Rena menghela napasnya. Langit-langit kamar tidur yang berwarna putih menjadi pusat perhatiannya sejak tadi. Ia rindu akan ayah, ibu, juga kak Ben. Sejak kejadian yang membuat dirinya berpisah dengan kak Ben dan sampai saat ini ia tak pernah bertemu lagi. Bagaimana jika ia meminta izin pada Alpha Jonathan juga Luna Irene untuk keluar dari pack, alih-alih mencari Kakaknya. Pasti ia diperbolehkan.
Tapi ...
Mengingat jika ia tinggal di istana dari umur tiga belas tahun sampai sekarang dirinya pasti akan dicap sebagai orang yang tak tahu diri karena sudah diasuh dan dibesarkan oleh pack. Ia benar-benar bimbang.
Tapi diantara itu semua, ada Beta Romeo yang sebenarnya tak bisa ia tinggalkan. Beta Romeo dengan segala keangkuhan yang pria itu miliki. Rena berpikir, Beta Romeo semakin lama akan berubah dan tak menganggap dirinya sebagai benalu di dalam istana, melainkan anggota pack juga ... mate.
Pipinya menggembung, antara manis juga pahit jika berhadapan dengan pria itu. Biar saja Beta Romeo menusuknya dengan kata-kata tajam walau itu sangat menyakitinya. Setidaknya ia memberikan jarak yang cukup agar Romeo tak semakin menginjak harga dirinya.
Tangannya mengelus liontin yang tersemat di lehernya, pemberian ibu saat dirinya berulang tahun di usia sembilan. Kalung berwarna silver dengan bandul balerina. Ia memang sedari dulu mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang balerina yang andal. Dengan kemampuan dan bentuk tubuh yang mumpuni, ia bisa dengan mudah menguasai gerakan dasar di waktu masih kecil.
Rena terbangun dari baringannya, ia mengambil napas dalam dan menghembuskan berulang kali. Ia sudah sangat lama tak melakukan ini, dan sekarang ia akan mencobanya lagi.
Dengan kedua tumit yang saling menempel, Rena memulainya. Gerakan cantik yang dulu ia kuasai tak pernah terlupa. Dengan luwes ia memutar dan mengayunkan kedua tangannya. Keseimbangan menjadi nomor satu untuk para penari balet, tapi Rena lupa jika tempat luas adalah hal yang terpenting juga.
Tertawa saat dirinya terjatuh karena kakinya terkena lemari pakaian. Ia menyandarkan punggungnya di dinding. Mata monolid dan sipitnya semakin hilang saat bibir itu tertawa.
Suara ketukan pintu keras membuat tawa Rena berhenti, dengan cepat ia membukakan pintu.
“Kenapa berisik sekali?!” Bibi Morin dengan pakaian tidurnya berdiri di depan pintu kamar Rena ditemani beberapa orang pelayan lainnya.
“Aku tadi terpeleset.” Hanya itu yang bisa Rena jelaskan. Ia tak akan berbicara terlalu banyak.
“Sudah malam sebaiknya kau tidur, jangan sampai telingaku mendengar bunyi kegaduhan dari kamarmu Rena. Apa kau mengerti?!” tegas Morin yang langsung pergi. Rena yang melihat itu hanya bisa mengangguk.
Ia terduduk di kasur kembali mengusap bandul kalungnya sesekali mencium seolah merasakan kehadiran ibunya di sini.
***
“Kudengar Beta Romeo berkencan dengan Gania,” bisik-bisik para pelayan pagi hari ini membuat telinga Rena memanas. Bagaimana tidak, baru saja ia keluar kamar sudah ada beberapa pelayan yang bergosip di meja makan.
“Rena mau ke mana kau? Tidak sarapan dulu?” Rena yang mendapat tawaran itu hanya tersenyum.
“Aku ingin ke kamar mandi sebentar,” sahutnya mengangguk ke para teman pelayannya.
“Gania?” tanya Sarah pada Natalie.
“Iya Gania. Mereka malam tadi pulang berdua, sepertinya habis berkencan." Sarah menyendokkan makanannya.
Wendy yang baru saja ikut bergabung langsung menatap Sarah. “Mungkin mereka mendapat tugas dari Alpha,” timpal Wendy tak yakin.
Natalie mendengus mendengar perkataan Wendy, tugas apa yang membuat Beta serta pelayan berjalan bersamaan hingga larut malam. “Kau cemburu?” Natalie menatap Wendy.
“Gania tidak sebanding dengan diriku. Kalian tahu itu, kan?” Sambil menyendokkan makannya, Natalie dan Sarah kembali saling menatap.
“Rena, sesudah sarapan kau ditugaskan menemui Luna Irene." Ada syarat tidak suka saat mengatakan itu.
Rena yang sudah duduk berhadapan dengan Wendy langsung mengangguk. “Baiklah.”
“Aku heran padamu,” ejek Wendy masih memperhatikan Rena. “Bagaimana bisa seorang rogue mendapat perhatian khusus terlebih dari Luna.”
Rena yang mendengar itu mencengkeram kuat sendoknya. Apa masih bisa Wendy berkata seperti itu, padahal ia sudah berada di istana hampir sepuluh tahun. Selama hidupnya, Rena tak pernah membeda-bedakan status ataupun kasta semua tampak sama di matanya. Tapi mengapa orang lain lebih suka membicarakannya terlebih di depan mata.
Rena mengontrol napasnya, ia tak boleh meledak. Ibu selalu mengajarkan dirinya bersabar.
“Aku masih ragu dengan statusmu sedari dulu, bagaimana bisa masuk ke wilayah ini sendiri. Atau mungkin kau dan keluargamu mempunyai rencana jahat untuk semua orang.”
Dengan sepersekian detik Rena naik ke atas meja makan dan mencekik leher Wendy. Matanya menggelora bagaikan api, sisi serigala yang sedari dulu ditekankan agar tak keluar membuat Rena semakin berang. Kegaduhan yang dibuatnya membuat Sarah dan Natalie menjerit, semua orang pun datang untuk melihat apa yang terjadi.
Wendy yang kehabisan napas dengan muka semakin pucat membuat Rena mengontrol napasnya.
“Rena!” Suara menggelegar Bibi Morin membuat Rena menatap sekitar. “Lepaskan Wendy!”
“Kau boleh menghinaku, tapi tidak dengan keluargaku.” Nada pelan telinga namun membuat Wendy semakin merasakan sesak di dadanya karena Rena semakin mencekik dirinya.
Dengan sentakan ia mendorong Wendy membuat perempuan itu terbatuk-batuk hingga terjatuh. Beberapa orang yang melihat membantu Wendy untuk berdiri termasuk Natalie dan Sarah.
Tangannya ditarik paksa untuk menuruni meja.
PLAK!
Bibi Morin tega melakukan ini semua di depan semua orang. Wajahnya berdenyut nyeri, dan panas. Wajahnya semakin menunduk saat cacian serta makian yang kepala pelayan itu berikan padanya. Tapi ada satu hal yang tak luput dari pandangannya. Romeo berada di sana dan melihat semua bersama Gania di sebelahnya.
***
Entah apa yang dipikirkan Romeo setelah melihat kejadian di mansion belakang istana. Ia secara langsung melihat bagaimana dengan beringasnya Rena memperlakukan Wendy dengan sangat kasar. Ia tak menyukai perempuan seperti itu, ia lebih menyukai perempuan yang berhati lembut dan bisa memberikan kenyamanan untuknya.
“Rome,” panggil Gania memegang lengan Romeo.
Seakan tersadar dengan lamunan, Romeo memalingkan wajah hingga menatap perempuan cantik di sampingnya.
“Kau tak ingin menghentikan semua ini?” tanyanya saat melihat wajah Romeo yang sedikit linglung.
“Menghentikan apa?”
“Rena. Dia mungkin bisa saja diperlakukan lebih kejam setelah kejadian tadi.” Gania mengajak Romeo keluar dari dapur mansion itu saat melihat Rena sudah dibawa Morin entah ke mana.
“Perempuan itu tahu apa yang diperbuatnya, ia sudah mengerti balasan apa yang akan diterima.” Romeo menatap pohon yang diterpa cahaya matahari pagi. “Lagi pula itu bukan wilayahku, biarkan Bibi Morin melakukan tugasnya,” lanjutnya.
Gania hanya menghela napas membuat Romeo menatap wajah putihnya. “Terima kasih,” ucap Gania memegang pergelangan tangannya yang terdapat gelang berwarna putih.
Romeo hanya bisa tersenyum dan mengelus puncak kepala Gania. “Tidak seharusnya kau berterima kasih padaku,” tutur Romeo merebahkan dirinya di atas rumput, membiarkan cahaya matahari menghunus tubuhnya.
“Setidaknya aku berterima kasih padamu karena sudah menutupi kesedihanku.” Gania ikut merebahkan tubuhnya.
“Sudahlah. Tenangkan dirimu.” Romeo menutup mata.
Rena merasakan pipinya panas karena tamparan Bibi Morin yang kencang. Mungkin juga sudut bibirnya sedikit berdarah terbukti ia bisa merasakan asin. “Aku tak menyangka kau bisa brutal seperti ini, Rena!” teriak Morin menghunus telak telinga Rena. “Sarah bawa Wendy ke kamarnya!” perintah Morin saat melihat wajah pucat Wendy serta napas yang masih tersengal-sengal. “Apa kau ingin mencoba membunuh temanmu sendiri, ha?!” Dengan menggoyang-goyangkan bahu Rena, membuat perempuan itu pusing seketika. “Kumohon, Bibi. Perutku mual.” Ingin muntah rasanya saat tubuhnya dientakkan secara keras. Sudah sedari bangun tidur Rena memang tak enak badan dan merasa sedikit demam. “Apa aku kurang mengajarimu sedari kecil untuk menghormati semua orang? Apa kau perlu aku ajarkan sekali lagi, iya?!” teriak Morin. “Kumohon Bibi maafkan aku.” Matanya panas menahan sakit dikepalanya. Morin yang segera melepaskan Rena langsung mengusap-usap kedua tangannya di baju. “Kumaafkan kau untuk kali ini. Jangan samp
Hari Minggu, Awal musim Gugur.Menghilangkan kepenatan juga memberikan aura positif terhadap orang lain ternyata semudah itu. Rena seharusnya dari dulu tak menutup diri karena kehilangan keluarga. Seharusnya ia memang lebih bersyukur ada di pack ini. Diasuh dengan baik walau dalam istilah yang tidak sebenarnya. Jika diingat-ingat waktu terasa cepat untuknya berada di sini, umurnya sudah menginjak dua puluh tiga tahun sekarang.
Romeo jelas-jelas sudah sangat menahan emosi dengan kedekatan Rena juga adiknya, Jordan. Bisa-bisanya dengan tatapan polos ia menggoda Jordan hingga membuat pria itu seperti kucing menggemaskan. Ditambah melihat tingkah laku dua-duanya yang sangat memuakkan. Jordan tak main-main dengan perkataannya sedari awal, bahkan dengan ketidaksiapan Romeo akan aksi Jordan itu sendiri. Ia tak ingin adiknya masuk dalam kenaifan perempuan itu.Ia belum sepenuhnya percaya akan Rena meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Istana. Romeo sedari dulu sudah merasakan hal janggal, apa yang membuat Rena tersesat hingga memasuki wilayahnya. Perkataan Wendy kemarin kembali mengusik pikirannya. Benar deng
Tak pernah dibayangkan oleh Rena untuk berhadapan dengan makhluk pengisap darah. Ia juga tak pernah menampik untuk tidak takut berhadapan dengan kaum immortal yang usianya bisa lebih dari ratusan tahun itu. Karena menurut Rena, jika sang vampir sudah menargetkan mangsanya maka saat itu pula mereka tak akan terlepas kan.Rena yang melihat saat aksi Romeo mengempaskan tubuh pria vampir itu semakin membelalakkan matanya. Ia tak tahu jika Romeo benar-benar sekuat itu dan hanya mengeksekusi menggunakan satu tangan saja.
Rena menangis meratapi nasib yang sudah dua hari ini ia rasakan. Ia berpisah dengan kakak laki-laki yang ditugaskan oleh orang tua untuk menjaganya. Entah sudah berapa kilometer ia berjalan menyusuri hutan untuk mencari pertolongan. Perutnya sudah perih, hanya buah-buahan hutan yang mampu mengisi kekosongan. Ia semakin takut karena sudah beberapa kali dirinya melihat makhluk lain di hutan ini dan untungnya berhasil sembunyi. Ia tak mau menjadi santapan bagi mereka semua. Ia ingin hidup dan bertemu dengan kakaknya kelak. Bunyi geraman membuat sikap waspada Rena kembali teruji, ia semakin melarikan diri tanpa mau menoleh ke belakang. Tapi tiba-tiba kakinya ditarik kasar dari belaka
Senyaman-nyamannya istana orang lain, lebih nyaman istana sendiri. Itulah peribahasa yang sering Rena dengar. Ia ingat, baru saja memejamkan mata dan menikmati indahnya cahaya langit malam. Tapi beberapa detik kemudian air sudah membasahi seluruh tubuhnya. Apa yang salah? Ataukah hujan sedang mengguyur bumi?Matanya mengerjap memandangi silau yang menusuk, seketika untuk berdiri saja ia tak sanggup. Sudah berapa lama ia tertidur sambil duduk?“Aku men
Sudah dua hari Rena di rumah sakit, begitu pula Jordan yang mengurusnya bahkan pria itu tak segan-segan untuk bermalam di sana juga. Setelah insiden memalukan yang Rena sendiri tak tahu bagaimana ceritanya, ia hanya ingat saat tertidur di taman dan suara bibi Morin membangunkannya. Yang ia lihat bibi Morin membawa ember hitam dan menuangkan seluruh isi ke tubuhnya. Ia yang kedinginan setelah itu tertidur di kamar dengan damai tanpa mau mendengarkan berisik suara di luar.Rena sempat bertanya pada Jordan sebenarnya apa yang terjadi tapi jawaban pria itu tak terlalu memuaskan.
Terduduk di ujung tebing dengan pemandangan langit jingga di sore hari membuat pria berambut ikal tersenyum, apalagi suara air terjun di bawah sana menambah kesyahduan alam.“Masih meratapi kebodohanmu, ha?” Suara interupsi membuat Romeo berdiri dan sigap. Siapa yang berani-berani mengganggu waktunya.“Kau melewati batas wilayah!” tegas Romeo melihat pria berjubah hitam yang masih menyender di batang pohon. Tatapan hina yang pria itu