Luna menghampiri arah sumber suara, diikuti Evan dengan berjalan tertatih. Rupanya seorang perempuan paruh baya tengah memunguti pecahan gelas yang berserakan di lantai, seketika Luna pun inisiatif untuk membantunya.
"Biar saya bantu Bude," ucap Luna cekatan memunguti pecahan beling yang kecil-kecil.Tak ada sahutan, perempuan yang ternyata pemilik kost itu sibuk sendiri, seolah tak peduli Luna membantunya atau tidak."Sebaiknya habis ini kamu pulang, gak baik diliat tetangga. Perempuan di kamar kost laki-laki, apalagi kamu ---" Ia seperti sengaja tidak menuntaskan kalimatnya.Luna tertegun mendengar ucapan Ibu kost itu hingga tanpa sadar tangannya tertusuk pecahan beling."Aww!" ringis Luna, telunjuk kanannya berdarah."Luna! Kamu terluka?!" Seketika Evan panik."Wong luka kecil aja lebay," gumam Ibu kost sambil menyapu lantai, matanya sempat mendelik."Ibu, apa ada obat?" tanya Evan pada induk semangnya itu.Karena Evan yang bertanya, ia pun berubah sikap, tiba-tiba saja wajahnya yang begitu sinis kini tersenyum sumringah menatap wajah tampan Evan."Ada di belakang Nak Evan, di lemari kecil samping dispenser," jawab perempuan berpostur gemuk itu, menunjuk ke arah dapur.Evan menuntun Luna menuju dapur meski ia sendiri kesulitan berjalan dengan sarung yang membuat langkahnya semakin payah."Gak usah, cuma luka kecil. Aku juga bisa obatin di rumah," tolak Luna.Tentu saja Evan tak membiarkan Luna pergi dengan luka itu, perawakannya yang tinggi besar mampu menarik Luna hanya dengan sekali gerakan. Ia pun mendudukan perempuan pemilik senyum manis itu di salah satu kursi lalu mengeluarkan kotak obat dari dalam lemari. Merasa terus diawasi oleh pemilik kost, Luna cepat mengambil obat serta plester, ia ingin buru-buru pergi dari sini."Mana bisa begitu, lukanya harus dibersihkan dulu," ucap Evan yang kini mengambil alih, ia meneteskan alkohol pada kapas dan menekannya pada luka Luna.Ingin sekali ia meringis karena rasa perih yang menjalar tapi cepat ia tahan agar tidak disebut lebay lagi oleh perempuan yang tengah menatap tajam ke arahnya."Udah, aku bisa sendiri," ketus Luna kemudian meneteskan obat pada lukanya yang sudah dibersihkan."Diam ya!" perintah Evan, bule itu cekatan mengambil plester lalu membalut luka Luna.Setelahnya Luna pamit, bahkan ia tak sempat mengucapkan terima kasih pada Evan. Tatapan mengintimidasi dari Ibu pemilik kost sangat membuat Luna tak nyaman."Mari Bude," ujar Luna sambil menundukan kepalanya, tak mau dikira tak punya sopan santun dan tidak memiliki adab. Tinggal di desa memang bisa menjadi bahan gunjingan kalau yang lebih muda bersikap acuh pada orang yang lebih tua.***Sore menyapa, Luna seperti biasa melakukan tugasnya untuk membantu si Mbah menutup warung, karena masih banyak yang harus dibereskan, Mbah Minah pun meminta cucunya itu untuk pulang terlebih dahulu dengan bakul berisi wadah-wadah bekas jualan. Tepat di persimpangan jalan, ia berpapasan dengan empat orang gadis, Luna kenal sebagian dari mereka yang merupakan tetangga di dekat rumahnya itu. Gadis-gadis remaja yang baru lulus SMA itu berjalan sambil asyik tertawa lalu kompak diam ketika melihat Luna."Lonte!' bisik Dewi, tetangga depan rumahnya ketika Luna berjalan melewatinya.Seketika telinganya terasa panas, darahnya berdesir hebat. Padahal selama ini ia selalu hormat pada siapa pun tapi kenapa ia tidak mendapatkan perlakuan yang sama, apalagi dari anak baru kemarin seperti Dewi ini. Ia mencoba mengatur nafas, bersikap tenang."Ini loh, geng! Lonte gak tahu diri yang mau coba rebut Mas Evan dari Mira," ucap Dewi begitu lantang sambil melirik teman di depannya yang bernama Mira itu."Mbak, tolong ya punya rasa malu sedikit," oceh Mira sambil menarik Luna dari arah belakang hingga keduanya kini bersitatap."Maksud kalian apa?" bentak Luna, ia juga tak bisa tinggal diam jika diperlakukan kasar apalagi oleh sekumpulan bocah ingusan."Sadar diri lah, lo tuh aib di kampung kita ini. Pake acara deketin Mas Evan." Kini Intan anak Bu Siti pemilik warung dekat rumah Luna menimpali."Saya gak pernah bermaksud begitu." Geleng Luna tak terima tuduhan mereka.Mira mendorong tubuh Luna, "Ibuku liat kalian berdua di kamar Mas Evan, dasar gatel!""Soal itu ---" Belum tuntas Luna berucap, Dewi menendang kaki Luna hingga ia terjatuh.Perut Luna lebih dulu membentur aspal jalan, ia meringis karena bagian perutnya itu terasa begitu sakit sementara para gadis itu tersenyum puas."Ini peringatan ya buat kamu," ucap Mira mengancam kemudian mengajak semua temannya pergi.Rasa sakit pada perutnya semakin menjadi, Luna menjerit."Ibu, SAKIT!"****Semenjak Luna mengatakan yang sebenarnya, menceritakan apa yang menimpa dirinya, Richo justru semakin gencar mendekati dirinya. "Tidakkah dia merasa jijik pada perempuan kotor dan hidupnya hancur seperti aku?!" Pertanyaan itu kerap mengusik pikiran Luna karena dasarnya ia berterus-terang adalah agar Richo menjauhi dirinya. Lelaki terhormat seperti dia pasti segan mendekati perempuan seperti dirinya, yang sudah jelas hidupnya hancur tak tersisa. Ia kuat hanya mengingat masa depan anaknya, Jizan yang tentu saja menjadi tanggung jawabnya. Juga ada ibunya yang sangat berarti dalam hidupnya. "Ah, apa kamu lelaki bodoh, Cho?!" gerutu Luna ketika menerima makanan yang dikirim ojek online, meski tak menyebutkan pengirimnya tapi Luna tahu itu dari Richo karena ini bukan yang pertama kalinya semenjak ia mengantarnya pulang malam itu. "Apa itu, Lun?" tanya Tari yang menyembul dari balik pintu. Luna tak menjawab, ia hanya mengangkat plastik berisi makanan yang entah apa itu. "Loh, kamu pese
"Bandara? Ngapain kita ke sini?" tanya Luna setelah mobil Richo terparkir aman di tempat yang tersedia. "Kita masuk aja dulu, sambil aku jelasin," jawab Richo sambil meminta Luna agar berjalan lebih dulu. Keduanya sudah berada di dalam bandara, di terminal pemberangkatan, Richo sudah menceritakan semuanya pada Luna soal maksudnya mengajak dirinya ke sini. "Jadi Adek kamu mau ke luar negeri?! Ke Kanada?" tanya Luna sekedar memperjelas. "Iya, dia ikut study exchange." Angguk Richo, raut wajahnya sulit dijelaskan saat itu. Mungkin karena setengah hatinya belum bisa membiarkan adiknya itu pergi karena ia tahu bagaimana manjanya seorang Erica, apa dia bisa tinggal jauh dari keluarga dan melakukan semuanya sendiri? Namun di sisi lain ia juga bangga, karena adiknya cukup berprestasi hingga bisa mengikuti program kampusnya itu. "Oh, itu mereka!" Tunjuk Richo pada kumpulan orang yang berada tak jauh dari mereka. Richo mempercepat langkahnya tapi tiba-tiba saja Luna menarik tangannya, ia
"Balik ke Kanada? Why?" tanya Evan, sesampainya di kantor, ia sudah disodorkan tiket pesawat oleh Richard. "Ada bisnis aku yang harus diurus di sana, tapi aku juga baru ada project baru di sini sama Pak Bayu, jadi bisnis aku yang di Kanada tolong kamu urus ya," pinta Richard setengah membujuk. Evan mendengkus, raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan, salah satu sudut bibirnya tertarik. "Aku jauh-jauh ke sini karena gak mau kerja di sana, lagi pula aku juga ada bisnis sendiri, aku sibuk!" tolak Evan mentah-mentah. "Bisnis kamu kan baru aja mulai, jadi —""Ya justru baru mulai jadi perlu fokus dan usaha lebih. Sorry, aku gak bisa bantu kamu sekarang.""Van, aku minta tolong sama kamu, masalahnya —"Evan menatap Richard lekat-lekat, sepertinya ada sesuatu yang berat untuk dia ucapkan. Keduanya diam, ruangan mendadak sunyi hingga bunyi sepatu pantofel hitam yang dipakai Evan jelas terdengar saat berbenturan dengan lantai ketika ia berjalan menghampiri Richard. "Kamu punya rencana apa
"Kan udah aku jelasin, Bu! Kenapa nanya lagi sih?!" sahut Luna sedikit ketus. Semua tentang Richo adalah luka lama yang sudah lama ia kubur dalam, mengungkitnya sama saja dengan mengorek luka itu, sakit rasanya karena mereka berpisah bukan karena keinginan masing-masing. Luna tak pernah membenci ibunya Richo, sejak awal memang cinta mereka yang salah, tumbuh dalam keadaan yang tidak tepat. Sungguh tak tahu diri kalau orang biasa seperti dirinya berharap mendapatkan pasangan kaya raya, terpandang seperti Richo. "Soalnya Ibu liat Richo itu perhatian banget sama kamu. Ya udah maafin Ibu kalau kamu gak suka bahas itu," sesal Tari, ia merasakan ketidaknyamanannya putrinya. Luna menggenggam tangan ibunya yang ditaruh di atas pahanya sendiri, ia menatap Tari yang sempat tertunduk tadi. "Gak perlu minta maaf, Bu. Aku cuma pengen fokus rawat anakku aja, aku gak mau kita bahas yang lainnya, yang gak penting," ujar Luna. "Iya, Lun." Angguk Tari. "Oh ya, ngomong-ngomong, katanya tadi kamu ud
"Ibu gak perlu khawatir, Evan itu udah punya pasangan," ujar Luna setelah mendengar penjelasan ibunya bagaimana ia bertemu dengan Evan. Helaan nafas berat ibunya dapat Luna rasakan beserta raut wajah lega yang terpancar. Setidaknya hidup Luna tidak akan terganggu dengan ocehan orang-orang tentang hubungannya dengan Evan, Luna bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya. "Tapi —" Luna menjeda ucapannya. "Tapi apa?" Kening Tari berkerut. "Evan itu ternyata saudaranya Pak Richard, Bu. Jadi —""Kalau kamu tetap ngajar di sana, berarti kamu pasti ketemu terus sama dia?!"Luna menganggukkan kepala pertanda membenarkan pernyataan ibunya. "Terus kamu mau ambil keputusan apa?" tanya Tari setelah jeda hening tercipta. "Mau gimana lagi, Bu! Aku gak bisa terus kerja di sana," balas Luna dengan menghentakkan bahunya. "Kamu yakin? Apa kamu gak sayang? Apalagi liat anak murid kamu yang udah deket gitu, kamu gak kasian sama dia?!" Pertanyaan Tari yang menerus itu membuat Luna gamang. Luna tak
"A-aku ...""Evan!" panggilan dari arah belakang mereka membuat kedua lelaki itu menoleh. Erica cepat berlari, langsung merangkul lengan Evan, dia tampak bahagia bertemu dengan pemuda itu, senyum serta rona merah di pipinya menghiasi wajah cantiknya itu. "Ck! Kakakmu loh di sini, malah cowok lain yang jadi prioritas," ketus Richo memalingkan wajah sebal. "Apaan sih, Kak! Sama Kakak kan bosen, tiap hari juga ketemu di rumah." Erica menyenggol lengan kakaknya itu, sikap manjanya terlihat dan Evan tak suka itu. "Eh, kamu mau ke mana? Aku anter ya?!" Erica langsung membawa Evan menjauh. Richo hanya bisa menatap punggung keduanya sampai hilang dari pandangannya. Dalam hatinya masih mengganjal pertanyaan yang belum dijawab Evan, sebenarnya apa hubungan dia dengan Luna hingga membuat ibunya terlihat kesal tadi? "Aku harus cari tahu!" tekad dokter muda itu, melangkah pasti menuju ruang rawat Luna. Begitu sampai di depan pintu, ia berpapasan dengan Tari, Richo segera menunduk sopan, tak