Share

Bab 05 : Penghinaan

Rena merasakan pipinya panas karena tamparan Bibi Morin yang kencang. Mungkin juga sudut bibirnya sedikit berdarah terbukti ia bisa merasakan asin.

“Aku tak menyangka kau bisa brutal seperti ini, Rena!” teriak Morin menghunus telak telinga Rena. “Sarah bawa Wendy ke kamarnya!” perintah Morin saat melihat wajah pucat Wendy serta napas yang masih tersengal-sengal.

“Apa kau ingin mencoba membunuh temanmu sendiri, ha?!” Dengan menggoyang-goyangkan bahu Rena, membuat perempuan itu pusing seketika.

“Kumohon, Bibi. Perutku mual.” Ingin muntah rasanya saat tubuhnya dientakkan secara keras. Sudah sedari bangun tidur Rena memang tak enak badan dan merasa sedikit demam.

“Apa aku kurang mengajarimu sedari kecil untuk menghormati semua orang? Apa kau perlu aku ajarkan sekali lagi, iya?!” teriak Morin.

“Kumohon Bibi maafkan aku.” Matanya panas menahan sakit dikepalanya.

Morin yang segera melepaskan Rena langsung mengusap-usap kedua tangannya di baju. “Kumaafkan kau untuk kali ini. Jangan sampai Luna Irene mengetahui semuanya. Aku sudah cukup menutupi segala kecerobohan dirimu di depannya." Morin meninggalkan Rena yang masih bersandar di dinding.  

*** 

Seorang pria yang menginjak angka dua puluh delapan tahun menatap hamparan salju di depan sana. Swiss menjadi salah satu negara yang mempunyai daya tarik karena adanya salju abadi di pegunungan Alpen. Negara yang selalu dikunjungi oleh wisatawan karena ingin bermain ski atau menaiki gondola dan menikmati alam dari atas pegunungan.  

Bennedict Schaacio, pria perawakan besar dengan rambut sedikit ikal dan kulit yang sedikit kecokelatan karena sering berjemur di bawah sinar matahari. Hampir sepuluh tahun ia kehilangan jejak sang adik, terakhir kali ia bersama adiknya saat di perbatasan antara Jerman dan Belgia. Ibu dan ayahnya menyuruh agar cepat lari menjauh dari wilayahnya karena seorang pemburu yang mengetahui identitas asli keluarganya.  

Jika mengingat hal itu membuat hati Ben mencelus. Ia tak bisa melihat kedua orang tuanya lagi apalagi menjaga adik kesayangannya. Ia sudah berkeliling singgah di semua kota bahkan beberapa Negara selama sepuluh tahun terakhir tapi ia tak mendapat informasi sama sekali. Adiknya bagai hilang ditelan bumi. Bahkan ia tak tahu, apakah adiknya masih hidup atau sudah .... 

Ben menggelengkan kepalanya, ia yakin adiknya baik-baik saja.  

*** 

Rena menghampiri Irene di kamar wanita paruh baya itu. Dengan mengetuk beberapa kali, Irene menyahutnya dari dalam. “Anda memanggil saya, Luna?” tanya Rena saat melihat Luna Irene mengambil beberapa baju di lemarinya.

“Kemari.” Irene memberikan baju yang dipegangnya kepada Rena, “Aku ingin kau membantuku untuk membereskan beberapa persiapanku besok.”

“Anda ingin bepergian?” tanya Rena menatap Luna Irene.

Luna Irene hanya tersenyum. “Suamiku mengajak ke Austria.”

Rena membelalakkan matanya.

“Kau kenapa?” tanya Luna Irene melihat raut wajah Rena yang sedikit menegang.

“Tidak apa-apa,” cicitnya sambil melipat baju dan memasukkannya di dalam koper.

“Rena,” panggil Irene. Melihat wajah memerah Rena. Ia menangkup wajah itu dengan lembut, merasakan suhu yang sedikit panas. “Kau sakit?”

Rena yang ditanya seperti itu hanya menggelengkan kepalanya. “Tidak, saya baik-baik saja.”

Dengan tersenyum Rena menunjukkan bahwa ia dalam keadaan yang normal. Setelah kejadian tadi, ia mencoba untuk merapikan lagi tubuhnya agar tak membuat semua orang curiga termasuk Luna Irene yang selalu memperhatikannya dalam diam.

“Tapi badanmu sedikit hangat,” jelas Irene masih tak percaya.

“Bukankah kaum kita memang ditakdirkan memiliki suhu di atas normal, Luna?" Senyum Rena menenangkan.

“Jika kau sakit maka istirahatlah. Aku akan mengurusnya sendiri.” Luna Irene tak tega melihat Rena yang sedih menatapnya. Tapi bagaimana lagi, dia merasa anak itu butuh istirahat.  

“Sungguh, aku sehat,” jelas Rena.

“Aku bilang beristirahatlah!” Mata tajam Luna Irene memandang Rena tajam, membuat perempuan itu menyerah dan pamit keluar.

Tanpa disangka, Romeo ada di sana tepatnya di balik pilar. 

Yang ia tahu, Romeo pasti akan membuat hatinya semakin tak karuan. Ia lebih memilih meninggalkan pria jangkung itu. Rena memang sengaja mencari jalan yang agak menjauh dari Romeo, agar ia tak bisa dekat-dekat dengan pria itu. Terlalu berisiko, apalagi dengan kejadian tadi membuatnya sangat malu. Tapi, dari sudut matanya ia melihat Romeo mengikutinya. Romeo yang sudah memakai pakaian berbeda dari pada tadi pagi.

“Ada apa?” Akhirnya Rena berbalik menghadap Romeo yang masih membuntutinya di belakang.

Romeo menghentikan gerakannya saat mendengar suara itu menginterupsi. Keningnya berkerut mengejek.

“Jika kau juga ingin menghakimiku, kau bisa melakukannya besok, Beta.” Nada lelah yang Rena tunjukkan membuat Romeo semakin mengerutkan keningnya. Tanpa mendengar balasan dari Romeo, Rena meninggalkan pria itu yang entah apa akan dilakukannya. Biarkan Romeo melakukan apa yang ingin dirinya kerjakan.  

Diteguknya air minum guna menghilangkan dahaga. Suasana hari Sabtu tak ada yang spesial menurutnya. Jika yang lain akan melakukan kegiatan seperti berbelanja bahkan memanjakan tubuh di kota. Tapi Rena tidak.

Ya, mereka mempunyai jadwal tersendiri. Semua orang akan diberikan kebebasan pada hari Sabtu dan Minggu tanpa adanya tugas istana. Jika di hari biasa mereka akan sibuk karena ada kunjungan tamu-tamu penting dari berbagai Negara atau acara lainnya.

Rena menggulung baju panjangnya hingga siku. Sweater rajut berwarna cream dengan ukuran besar benar-benar membuatnya nyaman apalagi di keadaan seperti ini. Rambutnya diikat asal membuat anak-anak rambut itu berjatuhan.

Romeo melihat Rena dari kejauhan, ia sebenarnya 'sedikit' menyukai tampilan Rena yang seperti ini. Dengan pakaian santai juga celana jeans yang menutupi kaki jenjang perempuan itu, juga jangan lupakan rambut yang diikat asal membuat mata Romeo tak berkedip.

Jujur, ia tak menyukai Rena memakai pakaian pelayan. Karena pakaian pelayan menggunakan rok selutut juga baju yang sedikit ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuh wanita itu.

Ah, Romeo memukul kepalanya. Ada apa dengan otaknya, sungguh tidak bisa dikendalikan.

Pria itu mendekati Rena yang masih berdiri di pantry dengan memunggunginya. Gelas yang tadi dipakai Rena diambilnya dan diisi kembali dengan air.

Rena yang sudah tahu saat Romeo masih mengikutinya membuat dirinya menekan habis-habisan untuk tak menanggapi. Tapi perbuatan Romeo di sampingnya benar-benar mengejutkan. Mau tak mau ia berhadapan dengan pria itu. Dan ...

Romeo meminum gelas yang sama seperti dirinya?  

Perempuan itu menatap Romeo yang juga menatapnya, meskipun ia bisa melihat jakun Romeo masih naik turun karena tegukan. Rena menelan liurnya. Mengapa pria itu begitu menggiurkan? Ia menekan dadanya yang berdebar kencang. Sedekat ini Romeo berada di hadapannya.  

Romeo menaruh gelas di wastafel tanpa melepaskan pandangannya dari Rena. Menyentuh sedikit ujung rambut panjang yang menutupi muka perempuan itu ke belakang telinga. “Kau sudah bisa mencucinya.” Romeo meninggalkan Rena yang masih mematung.

Sialan!

Rena menatap benda satu-satunya yang ada di wastafel. Dengan tersenyum kecut, ia melakukan tugasnya.

Saat dirasa semua sudah beres, ia menepuk tangannya di baju. Keningnya berkerut saat merasakan sesuatu di kantong sweater. Dirogohnya dan membuat ia semakin bingung saat ada benda berkilau di tangan. Ia sangat ingat bahwa tak pernah mempunyai gelang cantik semacam ini. 

Pandangannya menatap sekitar. Tak mungkin benda ini muncul sendiri, toh saat ia mengganti baju ia ingat tak ada satu pun benda di kantongnya.

Pipinya menggembung, mengingat sikap aneh Romeo sedari tadi. Atau mungkin pria itu? Rena berjalan kembali menuju kamarnya sambil mengelus gelang indah di tangan.  

*** 

Tangan yang sudah dihiasi gelang membuat Rena sedari tadi terlalu fokus berkutat. Apakah Romeo sudah mau menerimanya?

Bibirnya mengulum.

“Dia begitu manis.” Shine, serigala Rena berkomentar. Entah kenapa sosok serigala itu jarang muncul dan hanya terdiam di dalam sana, menikmati.

“Sama sepertimu,” kata Rena menyenangkan membuat Shine mendengus geli.

Ketukan pintu membuat Rena terkejut. Dengan cepat ia menyembunyikan gelangnya di balik baju panjang yang hampir menutupi setengah telapak tangan.

“Kau sedang ... beristirahat?” Senyuman kikuk Gania di depan pintu membuat Rena mengangguk.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya Rena.  

Senyum Gania semakin lebar saat mendengar pertanyaan Rena. “Aku ingin mengobrol denganmu. Aku bosan di sini sendirian, mereka semuanya pergi.” Gania menarik lengan Rena membawanya ke taman istana.

“Kau tak ikut dengan mereka?” Rena duduk di bangku taman membuat Gania mau tak mau mengikutinya.

“Mereka jahat Rena, apalagi Wendy. Mereka menyebarkan gosip yang tidak-tidak.” Amarahnya meledak membuat wanita berumur tiga tahun lebih tua dari Rena itu mukanya memerah.

Rena hanya tertawa samar.

Gania, sebenarnya anggota baru di istana ini sekitar dua bulan lalu. Menurut ceritanya ia ingin sekali mengabdi pada Alpha dan Luna dan memasuki istana.

“Aku melihatmu tadi. Apakah mereka memang seperti itu sejak dulu padamu?” Gania menatap Rena yang masih memandangi taman.

“Kenapa kau ingin tahu?”

Gania terkejut dengan jawaban Rena, ia seolah tak enak hati.

“Sudahlah, lagipula aku berbuat seperti itu karena memang aku tak bersalah.” Rena menyandarkan punggungnya di kepala kursi.

“Jika kau melakukan kebenaran tetap pertahankan walaupun seisi dunia berburuk sangka padamu,” kata Rena menatap Gania yang tersenyum tulus padanya. Perempuan itu cantik, Rena yang sebagai perempuan juga sangat iri pada Gania.

“Apakah minggu besok kau ingin berjalan-jalan denganku? Kita akan ke kota untuk membeli pakaian,” ajak Gania.

Rena yang mendengar ajakan perempuan itu semakin terdiam. Dia sudah lama tak keluar istana. Terakhir kali saat diajak oleh Luna Irene empat bulan lalu. “Kau mengajakku?”

Semangat Gania membuat Rena yakin ternyata perempuan itu tak main-main dengan perkataannya. “Baiklah.”

Pekikan terkejut serta remasan tangannya membuat Rena terbelalak. Jantungnya juga seperti merosot tajam ke tanah saat matanya menatap pergelangan Gania yang bertumpu pada tangannya. Ia menatap Gania yang masih memberikan senyum padanya dengan tulus.

Dengan terpaksa ia membalas senyum Gania dengan kaku dan menarik tangannya. Tangannya mengepal. 

Sebegitu jahatnya ‘kah pria itu?

Gania akhirnya bisa duduk tenang dan menyandarkan tubuhnya di bangku sambil memandang ke depan. “Terima kasih, Rena.”

Sedangkan yang diajak berbicara tersenyum miris. Dengan cepat ia melepas gelang yang tadi terpasang dan menaruhnya di kantong baju kembali. Ia merapikan lengan bajunya agar tak menaruh curiga dari Gania.

Gelang mereka sama, hanya warna yang berbeda. Gabungan antara bentuk hati juga bunga. Jika milik Gania berwarna putih seluruhnya sedangkan milik Rena berwarna putih dan cokelat. Ia mencoba menormalkan napasnya yang memburu. Menahan sesak didada yang semakin menghimpit napasnya.

“Gelangmu cantik,” kata Rena seolah-olah penuh minat. Biarkan saja Gania saat ini menganggapnya sama seperti perempuan lainnya. Setidaknya ia ingin membuktikan sesuatu.

Gania memegang tangannya dan mengelus benda yang berkilau itu saat terkena cahaya, “ Beta Romeo yang memberikan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status