Share

Menyelami Batin Sara

Mata Sara menatap ke arah luar jalanan depan klinik tempatnya berdiam kini. Tadi, beberapa saat yang lalu Jonathan kembali masuk ke dalam kelompok, sembari meninggalkan kotak bekal hijau toscanya pada Sara. Di atas kotak bekal itu, Jonathan meninggalkan sebuah sticky notes kuning bertuliskan, Cepet sembuh, ya. Jonathan Vincentius. Hal seperti itu terhitung sederhana, tetapi cukup berarti bagi Sara yang masih dalam proses untuk masuk kedalam lingkupan suasana tenangannya.

Mulut Sara tengah melakukan proses mastikasi terhadap bekal makan siang milik Jonathan. Sesungguhnya, ingin sekali Sara menolaknya. Bekal itu dibawakan oleh mama Jonathan dengan niatan baik pastinya. Mama Jonathan pasti tak ingin anak lelakinya kelaparan nanti. Namun, meski pikiran Sara mengatakan pada Sara seperti itu, mulut Sara tetap mengunci diri. Sara tak sanggup untuk sekedar berucap beberapa patah kata, bahkan untuk ungkapan terima kasih pun terasa kelu. 

Sendirian, Sara kini tengah sendirian dalam gedung klinik kampusnya yang kecil. Teman Guntoro yang kata Jonathan bernama Fajar tadi sudah pergi, bergabung kembali dengan para kawannya untuk ikut menjaga jika ada lagi yang jatuh sakit. Sungguh, suasana seperti ini sangat menenangkan bagi Sara, yang baru saja menghadapi kondisi hancurnya. 

Sesekali, Sara memperhatikan sticky notes kuning yang Jonathan tempelkan pada tutup kotak bekalnya. Jika dipikirkan baik-baik, maka pesan dalam sticky notes tersebut lumayan sendu harapannya. Cepat sembuh, ya? Entahlah, Sara sendiri sudah pupus harapan soal sembuh. Jonathan mungkin mengira sakitnya kini merupakan sakit fisik, namun tidak, semuanya jauh lebih kompleks dibanding sakit fisik. 

Hari pertama ospek di Jakarta, kota besar milik Indonesia dengan begitu banyak rumor buruk yang mengikutinya. Sara, gadis itu tak suka kota tempatnya berpijak sekarang. Segala rasa takutnya memberitahunya bahwa Jakarta hanya akan membawanya ke dalam jurang yang lebih dalam. Bukankah anak-anak di Jakarta menyukai dunia malam? Bukankah mereka semua tak tahu apa itu sopan santun? Bukankah hanya anak-anak kaya saja yang bisa bergaul dengan bebas? 

Sara kini menghela napasnya berat. Sebenarnya, ia pun termasuk dalam kelompok orang terpandang dalam status sosial, tetapi kalau sudah masuk ke wilayah Jakarta, akankah statusnya itu masih berguna? Bukankah anak-anak di kota tempatnya berada sekarang sangat pilih-pilih dalam berteman? Baru membayangkan kebejatan-kebejatan milik Jakarta saja ia sudah merasa takut, apalagi jika sampai benar-benar bergaul dengan mereka. Besar kemungkinan ia akan dijadikan bulan-bulanan, karena tak bisa sama sekali membaur. Hari ini bahkan berjalan sesuai dengan prediksinya, yaitu penuh dengan masalah. Yah, walaupun semua masalah itu datangnya dari dirinya sendiri. 

4 tahun, 4 tahun lamanya Sara akan tinggal dalam kondisi yang seperti sekarang. Ia harus menjalani masa kuliahnya dalam waktu selama itu. Oh, tidak bisakah hari ini juga ia dikembalikan ke tempat asalnya saja? Atmosfer Jakarta membuat paru-parunya mengempis. Ia tak mampu menghadapinya terlalu lama. 

"Kamu harus latihan.

Sara tak menyukai kata-kata itu. Apa itu masih bisa dikatakan sebagai sebuah latihan jika ia sendiri bahkan berada pada persimpangan ambang nyawanya? Latihan macam apa yang saat dijalani rasanya bak bunuh diri secara perlahan? Mengapa orang-orang masa kini hanya sibuk memikirkan perubahan, tanpa mau menelaah cara untuk mewujudkannya? Mengapa dunia masa kini penuh dengan hal-hal yang membuatnya ingin hilang saja? 

Naifkah jika Sara katakan bahwa ia kadang berpikir, sebenarnya yang salah di sini dunia atau dirinya? Ia kadang merenung dalam lamunan malamnya, bertanya pada nuraninya yang terdalam mengenai, apakah dunia benar sejahat itu hingga pantas untuk disalahkan? Ataukah sesungguhnya orang-orangnya lah yang aneh, hingga tanah tempat mereka berpijak pun ikut disalahkan. Atau sebenarnya bagaimana? Apakah itu dirinya sendiri yang terlalu busuk pikirannya? 

Kapan Sara pernah memiliki hal positif dalam dirinya? Jika Sara mampu menghitungnya, maka semuanya itu mungkin hanya berjumlah sekitar 4 kali dalam satu tahun. Kira-kira seburuk itulah cara kepala Sara bersuara, selalu mengenai hal jahat yang merobek batinnya menjadi lebur. 

Kalo kita kena hukuman gimana?

Buliran bening mulai kembali menetes dari mata Sara. Bibirnya yang berwarna merah muda kini menekuk ke bawah. Kejadian di gerbang depan kampus tadi mulai menghantuinya dengan tiba-tiba. Akankah para kakak seniornya itu benar-benar dikenai hukuman karenanya nanti? Lalu saat masa ospek selesai, akankah ketiganya bersikap sinis padanya? Akankah mereka memandang Sara sebagai seorang gadis yang menyebalkan, lalu juga tidak sopan? Begitu bukan kata kakak senior perempuan yang tadi membentaknya? 

Sara tak bisa bohong. Saat dimana ia sampai di area sekitar kampus, ia tahu kalau ia pasti akan dimarahi karena alasan terlambat. Untuk itu, pikiran Sara kemudian melayang, tentang bagaimana ia akan diberi berbagai macam hukuman dan dipersulit masa ospeknya. Hal busuk tersebut kemudian menguasai nyalinya yang hanya dan selalu sekecil tubuh semut merah. 

"Hei, saya tanya, dijawab!

Ingatan tentang bagaimana jantungnya terasa seolah mau melonccat keluar dari tempatnya menggantung masih membekas jelas dalam batinnya. Tadi, Sara tak berani bicara karena takut dimarahi, namun justru saat ia tak bicara, ia malah berakhir dengan dimarahi. Dalam pikirannya, ia takut kalau ia akan ditanyai macam-macam sampai kepada alasan mengapa ia bisa telat. Jika sudah ditanyai yang itu, Sara tak akan tahu bagaimana caranya menjawab. Tak mungkin kalau ia mengatakan yang sejujurnya mengenai kondisinya yang mudah jatuh dalam lembah ketakutan. Tak semua orang yang mendengarnya bisa dan mau mengerti. Pada akhirnya, yang mereka katakan hanyalah, "Kenapa takut? Udah gede masa takut?" 

Hah, dunia sudah terlalu hancur, hingga rasa takut dan penyakit mental pun memiliki batas usia untuk penderitanya. 

Leon, benarkah itu nama kakak senior yang tadi mengizinkannya masuk tanpa sanksi? Sependengarannya tadi, kakak senior yang bernama Leon itu berucap dengan nada yang begitu terdengar tenang. Di tengah ketakutannya tadi, Sara mampu menangkap dengan jelas kalau Leon membelanya dengan tulus. 

Katakan saja Sara aneh, tetapi seperti itulah yang kiranya ia rasakan. Sesaat setelah kejadian itu terjadi, Sara tak memikirkannya dengan rinci, karena suasana di sekitarnya yang sangat berisik dan ricuh. Kini, saat semuanya menjadi tenang, entah mengapa kejadian itu terputar jelas di kepalanya. 

Seperti apa ketiga wajah kakak senior yang sempat bertengkar kecil tentangnya tadi? Sungguh, Sara tak sama sekali tahu soal itu. Kepalanya terus menunduk, selagi batinnya menjerit ketakutan. Jangankan untuk melihat wajah ketiga senior itu - untuk sekedar mengangkat kepalanya saja ia tidak memiliki keberanian. 

Leon mengatakan bahwa dirinya yang akan menanggung hukuman atau sanksi yang diberikan bukan? Sara yang mengingat perkataannya itu menjadi semakin bersedih hati sekarang. Lihat, betapa merepotkan dan terkutuknya kehadirannya di sekitar banyak orang. Bahkan untuk orang baik seperti sosok Leon yang tak Sara ketahui wajahnya, hanya ada kesialan yang akan menimpa lelaki senior itu nanti. 

Tangis Sara saat ini berbeda dengan tangis yang sebelumnya. Kali ini, lebih terkesan sangat tenang tanpa suara. Saat-saat merenung adalah saat-saat ia memikirkan segala kebodohan yang sisi dirinya miliki. Ia kini tak memiliki kemampuan apapun untuk membantu sosok Leon keluar dari hukumannya, tetapi setidaknya ada satu hal yang bisa ia lakukan, yaitu dengan mengucap doa pada pertolongan baiknya tadi. Kemudian - oh, Jonathan pula. Lelaki itu tak kalah baiknya dengan Leon. Lagi pun, Jonathan berasal Bandung, kota yang penuh dengan kisah romansanya yang menggelitik. 

Bicara tentang Jonathan, lelaki itu sungguh memiliki kepribadian yang hangat. Sara kini memiliki perkiraan bahwa siapa pun yang berada di sekitarnya pasti akan merasa nyaman. Lelaki itu tahu waktu saat tengah bertindak, kapan waktunya untuk bergurau, kapan waktunya untuk serius, kapan waktunya untuk menjadi tenang dan kapan waktunya untuk menjadi dewasa. 

Terlalu cepatkah Sara dalam mengambil kesimpulan mengenai pribadi Jonathan? Tidak tahu, Sara tak ingin ambil pusing soal itu. Jika melihat latar belakang tempatnya sebelumnya tinggal, maka rasanya sangat masuk akal Jonathan memiliki kepribadian yang hangat dan pengertian. 

Sara tahu, Sara tahu kalau tak semua orang yang berasal dari Bandung itu berkepribadian hangat, tetapi setidaknya seperti itulah yang novel-novvel romansa katakan. Kemudian, saat melihat Jonathan, Jonathan cukup untuk membuktikan bahwa lelaki itu memang mempresentasikan orang-orang Bandung dalam novel dengan baik. 

Akankah Sara memiliki teman nanti? Tidak, Sara tahu ia tidak akan punya teman nantinya. Megapa? Itu, tentu saja karena ia tak mau. Kembali lagi pada pemikiran Sara sebelumnya, yaitu tentang orang-orang Jakarta yang sudah tercemar. Sara tidak mau bergabung dan menjadi sama dengan mereka semua. Rasanya akan mencari mati. Lagi pun, dengan penyakit yang tengah dideritanya sekarang, Sara hanya akan berakhir dengan dijadikan bahan lucu-lucuan. 

Bagi Sara, Jakarta berbahaya, ia sangat anti dengannya. Kemudian Bandung, Sara sesungguhnya memiliki impian untuk menetap di Bandung, karena suasana hangat yang ditimbulkannya dalam setiap tulisan sastra. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status