Siang ini mereka makan bersama, suami dan anak Risa juga ikut berkumpul. Keluarga besar Roni sudah bisa menerima kehadiran Rania, entah apa yang Roni dan Risa katakan pada mereka.Makan siang yang begitu meriah, gelak tawa memenuhi ruang makan kecil itu. Ibu Rania juga terlihat lebih baik dari sebelumnya, lebih banyak senyum yang menghias bibirnya."Makan yang banyak Ki, biar cepet tinggi kayak Revan," ucap Roni pada sang anak."Iya, Riki mau kayak dek Revan. Biar nanti bisa jadi polisi. Riki mau punya tembak sama motor gede," ujar Riki menanggapi ucapan ayahnya."Kalau Revan mau jadi apa?" tanya Roni pada keponakannya."Mau jadi pilot, mau bawa Bunda keliling dunia," jawab Revan antusias."Kalau Rima?""Mau jadi dokter, biar bisa obatin Kak Riki sama dek Revan kalau sakit," ujar anak perempuan berusia sembilan tahun itu."Wah, hebat semua ya cucu nenek. Semoga cita-cita kalian terwujud semua," doa Risa untuk cita-cita anak-anak."Amin," ucap semua serempak."Budhe, di depan ada tamu,
"Saat itu saya tidak tau kalau dia punya pacar," ucap Rania."Jangan bohong kamu! Bagaimana bisa kamu nggak tau kalau Andra punya pacar, sementara kami sudah berpacaran dua tahun?"Sania mulai meninggikan suaranya. Kehidupan rumah tangganya sedang tidak baik, ditambah dengan kehadiran Rania dan anak mereka yang begitu tampan dan sempurna. Hal itu membuat Sania semakin murka."Apakah Anda datang ke sini untuk menyalahkan saya atau mendapat jawaban saya?" tanya Rania.Sania duduk kembali, ia ingin mengetahui fakta yang terjadi, karena jika ia bertanya pada adik ipar dan suaminya ia yakin tidak akan mendapat jawaban yang benar."Baiklah. Aku harap kamu tidak berbohong.""Saya berusaha menceritakan kejadian sebenarnya, tapi semua itu tergantung Anda percaya atau tidak pada ucapan saya?" ucap Rania.Sania menghela nafas berat, ia hanya mengangguk untuk mendengarkan cerita Rania."Saat itu Sinta yang meminta saya untuk menjalin hubungan dengan Kakaknya, saya yang sudah bersahabat cukup lama
"Liburannya tinggal tiga hari, kita pulang kapan?" tanya Revan pada sang ibu.Rania dan Revan sedang menikmati pemandangan persawahan di belakang rumah ibu Rania, sudah begitu lama Rania tidak melihat tempat ini. Sudah banyak sawah yang berganti menjadi bangunan, hanya beberapa petak sawah yang bertahan termasuk satu petak milik almarhum ayah Rania."Sabtu pagi. Tadi bu guru juga sudah ngingetin di grup," jelas Rania.Mereka sudah berada di kampung selama satu minggu, semua berjalan dengan baik. Sudah tidak ada gangguan dari keluarga Andra."Kalau mau ajak nenek tinggal sama kita, boleh?""Nenek belum bisa, nanti nunggu sembuh dulu. Kalau liburan panjang pasti Bunda ajak Revan ke sini lagi, Revan betah di sini?" tanya Rania saat anaknya masih asyik bermain lumpur. Mereka hanya berdua, karena keluarga Risa sedang ke rumah orang tua Roni. Sementara sang ibu sedang beristirahat setelah meminum obat. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, tapi berada di pinggiran sawah yang ditumbuhi p
Setelah puas menikmati hamparan sawah dan memetik buah jambu, mereka memutuskan kembali ke rumah.Suasana masih sepi, Risa masih belum pulang sementara sang ibu masih tertidur pulas."Bun, beli makanan atau minuman apa gitu yuk. Pengen jalan-jalan naik motor, aku boncengin," ucap Revan setelah selesai bersih-bersih."Mau ke mana emang?" Rania masih asyik menikmati jambu air yang baru di petik Revan. Beruntung puhonnya pendek, jadi Revan bisa mengambil buahnya."Ke mana aja, yang penting jalan-jalan. Lihat sekolah Bunda dulu, atau beli makanan yang Bunda suka. Sambil nostalgia gitu Bun," rayu Revan. Kerena selama di sini mereka belum pernah jalan berdua, Revan juga ingin tahu cerita sang Bunda di masa lalu."Boleh, Bunda ganti baju dulu," ucap Rania.Revan mengangguk lalu memilih mengeluarkan sepeda motor Roni.Saat tengah asyik memanasi motor, datang dua orang tetangga yang belum dikenali oleh Revan."Anaknya Rania ya?" tanya salah satu dari mereka."Iya pak," jawab Revan."Ternyata b
"Mau banget, udah laper juga. Pokoknya hari ini hari nostalgia jaman muda Bunda, jadi Revan nurut aja," jawab Revan.Revan juga begitu antusias bisa mendengar keceriaan sang Bunda, ia merasa wajah Bundanya berubah menjadi begitu ceria."Depan itu loh Van sekolahnya, sebelahnya ada tulisan bakso itu. Kita makan di sana ya, dulu Bunda suka dijajanin sama temen di sana," ujar Rania antusias.Selama perjalanan mengelilingi kenangan Rania, ia memang tidak berhenti bercerita dan tersenyum."Bunda dulu bandel nggak sih?" tanya Revan saat mereka menunggu pesanan bakso."Enggak lah, Bunda dulu sekolah ya sekolah. Jarang main ke mana-mana, almarhum kakek orangnya tegas. Pulang sekolah nggak boleh keluyuran, nggak kayak kamu sekarang," jelas Rania."Aku juga nggak bandel loh Bun, pulang telat juga karena ada les atau palingan nonton sama temen-temen. Nggak yang nakal gitu," bela Revan.Meski anak lelaki tapi Revan memang tergolong anak rumahan, terbiasa hidup hanya dengan ibunya membuat Revan me
Rania hanya melihat sekilas pada orang yang menyapanya. Entah nasib sial apa lagi kerena harus bertemu dengan orang yang sangat ingin ia hindari."Boleh aku duduk?" tanya Andra pada Rania.Lagi, Rania hanya diam tanpa menjawab. Sebenarnya ia ingin mengusir saja orang ini, tapi ini tempat umum dan dia tidak ingin membuat keributan lalu menjadi tontonan."Diammu aku anggap boleh," ucap Andra menjawab pertanyaannya sendiri."Kamu nggak banyak berubah, masih seperti Raniaku yang dulu," ucap Andra, ia berhenti sejenak saat melihat Rania menoleh sebentar lalu kembali memandang ke depan. "Hanya sekarang kamu sangat dingin."Rania mulai muak, orang yang tidak punya perasaan di samping Rania itu kini bertambah tidak punya malu. Bagaimana bisa dia masih bersikap biasa saja setelah banyak kesalahan yang ia buat."Apa itu berpengaruh untuk anda?" tanya Rania tanpa menoleh."Aku mau kamu tau sesuatu, mungkin itu bisa merubah penilaianmu terhadapku. Aku nggak sekejam yang kamu kira selama ini," uca
"Buktinya sampai sekarang kamu masih sendiri, kamu belum bisa lupain aku. Apalagi anak kita sangat mirip sama aku," jelas Andra."Anak kita? Anda sedang bercanda? Lucu sekali." Rania tertawa mendengar ucapan Andra."Aku senang masih bisa mendengar tawamu, kamu masih secantik dulu. Bukan, sekarang kamu jauh lebih cantik dan itu membuatku makin cinta sama kamu," ujar Andra."Terimakasih, tapi saya sudah tidak punya rasa sama anda," ucap Rania."Kamu masih cinta sama aku, sekarang kamu masih belum sadar aja. Aku bakal buktiin kalau kita masih saling cinta, dan kita bakal nikah suatu saat nanti," ucap Andra percaya diri."Silahkan, apapun yang anda lakukan tidak akan merubah apapun. Cinta itu sudah mati empat belas tahun yang lalu, tidak tersisa sedikitpun. Sampai kapanpun saya tidak akan menikah dengan anda, saya akan memilih pria yang baik bukan malah memungut sampah yang sudah membusuk," ujar Rania cukup keras."Kamu cukup menunggu aja, aku bakal nikahin kamu apapun yang terjadi," caka
"Nggak lah, ngapain? Di sana aku nggak pernah belanja, tinggal ambil dari dapur aja. Belinya langsung karungan sama kardusan, udah biarin aja di sini," putus Rania. Ia tahu sebenarnya sang kakak merasa tidak enak padanya."Uang bulanan dari kamu itu udah lebih dari cukup, kamu nggak perlu beliin kayak gini. Malah harusnya aku yang traktir kamu kalau main ke sini, kamu tabung aja uangmu. Buat kebutuhan kalian nanti."Risa masih terus menolak pemberian Rania. Ia tahu betul betapa kerasnya perjuangan Rania. Ia merasa tidak berhak menikmati hasil kerja keras adiknya itu. Selama ini Risa hanya memberi dukungan atas apa yang Rania kerjakan, tidak dapat membantunya secara materi."Itu udah aku pikirin. Uang ini emang aku rencanain buat bahagiain keluargaku, kita udah lama nggak ketemu. Lagian sekarang aku sedang mampu, jadi aku pengen kalian juga ngerasain hasil usahaku," jelas Rania seraya menggenggam tangan sang kakak.Mereka menangis, padahal tidak ada kejadian yang menyakitkan. Rania mem