Share

Ingin Disunat

Luna menyeret Evan keluar, ia tahan sakit kakinya itu, pergi mencari tempat yang cukup sepi di samping gedung rumah sakit itu. Kebetulan Tari tengah mengantri obat.

"Apa maksud kamu berlagak jadi Papi dari anak yang saya kandung?" tanya Luna geram.

"Bukan saya, dokter itu yang bilang. Lagi pula tidak ada yang salah, bukan?!" jawab Evan dengan santainya.

"Salah! Karena itu bohong," bentak Luna, kesalnya sampai ke ubun-ubun kini rasanya pada pria bule itu.

"Ya sudah kalau tidak mau bohong, jadi nyata saja," ucapnya mengedikkan bahu.

"Maksud kamu apa?" Mata Luna membulat sempurna, wajahnya terangkat menatap ke arah Evan yang bersikap santai dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya.

"Saya suka kamu!" ucap Evan begitu lancarnya.

Luna yang sempat terperanjat dalam sepersekian detik menjadi terkekeh, ternyata ada orang super aneh seperti Evan di dunia ini.

"Apa kamu gak tahu apa yang sudah terjadi pada saya?" tanya Luna menunjuk dirinya sendiri.

"I know, saya sudah dengar cerita kamu," jawab Evan, dia sama sekali tidak terpengaruh dengan emosi Luna.

"Lantas kenapa kamu terus dekati saya?" tanya Luna, raut wajahnya dingin dan sinis.

"Memang kenapa? Saya suka kamu, just the way you are. Saya tidak peduli yang lainnya," jelas Evan serius.

Luna geleng-geleng kepala dibuatnya, ia berusaha bersikap tenang, mencoba mengatur napasnya lalu tangannya bertolak pinggang.

"Memang umur kamu berapa sekarang?" tanya Luna masih memasang wajah jutek.

"Sembilan belas tahun," jawabnya tegas.

Seketika Luna tertawa terbahak sampai ia memegangi perutnya karena jawaban Evan. Pantas saja kalau dia konyol dan aneh, ia tidak lebih dari bocah ingusan.

"Kenapa? Memang ada yang lucu?" Alis matanya yang lebat itu saling bertaut.

"Dari umur saja, kita sudah berbeda jauh, sepuluh tahun bedanya," ucap Luna sambil mengangkat sepuluh jarinya.

"Tidak masalah, akan saya tunjukkan kalau saya bukan pria sembilan belas tahun pada umumnya," ujarnya yakin.

"Lalu kamu pria muda seperti apa?" tanya Luna seakan menantang.

"Saya tidak bisa menjelaskannya, saya akan membuktikannya," jawabnya lantang.

***

Sepulang dari rumah sakit, Luna gelisah, pikirannya tak tenang, itu semua karena Evan. Perjalanan pulang tadi, Luna sempat meminta berhenti untuk buang air kecil dan Evan seolah mengambil kesempatan, ia dengan sengaja menunggu Luna, mengucapkan berkali-kali bahwa ia serius. Tak hanya itu saja, Tari juga sempat meminta Evan untuk mampir ke minimarket, ada barang yang harus dibeli ibunya itu. Lagi, saat di mobil berdua, Evan menegaskan kembali ucapannya.

"Ayo, kita pacaran!" ajaknya dengan entengnya bicara.

"Gila! Mana ada perempuan hamil yang mau pacaran?!" bentak Luna padanya.

"Kalau begitu ... Married?! Saya akan menikahi kamu," katanya, tampak mudah sekali baginya mengucapkan semua itu.

"Kamu pikir menikah itu permainan?!" geram Luna. Entahlah, setiap berbicara dengan Evan, rasanya darah Luna langsung naik ke otaknya.

"Saya tidak bilang seperti itu, saya tahu menikah itu hal yang serius. Memang kamu tidak lihat keseriusan saya?!" Manik mata ambernya itu sengaja ia lebarkan, ia condongkan juga tubuhnya agar Luna yang duduk di belakangnya bisa melihat wajahnya lebih jelas.

Untuk beberapa saat jantung Luna berdebar kala menatap wajah Evan dengan jarak dekat seperti itu. Dia tampan, sangat tampan, kulit putih bersih dengan hidung tinggi dan rahang tegas, bahkan tak ada yang menyangka kalau umurnya baru 19 tahun, ia terlihat jauh lebih dewasa.

"Sadar Luna! Jangan bodoh. Sadar keadaan kamu," batin Luna berbicara sendiri.

Luna berusaha mengendalikan diri, Evan masih menatapnya lekat, Luna membuang muka, mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil.

"Cih! Anak kecil seperti kamu bisa apa?" Toleh Luna.

"Menikah itu butuh persiapan yang matang karena semuanya menyangkut masa depan. Anak muda seperti kamu, apa sudah punya masa depan yang baik?" tanya Luna sedikit kasar.

Kali ini Evan tak menyahutinya, ia memilih diam dan suasana pun menjadi hening sepanjang perjalanan pulang sampai mereka tiba di rumah.

***

"Astagfirullah, Nduk! Kamu ngelamun?" Tari gegas membersihkan air yang tumpah dari gelas yang sedang Luna isi.

"Untung saja bukan air panas, kamu kenapa toh?!" Minah turut mendekat, ia meraba kening Luna, barangkali cucunya itu sakit.

"Ndak demam kan, Mbah?" tanya Luna yang dibalas gelengan kepala Minah.

"Iya, karena aku baik-baik aja," kata Luna penuh penekanan di akhir kalimatnya.

"Baik-baik aja tapi ndak kelihatan baik. Sudah, istirahat sana!" titah Minah, sekarang sudah waktunya dapur dikuasai olehnya untuk menyiapkan semua bahan dagangannya besok.

"Aku mau bantu Mbah aja." Luna menawarkan bantuan.

"Ndak perlu, Mbah malah pusing kalau digrecokin," sahut Minah menolak.

Tari menarik lembut Luna keluar dari dapur itu, menuntun putrinya ke teras rumah. Di luar, beberapa anak kecil berlarian usai pulang mengaji setelah sholat maghrib. Tari mendudukkan Luna di kursi rotan, di beranda rumah mereka itu.

"Gimana kalau kita merajut?" usul Tari, ia memang selalu memiliki banyak cara agar putrinya terhindar dari melamun.

"Ibu kan tahu, kalau aku gak pandai." Luna menarik kedua sudut bibirnya malas.

"Ya makanya Ibu ajarin, tunggu ya!" Tanpa berlama-lama, Tari masuk ke rumah dan muncul kembali dengan peralatan merajut.

Sebuah benang wol berwarna putih kini tengah dirajut olehnya, entah akan dibuat apa. Luna hanya diam memperhatikan.

"Nduk! Kalau bisa, jangan kasar-kasar ya sama Evan." Tari memulai pembicaraan dengan membahas pria bule yang selalu membuat Luna emosi itu.

"Evan tadi bilang sama Ibu kalau dia gak punya niat apa-apa di depan dokter tadi. Malah bagus loh, Lun. Dia menjaga harga diri kamu di depan orang," tutur Tari, tangannya sibuk dengan hook dan benang.

"Kedengarannya lucu Bu, kalau bahas harga diri sama aku," lirih Luna mendengkus.

Pandangan Tari beralih pada Luna yang tertunduk, ia segera meraih tangan putrinya itu, menciumnya beberapa kali. Kasih sayang yang selalu ia tunjukkan ini agar Luna tahu, bahwa ia tak perlu merasa  rendah diri karena selalu ada ibu yang melindungi dirinya.

"Oh ya, Bu. Ngomong-ngomong soal Evan, memang dia ke sini untuk apa?" Luna mulai penasaran tentang sosoknya.

"Dia mau mulai bisnis katanya, dia lagi meneliti pasar Asia. Sebelum ke sini, dia ke Malaysia dulu, habis ini, dia mau ke Singapur katanya," jawab Tari menjelaskan.

"Tumben, kamu tanya-tanya soal dia?" Tari memicingkan matanya penuh curiga.

"Ya mau tau aja orang asing dateng ke sini untuk urusan apa," balas Luna sekenanya.

"Uh ... Anak Ibu mulai kepo!" canda Tari sambil mencolek hidung Luna.

"Selamat malam Ibu Tari!" Sapaan itu menarik atansi ibu dan anak itu.

"Eh, Nak Evan. Ayo masuk," ajak Tari melambaikan tangan.

"Panjang umur ya dia," bisik Tari pada Luna diiringi tawa kecil.

"Malam Luna," sapa Evan melemparkan senyum pada Luna yang memasang wajah tak bersahabat.

"Malam," jawab Luna ketus.

Tari sempat mendelik pada Luna, ia tak suka dengan cara Luna bersikap pada tamunya ini.

"Ada perlu apa, Nak Evan?" tanya Tari setelah mempersilakannya duduk.

Evan tak lekas menjawab, ia mengernyit sambil mengusap tengkuknya, seperti ada sesuatu yang sulit ia ucapkan.

"Bicara saja, it's okay!" ucap Tari santai agar Evan tidak canggung.

"Saya mau tanya —" Evan menjeda ucapannya.

"Tanya apa?" desak Tari tak sabar.

"Tempat sunat, saya mau disunat," ucapnya sambil menahan malu.

Tari tercengang, sementara Luna menelan ludahnya samar.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status