Home / Romansa / Berbagi Luka / Batin yang Tergores

Share

Batin yang Tergores

last update Huling Na-update: 2022-03-08 23:34:13

"Sara Melody, deh. Lo kayaknya diem banget dari tadi."

DEG

Bak baru saja disengat lebah, Sara, si gadis yang namanya baru saja disebut itu pun terpaku di tempat. Aliran darahnya seketika terasa berhenti, macet di tengah saluran paru-parunya. Jika saja ada orang yang mau memegang tangannya, maka mereka akan merasakan betapa dinginnya tangannya bisa berubah dalam waktu sedetik.

Gilirannya? Kenapa harus ia? Sara spontan menunduk sembari memainkan jarinya kasar. Semua pikiran buruk dalam waktu angin mulai memenuhi isi kepalanya. Bagaimana jika ia menghancurkan suasana ceria yang baru saja Jonathan bangun? Bagaimana jika mereka semua itu yang memperhatikannya tidak menyukainya nanti? Bagaimana jika semuanya menjadi buruk? Akankah mereka membicarakannya di belakang? Akankah mereka menganggapnya sebagai gadis aneh?

"Sara, lo sakit?" ujar Guntoro yang kemudian segera membuyarkan lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap sosok kakak pendamping kelompoknya dengan wajah yang super pucat.

"Eh, lo sakit beneran? Buset, ini spot kita kurang adem apa gimana? Lo kepanasan?" Guntoro tampak panik. Sara, gadis itu benar-benar terlihat ketakutan. Dirinya bahkan mulai merasakan getaran memenuhi bahunya yang sempit. Sungguh, dirinya tak bisa mengontrol semuanya. Dalam hitungan waktu angin, seluruh pikiran dan kendali dirinya hilang.

"Astaga, Sara lo sakit? Kak, ada tim kesehatan gitu gak? Kasian banget anak orang ini," sahut Jonathan dari seberang. Lelaki itu segera bangkit dari posisi duduknya yang nyaman. Ia lalu langsung mendekati sosok Sara yang sudah tak bisa lagi berkata-kata. Matanya terasa sangat panas. Ia ingin menangis, namun tak tahu apa alasannya harus menangis. Ketakutan, kah? Rasanya tidak masuk akal untuk disampaikan.

"Bentar, gue panggil panitia yang ngurus masalah kesehatan dulu." Guntoro bangkit dari duduknya. Ia kemudian segera berlari mencari tim yang ditempatkan khusus dalam bidang kesehatan. Untuk para anggota yang ditinggalnya, mereka semua menjadi sedikit ricuh, mencoba menenangkan Sara yang benar-benar terlihat bak mayat hidup.

"Sara, lo belom sarapan apa gimana? Gue bawa pentol goreng, lo mau gak?" tawar Jonathan sembari memegangi bahu Sara yang masih bergetar hebat. Sara tak kunjung menanggapinya. Kepalanya kembali menunduk dengan batinnya yang terus mengutuki diri sendiri. Mengapa seperti ini? Mengapa ia malah merepotkan orang lain?

"Heh, orang lagi sakit malah diajak bercanda!" tegur Vene yang langsung ditanggapi oleh mata yang membelak dari Jonathan. Ia tampak tak setuju dengan tuduhan yang Vene lemparkan padanya barusan.

"Lah? Gue beneran bawa pentol goreng, ya! Itu mama gue masak pagi-pagi buat bekal gue nanti siang. Ada nasinya juga, kok." Jonathan membela dirinya. Vene yang mendengarnya pun membulatkan mulutnya, karena tak tahu lagi harus berkata apa.

"Sara, kamu pucet banget. Bahu kamu juga sampe geter gitu. Kamu butuh apa? Bilang aja biar kita bisa bantu." Seren, begitulah nama si gadis yang baru saja bicara dengan intonasi lembutnya bercampur panik. Mendengarnya, Sara menoleh, menatap Seren dengan matanya yang mulai berair.

"Eh? Kamu nangis?" Tingkatan panik Seren naik menjadi lebih tinggi. Ia memandangi sosok Sara dengan terkejut. Dalam batin ia berandai, apa yang terjadi dengan Sara.

Perasaan bersalah dan rasa takut, dua perasaan itu tengah menggerogoti sosok Sara sekarang. Sara merasa bersalah karena dirinya, teman-teman kelompoknya menjadi ricuh. Padahal sebelum itu, mereka semua sedang berbahagia. Sungguh, Sara tak memiliki kendali atas perasaan tak karuan yang tengah memenuhinya kini. Ia tak ingin seperti sekarang, tetapi tiba-tiba menjadi seperti sekarang. Sara tak menyukainya. Julukan perusak suasana, apakah akan ia dapatkan suatu saat nanti?

Soal rasa takut, Sara memiliki ketakutan yang level manusiawinya sudah terlewat batas wajar. Sara tak bisa berlaku apapun untuk itu. Kian kali dihadapkan pada kelompok sosial yang jumlahnya lumayan banyak, dirinya selalu berakhir dengan kondisi seperti itu. Tiap ia ditunjuk atau diharuskan untuk bicara di depan umum, darahnya seolah tak suka, hingga tiba-tiba macet sirkulasinya. Dahulu, ia bahkan tak bisa melanjutkan SMP kelas 3-nya di sekolah. Ia diputuskan untuk diikutkan program home schooling atau sekolah privat, guna mengendalikan rasa takutnya yang tak logis. Kemudian, saat menginjakkan kaki di SMA kelas 3, orang tuanya memutuskan untuk kembali menaruhnya pada sekolah sungguhan. Jujur saja, Sara ketakutan setengah mati dan malah meningkat tingkat ketakutannya hingga menjadi seperti sekarang.

Sara tak suka Jakarta. Film-film juga buku-buku selama ini selalu mempresentasikan Jakarta sebagai kota yang sudah bejat. Ada banyak kemaksiatan terjadi di sana. Sara tak mau bergabung dengan mereka. Ia takut kalau ia akan menjadi sama seperti mereka. Ia takut kalau orang-orang Jakarta akan menjahatinya. Sara membenci semua pemikiran buruknya itu, namun tak bisa juga mengendalikannya.

Teman-teman kelompoknya sangat menyenangkan, tetapi pikirannya selalu mengatakan hal-hal buruk padanya tentang mereka. Bahkan untuk Jonathan dan Seren yang kelihatan paling khawatir akan kondisinya saat ini, Sara tetap berpikiran tentang mereka. Apa mereka melakukan semuanya itu hanya untuk sekedar formalitas? Apa mereka benar-benar khawatir?

"Ini, bro, liat, sampe pucet banget gitu. Lo tolong urus, dong." Suara Guntoro kembali datang. Ia membawa seorang teman lelakinya yang juga tampak tinggi perawakannya. Lelaki itu, ia lalu mendekati posisi Jonathan yang masih berada tepat di samping Sara untuk menenangkannya.

"Permisi sebentar, ya," ujar lelaki itu pada Jonathan yang langsung diangguki. Jonathan lalu menyingkir, memberikan ruang untuk lelaki itu memeriksa Sara.

Seketika sosok lelaki itu berada dekat dengannya, Sara makin ketakutan. Tangisnya pecah, karena dirinya yang tak mampu membendung semua pikiran jeleknya dalam kepalanya yang kecil. Ia menangis dengan tersedu, karena hatinya tergores untuk luka yang ia timbulkan sendiri.

Tidak masuk akal, tetapi begitulah perasaan yang Sara rasakan kini. Ia tak mau punya pikiran semacam itu, namun akal budinya tak mampu mengendalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ia pun sangat tak suka setiap kali kondisi semacam itu menyerangnya. Rasanya seolah seluruh waktunya terbuang hanya untuk menangis dan menangis.

"Waduh, kamu kenapa nangis, dek? Bro, ini lagi patah hati apa gimana?"

Bhug

"Serius itu, woy! Mukanya pucet banget!" tegur Guntoro sembari memukul pelan punggung temannya. Temannya yang mendapatinya pun hanya menggaruk tengkuknya pelan. Ia tampak bingung dengan kondisi yang Sara alami. Baginya tak pernah sekali pun ia menemui kondisi yang seperti Sara sekarang. Semuanya terlalu membingungkan.

"Kamu kenapa? Astaga, ini bahu kamu geter banget, dek. Ada suatu kondisi yang bikin kamu sakit, kah? Gimana? Kasih tau kak coba biar kakak tau harus ambil tindakan apa sama kamu," lirih lelaki itu pelan. Suaranya terdengar serak basah.

"Takut..." Sara, gadis itu membisikkan kata yang sangat mendeskripsikan perasaannya sekarang. Ia sungguh tak kuat lagi jika harus membendungnya sendirian. Ia pun tak mampu berbohong untuk membual soal penyakit yang dideritanya. Pilihan terakhir yang paling menyakitkan untuk diucapkan adalah itu, takut.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Berbagi Luka   Pulang Ke Rumah

    Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng

  • Berbagi Luka   Sekoteng dan Sate

    "Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin

  • Berbagi Luka   Taman Kota

    18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin

  • Berbagi Luka   17:10 WIB

    Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil

  • Berbagi Luka   Air Mata yang Tak Terlihat

    Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye

  • Berbagi Luka   Kekecewaan

    14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status