"Roda Pasti Berputar"
Part 6
Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya Mbak Lila dan juga suami beserta anak-anaknya telah selesai menjalankan sholat Maghrib.
Mereka kini sedang berjalan ke arah kami yang sedang duduk di halaman Masjid.
"Nining? Kok kalian belum pulang?" Tegurnya, kemudian duduk di sebelahku. Mbak Lila benar-benar wanita yang baik dan rendah hati. Dia tak segan-segan untuk duduk di halaman masjid seperti ini. Padahal dia adalah bos atau owner dari toko kue terkenal yang kini sedang viral.
"Belum, Mbak. Niatnya kami mau ajak anak-anak keliling dulu, cari angin," jawabku sambil tersenyum.
"Kalian semua udah pada makan? Kalau belum, kita ngobrol-ngobrol di resto depan sana yuk," aku dan Mas Adnan saling bertatapan. Seketika ada rasa tak enak di hati. Karena memang kami baru saja kenal, dan aku takut malah seperti orang yang kurang sopan.
"Kok diem? Ayo kita makan dulu disana. Tenang, saya yang traktir, untuk ngerayain perkenalan kita agar lebih akrab." Tuturnya lagi. Seolah kami adalah teman yang sudah kenal lama.
"Udah, ayo Mas, Mbak. Rezeki jangan ditolak, pamali kata orang jawa. Hehehe," kini suaminya Mbak Lila ikut menimpali ucapan istrinya.
Akhirnya kami pun menyetujui ajakan Mbak Lila untuk makan bersama di dekat restoran depan, tak jauh dari masjid ini. Aku dan Mas Adnan menaiki motor, sedangkan Mbak Lila beserta keluarga kecilnya menaiki kendaraannya sendiri. Mbak Lila sempat menawarkan kami untuk bareng bersamanya di mobil. Cuma karena rasa tak enak hati, maka kami menolaknya, dengan alasan kalau aku tak bisa naik mobil, karena suka mual jika naik mobil.
***
Kini kami semua telah memasuki restoran yang cukup mewah. Aku, Mas Adnan, serta kedua anakku sukses dibuat tercengang dengan dekorasi resto tersebut. Karena jujur saja, selama ini aku belum pernah sama sekali masuk ke dalam restoran mewah seperti ini. Untuk bisa makan sehari-hari saja aku sudah bersyukur, dan tak pernah terpikirkan olehku untuk bisa makan di tempat seperti ini.
Memang benar kata pepatah, kalau rezeki tak akan kemana. Kini, aku ada disini bersama keluarga kecilku, dan bisa merasakan masakan mahal di restoran ini. Itu semua karena jalan dari Allah, melalui perantara umatnya.
Setelah memesan makanan yang menunya tak ku mengerti sama sekali, begitupun dengan Mas Adnan. Kami seperti orang yang sangat bodoh di tempat ini. Karena kami benar-benar tak tahu sama sekali soal menu makanan di tempat ini. Dan rata-rata tulisan menu disini berbahasa inggris, bahasa yang kurang kupahami, begitu juga dengan Mas Adnan.
Mbak Lila yang memberitahu pada kami tentang detail menu disini, lalu menjelaskannya. Dan akhirnya kami pilih daging yang dibakar dan diberi bumbu rahasia. Begitu kata Mbak Lila.
"Oh, iya kamu kerja dimana, Mas?" Suami Mbak Lila bertanya pada Mas Adnan.
"Saya jualan keliling, Mas. Kami berdua jualan makanan kecil, dibungkusin oleh istri saya, dan saya yang berkeliling menjajakannya," tutur Mas Adnan dengan canggung. Wajah suamiku itu juga agak sedikit menunduk, seperti malu dan enggan menjelaskannya.
"Bagus dong ya, jadi pengusaha snack." Kami berdua saling bertatapan dan tersenyum. Bingung dengan ucapan suami Mbak Lila.
'Pengusaha? Pedagang, kali Mas?' Sahutku dalam hati, tak berani bicara langsung.
"Bukan pengusaha, Mas. Cuma pedagang kecil-kecilan saja," terang Mas Adnan lagi.
"Justru dari kecil itu, bisa jadi besar nantinya. Asal satu, yaitu tekun dan optimis, serta doa. Karena tiga hal itu adalah yang paling penting dalam hidup," kami pun manggut-manggut mendengarkan penuturan suami Mbak Lila. Sedang Mbak Lila hanya menyimak.
"Aamiin. Semoga bisa jadi besar, Mas," ucap Mas Adnan lagi.
"Aamiin." Sahut kami semua.
"Oh iya, Ning. Kalian tinggal dimana?" Kini gantian Mbak Lila yang bertanya padaku.
"Kami tinggal di daerah kelapa dua Mbak. Kami ngontrak rumah disitu," jawabku.
"Jadi gini, Ning. Sebenarnya aku punya kerjaan untuk kamu. Tapi aku tanya dulu, kamu mau nggak kerja sama aku?" Jujur saja, hati ini mendadak ketar-ketir saat ditawari pekerjaan oleh orang sekelas Mbak Lila.
Sejenak aku memandang ke arah Mas Adnan. Meminta persetujuannya. Mas Adnan pun mengangguk tanda menyetujuinya.
"Insha Allah saya mau, Mbak. Kerja apa ya, Mbak? Terus bagaimana dengan anak-anak saya, kalau saya kerja dan harus ninggalin anak-anak?" Beberku panjang lebar. Mengungkapkan rasa gelisah di hati. Takut kalau aku bekerja, malah nantinya menelantarkan anak-anakku yang masih kecil.
"Kamu nggak usah khawatir, Ning. Gimana kalau kalian pindah ke rumah yang memang sudah kami sediakan untuk para karyawan? Dan Mas Adnan juga bisa bekerja disana bersama dengan Nining. Kalian bisa membedakan jam kerja, agar anak-anak juga tetap bisa diawasi," aku terdiam sejenak. Menimbang-nimbang semua hal yang akan kujalani nanti kedepannya.
"Hhmm, apa boleh saya pikirkan nanti, Mbak? Karena banyak hal yang harus saya pikirkan," jawabku ragu. Takut Mbak Lila marah.
"Oh, yaudah gapapa. Semoga kalian mau menerima tawaran kami ya? Saya sangat senang sekali, kalau kamu mau kerja dengan saya," tuturnya lembut.
"Terimakasih, Mbak. Atas semua kebaikannya," sahutku lagi.
"Sama-sama." Lalu hidangan pun akhirnya datang. Kami semua makan sambil berbincang-bincang ringan.
"Roda Pasti Berputar"Part 7(Pov Lastri)Aku tak pernah membayangkan untuk terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Bahkan kini aku harus mempunyai adik yang miskin. Adik benalu dan adik yang kubenci seperti Nining.Nining saudaraku satu-satunya yang kini kumiliki, sejak ayah dan ibu pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Namun, sejak kecil aku sangat tak menyukai Nining. Dia terlahir menjadi wanita yang hatinya baik seperti ibu, dan hampir keseluruhan sifatnya lebih dominan pada Ibu. Maka dari itu, ibu sangat menyayanginya. Sehingga ibu selalu saja mendahulukan kepentingan Nining, dibandingkan dengan diriku, yang seperti anak tiri.Tak lama setelah Ibu pergi dari dunia ini. Lalu tak lama disusul oleh Ayah. Aku pun di persunting oleh lelaki kaya raya, dan juga tampan. Bang Arman namanya. Lelaki tampan yang berhasil mencuri hatiku. Serta lelaki yang berhasil mewujudkan mimpiku untuk menjadi orang kaya yang sesungguhnya. Walau sebenernya, harus dengan cara kupaksa.****Flashback
"Roda Pasti Berputar"Part 8(Pov Lastri)"Las, aku mau bicara penting sama kamu," "Bicara apa, Bang? Kayaknya serius banget?" Jawabku penasaran. Dia malah mengelap keringat yang mengalir di dahinya. Kenapa Bang Arman sampai gugup seperti itu ya?"Mau ngomong apa, Bang? Kok kayaknya kamu gugup banget? Ada apa?" Tanyaku lagi, penasaran dengan sikap Bang Arman yang tak biasanya."Aku pengen kenalin kamu, ke orang tua aku sebagai orang punya atau anak dari keturunan orang kaya," aku mengernyitkan dahi. Bingung dengan ucapan Bang Arman."Maksudnya gimana sih? Aku nggak ngerti!" "Aku bakal kenalin kamu, sama orang tua baru kamu. Mereka adalah teman aku, dan kebetulan mau diajak kerja sama, dan ikutin rencana aku," jelasnya. Dan aku semakin bingung."Terus, Ayah aku gimana? Ayah aku masih hidup, dan dia yang bakal jadi wali nikahku," Bang Arman mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menghembuskan nafas gusar."Kamu tetap mau nikah sama aku kan, Las? Dan kita akan hidup bahagia sama anak-an
"Roda Pasti Berputar"Part 9 (Pov Lastri 3)Sudah seminggu sejak kepergian ayah. Kini aku sedang menyiapkan berkas-berkas surat rumah yang nantinya akan kujual. Biar saja Nining, dia bisa mengontrak dengan uangnya sendiri. Karena dia juga bekerja."Kak, apa benar rumah ini mau dijual? Terus aku tinggal dimana?" Tegur Nining, saat aku sedang sibuk membereskan surat-surat rumah."Iya, benar. Memang kenapa? Masalah untuk kamu?" "Bukan gitu kak, ini peninggalan satu-satunya dari ayah dan ibu. Sayang kalau harus dijual, Kak," selorohnya lagi. Aku mencebikkan bibir, saat mendengar ucapannya. "Terus kalau nggak dijual, kamu yang bakal tempati dan menguasai rumah ini, begitu? Enak banget kamu! Aku tetap bakal jual, dan nanti aku bakal kasih kamu separuh uangnya, untuk kamu sewa rumah di tempat lain," mata Nining membulat. Seperti tak terima dengan keputusanku."Tapi, Kak?" "Nggak ada tapi-tapian! Ini sudah keputusan aku, sebagai anak tertua disini. Dan kamu nggak punya hak ngatur-ngatur ak
"Roda Pasti Berputar"Part 10Pov LastriSetelah berdebat sebentar dengan Nining. Aku pun langsung masuk ke dalam rumah Bu Salamah, karena Bang Arman juga sudah menunggu di dalam. Bisa marah dia, kalau tahu aku lama-lama mengobrol dengan Nining.Entah kenapa, Bang Arman sangat membenci Nining. Mungkin karena adikku itu orang miskin."Eh, Lastri. Dari mana? Kok, lama sekali di luarnya?" Tegur Bu Salamah, saat aku sudah masuk ke dalam rumahnya."Oh, enggak Bu. Tadi saya cuma dari luar sebentar. Ada urusan sedikit," Jawabku asal."Oh, yaudah. Duduk dulu ya? Saya ke belakang dulu, mau nyuruh Inah untuk buatin minum. Si Arman juga lagi di belakang sama Bapak, lagi ngobrol. Kalau anak-anak ada di ruang bermain," jelasnya."Oke, Bu. Nanti saya nyusul aja ke belakang. Udah, Ibu siap-siap aja dulu, takut tamu pada datang." Bu Salamah pun mengangguk, dan segera ke menuju ke belakang. Mungkin masih menyiapkan yang lainnya.Setelah Bu Salamah pergi, aku pun langsung beranjak dari tempat duduk, da
"Roda Pasti Berputar" Part 11 "Aku kangen kamu. Kapan kamu nemuin aku lagi? Udah hampir sebulan, kamu nggak pernah mengunjungi aku, dan kasih hak aku." Sayup-sayup terdengar suara perempuan yang sangat aku kenal. Dia adalah Echa. Tapi dia sedang berbicara dengan siapa? Echa kini sedang berada di teras belakang. Segera kulangkahkan kaki, untuk melihat siapa sosok yang sedang berbicara dengan Echa. Prraanngg!!! Tak sengaja, aku malah menyenggol vas bunganya Bu Salamah. Ya ampun! Kenapa harus kesenggol sih? "Lastri? Kamu kenapa ada disini?" Kini Echa yang malah menghampiriku. "Ada apa ini? Ya ampun, kenapa vas bunga ini pecah?" Bu Salamah ikut menghampiri, dan dia sangat terkejut melihat vas bunganya yang pecah dan kini tinggal serpihan di lantai. "Ma-maaf, Bu. Tadi saya lagi jalan dan nggak sengaja tersenggol tangan saya. Tenang saja Bu, nanti akan saya ganti vas bunganya," jelasku pada Bu Salamah. Si*l! Awalnya mau lihat dengan siapa dia berbicara, malah jadi aku yang seperti
"Roda Pasti Berputar"Part 12Setelah pertemuan dengan Mbak Lila. Entah kenapa hati ini seperti diberi angin segar oleh Allah yang maha kuasa. Allah memang adil, dia kirimkan orang baik padaku, meski hanya berstatus orang lain, dan bukan bergelar saudara.Hidup memang terkadang gitu. Saudara sendiri bisa seperti orang lain, tapi orang lain bisa jadi seperti saudara. "Hati-hati ya, Mas? Semoga rezeki kamu banyak. Dan dagangan kita hari ini habis semua. Aamiin," ucapku memberikan semangat pada Mas Adnan."Aamiin. Iya Dek, makasih ya udah doain aku, udah setia dampingi hari-hariku yang kadang pahit dan jarang manis," aku tergelak dengan ucapannya. Mas Adnan memang kadang suka melucu. Katanya biar hidup nggak terlalu tegang, dan kami selalu tetap ikhlas dalam menjalani semua ketentuanNYA. "Hahaha. Yaudah Mas, pokoknya hati-hati ya? Aku selalu ngedoain suami aku, selalu ngedoain anak-anak dan juga keluarga kecil kita." Ucapku sambil mencium tangannya. Mas Adnan juga mencium keningku, lal
"Roda Pasti Berputar"Part 13"Permisi, Bu. Kami ingin memberitahu kalau Pak Adnan harus segera dibawa ke rumah sakit besar. Karena beliau harus menjalani serangkaian tes. Dan juga ada kemungkinan luka di dalam kepalanya." Aku langsung shock, saat mendengar penuturan suster.Astaghfirullah, Ya Allah. Cobaan apalagi ini? Sabarkan hati ini Ya Allah.***Kini, kami semua telah sampai di rumah sakit besar yang ada di pusat kota. Bapak tadi masih menemaniku. Tapi selama di perjalanan dia hanya diam saja, tak mengeluarkan sepatah katapun. Oleh karena itu, aku pun jadi merasa canggung.Mas Adnan sudah dipindahkan ke ruang tindakan. Kini kami sedang menunggu Dokter datang untuk memeriksa. "Pak, saya mau beli minuman dulu ya? Terima kasih sudah berbaik hati mau membantu suami saya," ucapku pada Lelaki paruh baya itu."Sama-sama. Kamu disini saja menjaga Adnan, biar saya saja yang membeli minuman di luar." Lelaki tua itu langsung beranjak dari tempat duduknya dan berlalu pergi. Padahal aku b
"Roda Pasti Berputar"Part 14"Adnan? Ini Ayah, Nak." Bapak tersebut berjalan pelan, kedua tangannya direntangkan dan ingin memeluk Mas Adnan. Tapi, entah kenapa Mas Adnan langsung membuang muka. Seperti orang yang tak suka.Mas Adnan diam tak bergeming, sedangkan Bapak tadi menghapus jejak air matanya, yang kini mengalir semakin deras.Jadi benar, kalau Bapak ini adalah Ayahnya Mas Adnan yang telah meninggalkannya sejak dia kecil."Mas. Ini Ayah kamu?" Tanyaku sambil menghampiri Mas Adnan yang masih diam tak bergeming."Ayah, Mila sama Mili kangen sama Ayah. Ayah cepat sembuh ya? Biar kita bisa main lagi bareng-bareng lagi." Tiba-tiba Mili memecah ketegangan yang ada di antara Mas Adnan dan Ayahnya.Mas Adnan langsung menoleh ke arah kedua putrinya, mengangguk, kemudian merentangkan tangan dan memeluk mereka berdua.Sedangkan aku dan Ayahnya Mas Adnan, memperhatikan mereka bertiga yang kini sedang meluapkan rasa rindu."Mila sama Mili duduk di sofa dulu ya? kakek ini, mau bicara dulu