Share

Lebih Sakit Tanpa Kamu

Dimas menertawakan Evan yang tengah meringis dan ke mana-mana harus menggunakan sarung itu, lucu sekali melihat bule itu selesai di sunat. Entah apa yang membuat ia tiba-tiba saja ingin memotong 'burung' nya itu.

"Kamu kesambet di mana? Kenapa mendadak pengen di sunat?" tanya Dimas dengan nada meledek.

"Aku tahu kalau sunat itu untuk kesehatan, jadi apa salahnya kalau aku juga disunat," sahut Evan sambil merengut, ia jengah juga diejek terus oleh teman kostnya itu.

"Piye? Mantap toh rasanya?" Dimas kembali meledek.

Evan melempar bantal yang ada di sampingnya mengenai wajah Dimas yang tidak sempat mengelak karena ia sibuk tertawa.

"Ditanya malah ngamokk!" ketus Dimas yang akhirnya keluar dari kamar Evan.

Tak lama suara langkah kaki mendekati pintu kamarnya kembali terdengar, Evan bersiap mengangkat bantalnya kembali, apalagi yang akan dilakukan Dimas? Begitu pikir Evan.

"Pergi kamu! Jangan ganggu aku," teriak Evan kesal.

"Saya cuma mau anterin makanan, ini juga Ibu yang suruh, saya terpaksa!" balas perempuan yang berdiri di ambang pintu, rupanya Luna yang datang membawa sebuah rantang.

"Sorry, aku pikir tadi Dimas," kata Evan kalang kabut, jangan sampai Luna salah sangka.

Luna manaruh rantangnya kasar, ia taruh asal di dekat pintu. Apapun alasan bule itu, ia sudah terlanjur kesal mendengar ucapannya. Luna berat hati datang ke kost Evan ini, hanya saja ibunya sangat memaksa dengan alasan kasian dan ternyata perlakuan seperti ini yang ia dapat.

"Dia pasti gak bisa keluar untuk cari makan, Nduk! Kemarin-kemarin kan dia udah bantu kita jadi udah seharusnya gantian," kata Tari tadi yang akhirnya berhasil meluluhkan Luna.

Luna pun pergi dan tentu saja Evan merasa tak enak hati, ia terburu-buru bangun dari duduknya dengan niat mengejar Luna tapi naas gerakannya itu membuat lukanya yang masih basah itu terasa perih dan ngilu.

"Arghh ..." jerit Evan kesakitan.

Luna menghentikan langkahnya, sekesal apa pun dia, tetap saja ia masih memiliki sifat peduli. Perempuan hitam manis itu pun berbalik, kembali ke kamar Evan dan mendapati pria bule itu tengah meringis menahan sakit.

"Kamu gak pa-pa?" tanya Luna yang membantu Evan duduk dengan benar.

"Tolong jangan pergi, kamu salah paham," lirih Evan yang meski kesakitan tapi masih berusaha meluruskan kesalah pahaman yang terjadi.

"Ya udah iya," sahut Luna akhirnya melunak. Ia pun mengambil rantang yang sempat ia taruh begitu saja lalu memindahkannya ke atas meja yang tak jauh dari tempat tidur Evan.

"Ibu minta aku untuk bawain makanan, dia tahu kalau kamu pasti kesusahan buat keluar cari makan," ucap Luna, ia tetap bersikap dingin.

"Ibu mertua memang pengertian." Evan menyunggingkan senyum.

"Apa kamu bilang?" bentak Luna, kupingnya tidak salah dengar kan?

"Apa? Emang aku bilang apa?" Evan berlagak bodoh.

"Ck! Ya udah, aku ke sini cuma mau anter itu aja," ujarnya kemudian berjalan menuju pintu.

"Tunggu! Kamu mau ke mana?" tanya Evan berusaha menahan Luna.

"Pulanglah!" jawab Luna singkat dan jelas.

Evan terdiam untuk beberapa saat, namun otaknya bekerja begitu keras. Ia memikirkan alasan apa yang bisa membuat Luna untuk menemani dirinya barang sebentar.

"Bisa minta tolong?!" tanyanya hati-hati.

"Tolong apa?" Luna balik bertanya, dari nada bicaranya saja sudah jelas ia segan.

"Itu!" Tunjuk Evan dengan matanya ke arah rantang di atas meja.

Helaan nafas Luna terdengar berat, ia menatap lekat Evan yang sedikit merengek. Ia memang langsung paham maksud Evan, bule itu pasti memintanya untuk menyiapkan makanan. Luna cekatan mengerjakan semuanya, hingga semua makanan itu sudah tersaji di depan Evan sekarang, ia tinggal memakannya saja.

"Cukup! Aku mau pulang," kata Luna yang sudah berdiri.

"Belum," sahut Evan yang lagi-lagi mencegah Luna pergi.

"Apa lagi? Makanya jangan cari penyakit, sok-sok'an minta disunat. Sakit kan?" Luna geram.

Jangan sampai rasa kasian dari dirinya membuat Evan mengambil kesempatan dan menjadikan ia pelayan pribadi. Ia tidak akan mudah diperdaya dengan wajah memelas dan penuh kesakitan itu.

"Enak aja! Gak bakal bisa," batin Luna mencibir.

"Memang sakit tapi lebih sakit kalau tidak bisa dekat dengan kamu," ujar Evan yang membuat Luna tercengang.

"Prang!"

Suara gelas pecah terdengar, Luna dan Evan menoleh bersamaan.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status