Resmilah sudah, mulai hari ini aku tidak punya ponsel lagi. Sudah hancur berkeping-keping di tangan jahat Mas Tyas. Tak habis pikir, apa maksudnya, coba? Kenapa harus dibanting? Kenapa suka sekali merusak barang-barang di rumah, seolah-olah semua itu datang begitu saja dengan jalan sim salabim aura kadabra. Ujug-ujug ada. Oh Mas Tyas, apa yang sudah merasuki jiwanya?
Tahukah kalian, apa yang membuat aku bersedih hati? Itu satu-satunya ponsel yang aku punya. Apa Mas Tyas lupa? Jangankan untuk membeli ponsel, sedangkan untuk membayar uang sekolah anak-anak yang bulan depan saja masih berkabut rasanya. Semakin penasaran, sebenarnya dalam diri Mas Tyas itu ada otak dan hati tidak, sih?
Tok, tok, tok!
"Assalamu'alaikum, Mbak Ayung!" suara khas Dik Uji memberai benang kusut dalam otakku, "Bude, Mbak Lova …?"
Sesegera mungkin aku meraih jilbab yang tergantung di balik pintu, memakainya. Memakai kaos kaki, meluncur dengan kekuatan b
Dari sorot mata Ibu aku tahu kalau dia menunggu jawaban alias kejujuran dariku. Tentu saja, aku sangat menghormati itu dan tanpa basa-basi lagi dalam bentuk apapun, aku memenuhi permintaannya. Apa, apa yang harus aku takutkan? Mas Tyas? Tidak perlu lagi."Lho, Bu … Ayung … Itu, warungnya sudah jadi lho, Bu." walaupun gugup, aku tetap berusaha untuk berbicara, "Alhamdulillah, Ayung buka celengan untuk modal."Ibu terlihat semakin bingung, seluruh kulit wajahnya berubah menjadi merah, "Lho, gimana to? Kata Tyas kamu mau pakek uang Ibu dulu? Gimana to ini, yang bener tuh siapa?"Sejujur-jujurnya kukatakan, aku jadi tidak enak hati. Begitu lagunya dia menghadapi Mas Tyas yang sudah berubah menjadi penjahat. Begitu percaya, padahal semua kata-katanya adalah dusta belaka. Oh, andai Ibu tahu, sudah empat malam Mas Tyas tidak pulang ke rumah. Ya dan andai Ibu juga tahu, kalau anak lelaki kesayangannya itu juga sudah berani bersikap jahat terhad
Rasanya sudah sangat lelah tapi tidak mungkin menyerah. Dua puluh juta atau berapapun itu, aku tetap harus mengusahakannya. Itu untuk biaya pendidikan anak-anak lho, mana mungkin menyerah begitu saja. Hanya saja masalahnya sekarang, Dek Puri sudah tidak jualan makanan lagi, sedangkan jualan online-nya juga sudah mau ditutup. Suaminya sudah menjatuhkan larangan katanya, karena baru dalam program hamil anak ke dua. Artinya, satu jalan usaha telah tertutup.Baru saja Dek Puri chat aku, sekaligus meminta maaf karena mendadak sekali memberi tahunya. Tentu saja, aku maklum. Bisa menerima. Namanya juga seorang isteri, harus nurut apa kata suami, bukan? Lagi pula, suami Dek Puri kan bertanggung jawab penuh? Jualan online atau pun makanan kan, hanya untuk pekerjaan sembilan saja. Iya, kan?To: Mbak AyungFrom: Dek Puri[Mbak Ayung, maaf banget ya, Mbak?][Sebenarnya aku nggak enak banget sama Mbak][Tapi gimana lagi, bapake udah nggak bolehin aku
Sungguh, walaupun pihak sekolah memberikan kelonggaran selama tiga bulan untuk kami melunasi tunggakan uang sekolah anak-anak tapi tetap saja tidak tenang. Rasanya seperti dikejar-kejar vampire atau yang lebih menakutkan dari pada itu. Selera makanku switch off begitu juga dengan kenyamanan tidur. Sering terjaga setiap malam atau malah tidak tidur sama sekali di sepanjang malam sampai lemas dan gemetar keesokan harinya. Bagaimana lagi? Saat ini, uang dua puluh juta bukan nominal yang sedikit bagiku. Jangankan segitu, dua puluh ribu saja sudah ngos-ngosan untuk mendapatkannya. Ibarat kata, sampai lolos tulang berulang dari tubuh."Ya, Mbak Ayung?" suara Limas di seberang sana terdengar hangat dan ramah membuat semangatku untuk meminta bantuan kian menguat di dalam jiwa, "Gimana Mbak, kata Dek Lesta kemarin nyariin aku, ya?"Terpaksa. Sejujur-jujurnya kukatakan, aku terpaksa meminta bantuan Limas. Tidak apa-apa lah, selama enam bulan ini tak menarik bag
Rasanya seperti mendapatkan jahitan lima belas di jalan lahir tanpa obat bius begitu menyadari siapa perempuan yang diajak Mas Tyas pulang. Tak salah lagi, dia itu Sari. Iya, Sari. Sahabat dekat aku selain Ajeng dan Dik Puri. Wah, Mas Tyas pasti sudah berstatus sebagai ODGJ, asli. Apa dia tidak tahu kalau Sari itu sahabat dekatku? Lihatlah, tanpa sedikit pun rasa malu mereka begandengan tangan, masuk ke ruang tamu. Oh, mungkin hati kiamat sudah semakin dekat. Mas Tyas bahkan tidak menyapa anak-anak sama sekali. Padahal Lova merangkak cepat untuk menyambutnya, lho. Tapi dia bergeming seolah-olah Lova bukan anak kami."Mas, tolong jaga Adek sebentar, ya?" kataku pada anak-anak, "Mama mau ketemu sama Ayah dulu. Ya?"Langit menarik tanganku, memandang dengan sorot mata penuh kekhawatiran, "Mama yakin?"Aku mengangguk, memejamkan mata. Membuka mata kembali dan memandangi anak-anak cintaku satu per satu. Yakin. Hatiku sudah yakin dan sekarang juga ha
Kali ini aku benar-benar hancur, berkeping-keping!Mungkin lebih hancur dari pada daratan yang dihujani rudal. Bagaimana tidak? Bukannya menyadari setiap kesalahan yang telah diperbuat, Mas Tyas justeru semakin gila. Bukti nyatanya, Sari. Tak pernah terpikir olehku kalau ternyata dia suka bermain perempuan. Tak sedikit pun terlintas dalam benak, setelah Ratna yang bagiku misterius, masih ada Sari. Aku semakin yakin, dalam tubuh Mas Tyas tak ada sesuatu yang bernama perasaan. Kalaupun ada, berarti perasaannya itu sudah tumpul. Jelas-jelas kami bersahabat dekat, masa Mas Tyas tak tahu? Buta mata hatinya, hanya karena nafsu.Ah, sudahlah!Takkan ada habisnya kalau membahas Mas Tyas dengan segala kegilaannya itu. Bahkan, sampai detik ini---tiga hari pasca kepulangannya bersama Sari---belum menghubungi aku sama sekali. Sungguh, sampai-sampai aku menyimpulkan kalau Mas Tyas sudah kumpul kebo bersama Sari. Apa lagi? Mustahil dia pulang ke rumah Ibu, karena tak ad
Apa, siapa yang jadi pengantin?Siapa yang menikah?Nyaris saja jantungku terlepas dari tempatnya dalam arti yang sesungguhnya, begitu mengalihkan pandangan ke depan. Di sana, di depan rumah Ibu berdiri tenda biru dengan janur melengkung sepaket lengkap dengan kelapa gading dan pisang di kanan kirinya. Ajaib, ini benar-benar ajaib. Sukses membuat otakku konslet dalam sekejap mata. Oh, rasanya aku ingin menjerit-jerit sambil mengacak-acak kerudung seperti orang gila."Udah bubar deh Ma, kayaknya?" seloroh Bumi membulat utuhkan kesadaranku, "Tapi siapa yang jadi manten ya, Ma? Aku ke sana duluan ya Mama, tanya sama Uti?'Sepenuh sadar, aku menahan Bumi. Menarik tangannya sebagai isyarat supaya dia tetap di sini bersamaku, "Mas Bumi, kita barengan saja. Sebentar, Mama parkir motor dulu di depan Masjid, ya? Yuk, temani Mama, yuk?"Sebagaimana yang biasa dia lakukan terhadapku, Bumi patuh. Menjajariku berjalan ke Masjid, tanpa berkata-kata. It
Apakah aku sudah gila?Mungkin. Lebih tepatnya aku tak tahu. Terlalu takut untuk menarik sebuah kesimpulan di sini. Tapi yang jelas, rasa-rasanya aku mengalami perubahan tiga ratus enam puluh derajat dari biasanya. Serius. Banyak berubah tapi tak kuasa untuk mencegahnya. Salah satunya, jadi lebih sensitif dan emosional.Bahkan, kadang-kadang ada kecenderungan untuk temperamental padahal hanya berhadapan dengan hal-hal kecil seperti Lova yang merengek minta jalan-jalan di sekitar rumah. Ya, jujur ya … Kalau sudah seperti itu, aku sampai menggendongnya dengan kasar sambil menggerutu dalam hati. Belum hal-hal yang lain, seperti Bumi yang tak sengaja menumpahkan es tehnya atau Laut yang terlalu banyak menggunakan sampo pada saat keramas. Sudah jelas aku mengomel panjang kali lebar oleh karenanya sampai-sampai Langit menegur dengan mimik wajah canggung. Percayalah, semua itu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seluruh orang di dunia ini juga t
Sudah lima bulan berlalu dari sejak menikah dengan Sari, Mas Tyas tidak pernah pulang ke rumah. Pernah sekali, itu pun hanya sebentar. Mengambil pakaian, laptop, kamera dan tas kerjanya lalu pergi lagi. Sedihnya, dia pulang saat Lova masih tidur sedangkan mas-masnya sudah berangkat ke sekolah, termasuk langit. Setelah kubujuk mati-matian, akhirnya mau juga dia kembali ke pesantren. Dengan berat hati dan terpaksa, aku membolehkan Laut mengantarkannya dengan berboncengan sepeda motor. Bagaimana lagi? Lova rewel berat waktu itu, tak mau ditinggal sebentar saja. Tak mau lekang dariku walaupun hanya satu detik.Mas Tyas tak banyak bicara denganku waktu itu. Nyaris tak berbicara sama sekali, malah. Tapi aku tak mungkin diam, mumpung dia pulang. Sesakit dan seremuk apa pun hati ini, berusaha untuk mengabaikannya. Demi anak-anak. Mereka jauh lebih penting dari pada setiap rasa pedih yang mendera."Kamu nggak kangen anak-anak, Mas?" tanyaku sambil menjajarinya berdiri di