"Selamat ya, Bu, usia kehamilan Ibu sudah masuk enam tujuh minggu," ucap seorang dokter kandungan pada Rania.Hari ini Rania menuruti ucapan Yati, ia memang merasa ada sesuatu yang mengganjal pada perutnya. Sebelum ini Rania mengira itu hanya karena buang air besarnya yang selama ini kurang lancar, ternyata ada janin dalam rahimnya yang saat ini sedang bertumbuh."Terimakasih, dok," ucap Rania terbata, ia masih belum percaya pada kenyataan yang ia alami."Mulai sekarang asupan makanan harus di jaga, jangan banyak pikiran dan hindari pekerjaan yang berat. Di trimester awal biasanya akan mengalami mual dan tidak berselera makan, itu hal yang biasa, jadi Ibu tidak perlu khawatir," jelas dokter itu pada Rania."Tapi saya tidak mengalami mual-mual atau tidak nafsu makan, justru saya sangat suka makan. Apa itu wajar, dok?" tanya Rania."Kalau begitu Ibu harus bersyukur, tidak banyak calon Ibu yang tidak mengalami gejala muntah dan mual pada trimester pertama, tapi itu tetap termasuk hal yan
Semakin hari nafsu makan Rania semakin meningkat, selama dua bulan saja berat badannya sudah naik enam kilo, perutnya sudah semakin membuncit seperti hamil tujuh bulan, padahal kehamilannya baru memasuki bulan ke empat."Nanti mau dibawain apa?" tanya Damar saat akan berangkat bekerja."Mau roti bakar rasa coklat," jawab Rania. Saat ini ia masih sibuk merajut, baru satu bulan yang lalu Rania memutuskan untuk belajar merajut."Mau bikin apalagi?" Damar mendekat pada istrinya yang masih sibuk sendiri."Bikin topi, baru dapet satu. Besok mau bikin sepatu," jawab Rania. Ini adalah dunia baru dan Rania sangat menikmatinya. Rania sangat bersungguh-sungguh untuk belajar merajut."Kok warnanya merah sama merah muda, kalau anaknya cowok gimana?""Ya nanti aku bikin warna biru, jadi kalau anaknya cowok masih bisa dipakek," jawab Rania tanpa menoleh pada Damar."Iya deh. Kalau gitu mas berangkat dulu, ya." Saat Damar berpamitan, Rania baru merespon dengan menerima uluran tangan dari suaminya lal
"Lain kali jangan makan sambal terlalu banyak ya, kasihan kalau ibu hamil sakit perut, rasanya pasti tidak nyaman," ucap dokter yang menangani Rania.Memang kemarin Rania memakan rujak buah, sambalnya sangat pedas karena memakai cabai lima. Rania begitu menikmati makanannya hingga ia menghabiskan semua sendiri, hingga akhirnya ia sakit perut.Rania mengangguk, hal ini cukup membuatnya malu karena mengira akan melahirkan.Setelah mendapat resep vitamin, Rania dan Damar pamit pada dokter tersebut."Aku tadi ngiranya kamu bener-bener mau lahiran," ucap Damar saat mereka sudah masuk mobil."Aku juga gitu, kirain si adik mau lahir sebelum waktunya. Perut mules, pinggang sakit, udah kayak mau lahiran Revan dulu," jelas Rania."Lain kali jangan gitu lagi, kasian adek kalau diajakin makan pedes mulu." Rania hanya tersenyum mendengar nasihat suaminya, karena ia tahu kalau kali ini ia memang membuat kesalahan.Hari ini Damar memilih memasak sendiri untuk makan siang mereka, ikan goreng dan osen
Bab 1 : Anak Haram"Apakah dia anak itu?" tanya seorang wanita pada Rania, "bukankah dulu aku sudah memintamu untuk menggugurkannya?"Rania tertawa lalu berkata, "sudah, tapi sepertinya dia terlalu kuat. Mungkin untuk menunjukkan bahwa dia bisa melindungi ibunya dari orang-orang jahat yang ingin membunuh mereka dulu, dan sialnya mereka adalah ayah dan tante dari anak itu."Rahang wanita di sebelah Rania mengeras, ia benar-benar emosi melihat anak yang di bawa mantan sahabatnya ke wilayahnya begitu mirip dengan kakaknya, "jangan pernah macam-macam, kalau sampai karir kakakku hancur, aku tidak akan memaafkanmu!" ancam wanita itu pada Rania."Lucu sekali, bukankah di sini aku adalah korban? Tapi mengapa kalian bersikap seolah aku adalah tersangka?" Rania mengatur emosinya, "kalau malam itu kamu tidak memberiku obat sialan itu, semua itu tidak akan terjadi. Kakakmu yang tega merenggut masa depanku, menitipkan benihnya di rahimku. Menjanjikan sebuah tanggung jawab tapi malah menikah dengan
Rania terisak di tepi ranjang, pagi itu dia terbangun dalam keadaan tidak berbusana di bawah selimut bersama Andra di sebelahnya. Rania semakin terisak saat rasa sakit itu seperti menghancurkan seluruh hidupnya. Bagaimana bisa Rania tidak mengingat apa pun yang terjadi?"Maafkan aku, aku akan bertanggung jawab kalau kamu sampai hamil. Tunggu dua bulan lagi, aku harus menunggu sampai wisuda," ucap Andra.Tangan Andra telulur untuk mengelus surai Rania, tetapi dengan cepat Rania mengelak, ia merasa jijik dengan Andra dan juga dengan dirinya sendiri. Ia sudah kotor, kesucian yang ia jaga selama ini harus direnggut oleh orang yang begitu ia percaya."Jangan sentuh aku, Mas."Rania berdiri setelah mengambil bajunya yang berserakan, ia berjalan menuju kamar mandi dengan selimut yang membelit badannya.Rania menggosok badannya dengan kasar. Ia bahkan menjambak rambutnya. Ia terisak di bawah guyuran air shower.Selesai mandi ia segera keluar, air mata terus mengaliri pipinya. Andra sudah berp
"Sekali lagi Ibu tanya sama kamu! Siapa bapak dari anak yang kamu kandung?"Ibu Rania murka setelah memgetahui anaknya tengah berbadan dua. Ia adalah seorang janda. Lalu, bagaimana ia menghadapi cemoohan tetangga saat anaknya hamil tanpa suami. Selama ini anaknya dikenal sebagai gadis yang baik.Sudah dua hari sejak kejadian wisuda Andra, Rania masih bungkam tidak menjawab pertanyaan Ibunya. Seberapa keras perlakuan ibu padanya, Rania tetap memilih diam. Rania tahu betul apa akibatnya jika ia buka suara, bahkan semua yang terjadi saat ini adalah campur tangan Andra dan adiknya. Rania belum memberitahu siapa pun tentang kehamilannya, tapi ibunya sudah lebih dulu tahu. Kuasa Andra dan keluarganya memang tidak terbantahkan.Hanya air mata sebagai jawaban akan semua tanya. Mulut Rania seakan terkunci rapat. Bahkan hanya untuk mengeluarkan suara isakan saja ia enggan. Rania berjanji akan menyimpan rasa sakitnya seorang diri.Risa masuk untuk melihat keadaan adiknya. Ia tidak tega mendenga
Rania menaiki bis malam untuk pergi ke luar kota di mana ia bekerja, beruntung rumah kos yang ia tempati belum habis masanya. Rania mengistirahatkan tubuh lelahnya, ia usap perut yang masih rata itu.Isakan lolos dari mulutnya, ia adalah korban tapi semua orang membencinya seperti ialah tersangka utamanya. Mengapa Tuhan begitu tidak adil padanya?Selama ini Rania selalu berusaha tidak menyakiti orang lain, tapi mengapa ada orang yang begitu kejam padanya. Rasa lelah mendera, Rania mulai memejamkan matanya. Perlahan kesadaran Rania menghilang, ia tidur meringkuk di kasur tipis itu.Paginya Rania memutuskan untuk pergi jauh dari tempatnya, rumah kosnya sudah diketahui banyak orang. Bisa jadi sewaktu-waktu mereka akan mencarinya ke sini, Sinta akan terus memaksanya menggugurkan kandungannya.Rania sudah membuat surat pengunduran diri. Rania keluar dari kos, ia berjalan menuju kos sebelah untuk menitipkan surat itu.Mengetuk pintu, Rania lalu menunggu di kursi depan kamar. Rania cukup se
"Di sini kebanyakan para pekerja, Mbak, jadi kalau pagi sepi. Di depan sana mau dibangun Sekolah Dasar sama Menengah Pertama, kayaknya pembangunan jangka panjang. Kalau Mbak Rania mau, Mbak Rania bisa jualan di depan kontrakan aja. Jual es, kopi sama mi aja, Mbak," ucap ibu pemilik kontrakan. Pagi tadi ibu pemilik kontrakan meminta Rania datang ke rumahnya, ada tawaran pekerjaan katanya. Rania datang pukul delapan setelah selesai mencuci dan membereskan kontrakan. Sudah dua bulan Rania tinggal di kota ini, tapi belum juga mendapat pekerjaan. Jadi dia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini."Apa nggak masalah kalau saya jualan di sini? Saya kan penghuni baru, Bu?" jawab Rania, ia merasa tidak enak hati pada para tetangga."Nggak apa-apa, Mbak. Kan, saya yang nyuruh. Kalau ada yang protes, bilangin langsung ke sini aja. Lagian orang sini kalau pagi banyak yang jualan di pasar sampai siang, jadi jarang yang di rumah. Kalau yang di kontrakan malah kebanyakan kerja di pabrik, kadang bisa sam