor, seolah memastikan bahwa detak jantung Evelyn yang lemah masih bertahan. Wajah Evelyn tampak pucat, tetapi tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Leon, yang telah mendapatkan perawatan dasar, bersandar di tandu dengan tangan terbalut perban, matanya tetap memandangi Evelyn dengan penuh harapan.“Dia kuat,” kata Leon dengan suara serak, memecah keheningan.Hayes mengangguk pelan. “Dia selalu begitu. Tapi ini baru permulaan, Leon. Kita tidak bisa berhenti di sini.”Leon menarik napas dalam, mengabaikan rasa sakit yang menusuk di dadanya. “Apa yang kita miliki sekarang? Data itu... apakah cukup untuk mengalahkan Sokolov?”Hay

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 32: Kepergian yang Tak Terucap

    Hayes berdiri di tengah kekacauan, darah yang mengalir dari lukanya tak lagi terasa karena rasa sakit yang jauh lebih besar memenuhi hatinya. Ia menatap tubuh Claire Vega yang tergeletak tak bernyawa di sisi, wajahnya yang pernah dipenuhi dengan kebohongan kini tak bisa lagi memungkinkannya untuk menduga apa yang sebenarnya ada di balik tindakan pengkhianatannya. Kematian Claire terasa seperti sebuah pengingat betapa rapuhnya batas antara kebenaran dan kebohongan.Tim penyelamat berlarian mengelilinginya mencoba menenangkan kekacauan yang terjadi, tetapi dalam hatinya Hayes tahu tak ada yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi. Leon dan Evelyn telah hilang, tenggelam ke dalam kegelapan laut yang luas dan bahkan alam pun tidak memberikan kesempatan untuk mereka bertahan.Sementara itu, di kedalaman laut Leon merasakan tubuhnya melayang tanpa kendali. Kesadaran yang mulai memudar dan pikiran yang kabur, namun satu hal yang jelas terbayang dalam benaknya—Evelyn. Tubuhnya yang seharus

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 31: Pengorbanan di Ujung Harapan

    Puncak tebing itu terasa seperti ujung dunia. Angin laut yang keras memukul wajah Leon menggigit kulitnya yang sudah terluka, dan melontarkan suara riuh yang terasa jauh dari kenyataan yang ia hadapi. Di punggungnya, Evelyn terkulai lemah, hanya bisa menggenggam bahunya dengan cemas. Rasa sakit dari tubuhnya yang terluka semakin menggerogoti kekuatannya, tetapi Leon tidak bisa berhenti. Tidak sampai Evelyn aman.Leon mengangkat senjatanya sambil menatap pasukan Sokolov yang semakin mendekat, setiap gerakan mereka seperti bayangan kematian yang menunggu untuk menghabisinya. Matanya berkilat dengan kebencian yang tak terhingga dan meskipun tubuhnya hampir hancur, ia tidak akan membiarkan mereka menang."Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan apa yang kau inginkan, Sokolov!" pikir Leon, giginya bergemeretak saat ia menghadap musuhnya yang sudah siap menyerang.Tembakan pertama dari pasukan Sokolov meledak, tetapi Leon sudah siap. Ia bergerak cepat, memutar tubuhnya yang sedang menggendo

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 30: Langkah Terakhir

    "Aku tidak akan meninggalkanmu, Evelyn. Tidak pernah, bahkan jika itu berarti aku harus merangkak menuju keselamatanmu."-Leon ArdianUdara di dalam gua semakin terasa berat dan lembap, seolah menekan mereka dengan ancaman yang tak terlihat. Evelyn berbaring lemah di sudut, tubuhnya menggigil meskipun keringat dingin membasahi wajahnya. Ia memandang langit-langit batu yang gelap, mencoba mengatur napas yang terputus-putus. Rasa sakit di perut dan kakinya seperti bara yang terus membakar, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan."Aku menyusahkan mereka." Pikiran itu terus menghantui Evelyn, menggema di kepalanya seperti sebuah mantra yang menyiksa. Ia ingin berbicara, ingin meyakinkan Leon bahwa ia baik-baik saja, tetapi tubuhnya seolah tak lagi mendengarkan.Leon duduk bersandar di dinding gua, mengamati Evelyn dengan mata yang penuh rasa bersalah. Luka di pinggangnya berdenyut tajam, tetapi rasa sakit fisik itu nyaris tak berarti dibandingkan dengan beban yang menghimpit dada

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 29: Di Ambang Kehancuran

    Udara di dalam gua terasa berat, dingin, dan lembap. Bayangan dari cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah di mulut gua menciptakan pola-pola gelap di dinding batu. Suara langkah kaki musuh terdengar samar dari kejauhan, seperti lonceng kematian yang terus mendekat.Leon berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pendek-pendek, luka di pinggangnya semakin terasa menyakitkan, tetapi ia tidak peduli. Matanya menatap tajam ke arah hutan di luar, mencoba menangkap setiap gerakan yang mencurigakan.Di belakangnya, Evelyn terbaring di tanah dingin dengan napas berat. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat seperti kertas, dan kain yang membalut lukanya sudah mulai merah pekat oleh darah. Hayes berlutut di sisinya, tangan gemetar saat ia mencoba memperbaiki balutan pada luka di perut Evelyn.“Kita butuh sesuatu untuk menghentikan pendarahannya,” kata Hayes dengan nada putus asa. “Dia tidak akan bertahan lama seperti ini.”Leon tidak menjawab. R

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 28: Amarah yang Membara

    ***Hutan itu tak lagi terasa seperti tempat perlindungan. Bayangan pepohonan yang biasanya memberi ketenangan kini seperti jerat yang terus menghimpit, mengurung mereka dalam ketakutan yang tak terucapkan. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Hayes menyatu dengan gemerisik dedaunan, berpacu dengan suara langkah berat para pemburu di belakang mereka.“Cepat! Mereka sudah dekat!” bisik Leon sambil menoleh ke Evelyn dan Hayes. Ia menunjuk semak tebal di depan mereka. “Kita sembunyi di sana.”Mereka bertiga merunduk di balik semak-semak, menahan napas. Evelyn mencengkeram tasnya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya sudah terlalu lelah, dan rasa pening yang menyerang membuat pandangannya sedikit kabur.Hayes, yang bersembunyi di sebelah Evelyn, mencoba meredam napasnya yang memburu. Wajahnya basah oleh keringat, dan matanya melebar karena rasa takut yang tak terhindarkan.Leon, di sisi depan semak, menggenggam senjatanya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan. Matanya tajam, m

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 27: Pelarian dan Pengkhianatan

    ***Lorong panjang di fasilitas itu menjadi saksi bisu perjuangan Leon, Evelyn dan Hayes yang berlari dengan napas memburu. Suara langkah kaki mereka berpacu dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga, menciptakan suasana yang hampir tak tertahankan. Setiap detik terasa seperti ancaman dan setiap langkah seolah membawa mereka lebih dekat pada bahaya yang tak terlihat.“Ayo cepat!” Leon berteriak, menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tetap bersama. Matanya penuh ketegangan, dan genggaman pada senjatanya semakin erat.Evelyn berlari di belakangnya, tas kecilnya terayun-ayun di pundaknya. Kepala yang masih berdenyut dan pandangan yang sedikit kabur membuat setiap langkah terasa lebih berat. Namun, ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Tidak ada waktu untuk ragu, tidak ada ruang untuk berhenti.Hayes, dengan napas yang tersengal-sengal mencoba mengikuti langkah mereka. “Berapa jauh lagi?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan.“Lorong ini harus menuju keluar,” jawab Leon tanpa meno

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 26: Bertahan di Tengah Perangkap

    ***Lampu merah berkedip-kedip seperti tanda bahaya yang hidup, menambah ketegangan yang sudah menyesakkan udara di ruangan itu. Evelyn berdiri di depan terminal di dinding, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tetapi otaknya terasa seperti dikejar waktu. Pandangannya mulai kabur, kepala terasa berat, dan setiap suara langkah kaki di luar lorong seperti gema yang membesar di kepalanya.“Cepat, Evelyn!” Leon berteriak di belakangnya, napasnya kasar setelah menembak ke arah musuh yang terus mendekat. “Mereka sudah terlalu dekat!”“Aku mencoba, Leon!” balas Evelyn dengan suara bergetar. Tangannya gemetar, sulit untuk tetap stabil di bawah tekanan. Setiap kode yang ia masukkan terasa seperti pertaruhan antara hidup dan mati. Ia tahu ia tidak bisa membuat kesalahan—tidak sekarang.Keringat mengalir di pelipisnya, matanya terasa pedih karena terus menatap layar. Cahaya merah yang memantul dari lampu darurat semakin membuat pikirannya kacau. “Aku... aku hampir selesai,” gumamnya, su

  • Beneath the Mafia’s Veil   Chapter 25: Keputusan yang Tak Bisa Ditunda

    ***Pagi yang berat berubah menjadi siang yang menyengat. Pulau Leros masih dikelilingi ketenangan yang menipu, tetapi bagi Leon, Evelyn, dan Hayes, setiap detik terasa seperti hitungan mundur. Udara yang hangat semakin terasa menekan, memaksa mereka untuk segera bertindak sebelum terlambat.Evelyn duduk di meja dengan peta terbentang di depannya. Ia menggambar garis-garis kasar, menunjukkan jalur keluar dari pulau itu. Matanya penuh dengan ketegangan, tetapi tangannya tetap stabil. Di sebelahnya, Hayes sibuk mencatat informasi yang mereka butuhkan untuk menyerang fasilitas terdekat—simpul yang menjadi bagian dari jaringan Sokolov.Leon berdiri di sudut ruangan, memperhatikan mereka berdua. Wajahnya serius, penuh dengan kecemasan yang ia coba sembunyikan. Ia tahu bahwa setiap keputusan yang mereka buat sekarang akan membawa konsekuensi besar.“Aku masih berpikir ini terlalu berisiko,” kata Leon akhirnya, suaranya memecah keheningan yang mencekam. “Jika kita salah langkah, kita semua a

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status