Home / Romansa / Berbagi Luka / Keinginan Untuk Sisa Hari Ini

Share

Keinginan Untuk Sisa Hari Ini

last update Last Updated: 2022-03-14 22:01:58

12:55 WIB 

Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. 

"Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. 

"Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan di pertengahan waktu pagi dan siang, jadi kalau begitu, hitungannya sudah makan siang belum? 

"Aku gak tau udah makan siang atau belum, Seren," jawab Sara dengan suara kecilnya. Mendengarnya, Seren menautkan kedua alisnya bingung. 

"Kok bisa gak tau?" 

"Aku makan bekal punya Jonathan sekitar jam 10 pagi, jadi gak tau itu masuknya makan siang atau bukan," jelas Sara membuat Seren ber-oh ria. Kepalanya kemudian mengangguk-angguk tanda paham. 

"Barusan, Kak Guntoro minta tolong sama aku untuk jemput kamu. Kalo seandainya kamu udah kuat, kamu bisa ikut ospek lagi." Sara kini terdiam sejenak. Ketika mendengarnya, bagian dalam dada Sara seolah baru saja ditinju oleh sesuatu dengan kuat. Memang, ia tadi sudah memikirkan dan memperbaiki batinnya agar tenang dan mau melanjutkan kegiatan ospek hari ini. Ia tak boleh merepotkan orang lain. Sara ingin setidaknya untuk tidak menghambat kegiatan kelompoknya. Tetapi tetap saja, saat ajakan mengenai kembali bergabung dalam kelompok itu diucapkan, Sara masih mampu merasakan ketakutan yang mulai mendatanginya kembali. Dalam situasi seperti sekarang, Sara memilih untuk menarik napasnya sedalam mungkin, berusaha untuk mentralisir kedamaian batinnya, supaya mampu keluar dan bertahan sampai akhir hari ini. 

"Sara?" panggil Seren membuyarkan lamunan Sara. 

"Ah, iya aku udah kuat. Aku minta maaf kalo aku menghambat kalian semua," ujar Sara dengan senyumnya yang terkesan kaku. Melihatnya, Seren pun terkekeh kecil. 

"Tadi itu kita cuma milih ketua sama wakil ketua, kok. Terus habis itu kita main games sama kakak-kakak panitia dan himpunan, jadi kamu jangan khawatir," ucap Seren membuat Sara menghembuskan napasnya lega. Kalau begitu, selanjutnya benar-benar harus menjadi lebih baik. Dalam pikirannya yang sudah ia coba untuk tenangkan kini, ia mampu melihat kalau dalam kelompoknya itu ada setidaknya dua anggota yang sudah ia rasakan kebaikannya, yaitu Jonathan dan Seren. Sara seharusnya bisa untuk - tunggu, Seren itu, orang mana ia?

Sara kini memperhatikan sosok Seren yang masih terduduk tepat di sampinganya. Selagi matanya menatapi Seren lekat, batinnya mulai melayangkan banyak sekali pikiran yang mungkin saja akan kembali menghancurkannya nanti. 

Dari mana asal Seren? Dari Jakarta kah ia? Kalau iya, akankah suatu saat ia berbalik mencaci Sara? Bukankah orang Jakarta suka memilih-milih dalam berteman? Bukankah mereka hanya akan menjadikan manusia seperti Sara sebagai bulan-bulanan? 

"Sara? Kamu bengong lagi?" Suara Seren untuk yang kedua kalinya membuyarkan lamunan singkat Sara. Sara yang mendapatinya pun segera sadar dan kembali menundukkan kepalanya. Tidak boleh, Sara harus mengingat tekadnya barusan, yaitu menjalani sisa jam ospek hari ini dengan baik. Itu berarti Sara tak boleh membiarkan dugaan-dugaan busuk mengambil alih kendali hatinya. 

"Ah, maaf Seren," ucap Sara kemudian dengan senyumnya yang terkesan masih kaku. Dapat Sara lihat Seren yang lalu kembali dengan kekehan kecilnya. 

"Gak apa-apa, kok. Ngomong-ngomong, kamu beneran udah kuat, kan? Kalo udah kuat, yuk kita balik ke kelompok. Bentar lagi pasti dibunyiin sirinenya." Tanpa banyak berpikir, Sara mengiyakan ajakan Seren. Keduanya lalu berdiri secara bersamaan dengan Sara yang membawa kotak bekal milik Jonathan di tangannya. Sekali lagi sebelum benar-benar melangkah keluar dari klinik, Sara menarik napasnya dalam, berdoa pada Yang Kuasa, semoga saja kali ini Dia mendengarkan doanya, yaitu tentang biarkan Sara menjalankan sisa hari ini dengan setidaknya tanpa drama seperti tadi. Izinkan Sara untuk hidup normal meski hanya beberapa jam. 

Seren kini menggaet lengan Sara bersamanya, kemudian berjalan bersama menuju luar klinik. 

Swush 

Seketika angin menerpa kulitnya, Sara memejamkan matanya sebentar. Apakah ia sudah terlalu lama berada di dalam ruangan, sehingga terpaan angin yang tak seberapa sensasinya pun mampu membuatnya merasa sedikit lebih segar? Entahlah, yang terpenting sekarang adalah tentang bagaimana Sara bisa membuat sisa jam ospeknya tak berjalan seperti yang sebelumnya. 

"Ayo." Sara mengangguk saat Seren mulai menuntunnya berjalan menyusuri aspal abu-abu yang siang ini dipenuhi dengan cahaya matahari. Selagi melewatinya, kepala Sara terus menunduk ke bawah, tak berkehendak untuk mendongak barang sedikit ke atas. Bayangan tentang saat pertama kali dirinya dibawa ke klinik oleh Fajar dan Jonathan kini masih membekas dalam kepalanya. Sara tahu jelas kalau itu semua bukan hanya pemikiran buruknya, namun benar-benar murni pandangan-pandangan asing yang terasa sangat mengintimidasi, meski Sara sendiri tak melihat mereka semua secara langsung. 

Akankah orang-orang mengingat sosoknya? Yah, kalau saja dipikir dengan logika orang normal, untuk apa pula orang-orang mengingat sosoknya yang tak penting? Maksudnya, memangnya Sara siapa sampai harus diingat? 

Kembali lagi, semuanya itu hanya dimiliki oleh logika orang normal. Untuk logika milik Sara sekarang, ia tengah berpikir mengenai, bukankah orang-orang Jakarta itu suka membicarakan orang di belakang? Bukankah mereka mudah mengingat sesuatu yang mencolok, lalu membicarakannya sebagai topik panas yang menyenangkan? Apakah Sara tadi tampil seburuk itu sehingga rasanya omongan-omongan tentang dirinya mungkin saja keluar, menjadi tombak pagi punggungnya? 

Tiutttt

"Sara, ayo kita lari! Sirinenya barusan dibunyiin!" Sara yang tengah sibuk kembali dengan lamunannya itu pun mendadak tersentak kaget. Pasalnya, Seren tanpa aba-aba menarik tangannya dengan kencang. Keduanya kini berlari cepat menerobos kerumunan yang juga tengah berlarian untuk masuk ke dalam barisan atau kelompok masing-masing. 

Dhug 

"Akh!" 

"Sara!" Sara, tubuh gadis itu tiba-tiba menabrak seseorang dengan kencang, karena larinya dan Seren yang tanpa arah. Sungguh, Sara tak ingin bohong, tetapi tabrakan itu cukup mampu untuk membuatnya merasakan ngilu di bagian lengannya. 

"Ah, kak maaf! Saya minta maaf!" ucap Seren cepat sembari membungkukkan tubuhnya berkali-kali. Sara yang masih meringis pun ikut membungkuk. Intinya sekarang, Sara tak boleh cari ulah. 

"Oh, iya. Gue juga minta maaf," ujar orang yang baru saja Sara dan Seren tabrak. Orang itu merupakan lelaki tinggi. Entah bagaimana wajahnya, Sara tak melihatnya. Ia memilih untuk menundukkan kepalanya, menatap jalanan yang kini sudah berganti menjadi jalanan rumput. 

"Ehm, saya sama temen saya duluan ya, kak!" Seren kembali membungkuk sebelum akhirnya kembali membawa Sara untuk kembali berlari pergi. 

Drap 

Drap 

Drap 

Bersamaan dengan langkah kaki Sara yang terseret oleh langkahan kilat Seren, Sara tak sengaja menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang, ke arah tempat dimana si lelaki yang ditabraknya tadi masih berdiri. Wajahnya, lelaki itu kelihatan buram dari jarak Sara sekarang, tetapi satu yang Sara tahu, yaitu lelaki itu memliki perawakan yang tinggi dan... mengapa ia kelihatan seolah tengah sedang memperhatikannya?

Christy Evangelica

Halo, temen-temen semua! Menurut kalian pemikiran Sara soal lingkungan sekitarnya gimana? Ngeselin gitu, ya? Ahahaha... Tapi jujur, orang yang punya penyakit kayak Sara itu pikirannya emang kadang atau bahkan dominan seburuk itu. Hehe, jadi selamat membaca, ya!!

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berbagi Luka   Pulang Ke Rumah

    Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng

  • Berbagi Luka   Sekoteng dan Sate

    "Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin

  • Berbagi Luka   Taman Kota

    18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin

  • Berbagi Luka   17:10 WIB

    Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil

  • Berbagi Luka   Air Mata yang Tak Terlihat

    Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye

  • Berbagi Luka   Kekecewaan

    14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status