Pukul lima pagi, alarm di ponsel Liam berdering. Dengan raut setengah mengantuk, ia beranjak dari kasur tanpa aba-aba atau melemaskan tubuhnya. Ia meraih segelas air yang telah dipersiapkan sebelum ia tidur semalam. Tak sampai sepuluh detik, air itu habis diteguknya.
Ia bergegas. Tangannya meraih zipper polos berwarna abu yang tergantung di kap stok belakang pintunya. Setelahnya, ia membuat simpul yang cukup kencang pada sepatunya. Pagi ini adalah awal baginya untuk mengumpulkan kekuatan.
Napasnya tersengal-sengal, nyawanya seolah berada di ujung. Setelahnya menyelesaikan target hariannya untuk berlari, ia mengitari daerah tempat tinggalnya dengan berjalan santai seraya mengatur napas yang baru saja membuatnya nyaris mati karena sudah lama tak berlari.
Ia melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Waktu hampir menunjukkan pukul enam. Pendar kota yang tadi pagi ia lihat, perlahan mulai hilang. Mentari mulai muncul di ufuk Timur. Tanda baginya untuk
Di tengah perjalanan, dari spion, Pak Ramlan melihat sekelompok pemotor berusaha mengejar mereka. Seratus meter lagi, para pemotor tersebut akan berhasil menyamakan posisi.“Pak Adimas, sepertinya ada orang yang ingin menghalangi pertemuan hari ini,” sambil berkata, Pak Ramlan terus melirik para pemotor tersebut dari spion yang berada di atas samping kirinya.Adimas melihat ke belakang. Para pemotor tersebut berseragam serba hitam, serta menggunakan helm fullface hitam yang berkaca gelap. “Pak Ramlan, saya minta naikkan kecepatan. Saya ingin bermain-main.”Pak Ramlan mengangguk, sejurus kemudian, mobil yang ditumpangi Adimas meningkatkan kecepatan hingga 120km/jam.“Rencana biasa, Bang?” Lukman memandang Adimas serius.“Tentu saja. Mari kita bersenang-senang.”Di perempatan, empat mobil beriringan itu berpisah. Pak Ramlan membanting stir mobilnya dan langsung berbalik arah. Dari kaca mobi
Dari jendela kamar, Andini melihat Liam sudah berdiri di halaman. Tampilannya nampak biasa bagi Andini. Ya biasa, sebab semua yang bekerja sebagai pengawal di rumahnya selalu berpenampilan serba hitam. Sang ayah, seolah-olah berambisi menjadikan para pengawalnya terlihat sangar seperti film action kebanyakan.Marcedez Bens S-Class telah terpakir di bibir jalan. Sementara itu, di atas, Andini sama sekali belum membersihkan diri. Ia bimbang. Sebab belum setengah jam riasannya itu menempel dan menutupi wajah berminyaknya setelah bangun tidur tadi.“Mandi.. Tidak.. Mandi.. Tidak.. Mandi..” Andini menghitung kancing baju pada kemeja yang dikenakannya saat ini.“Arrrggggh!” Ia bangkit dari posisinya yang sedari tadi mengamati Liam. Kakinya melangkah menuju kamar mandi dengan langkah enggan.Andini mulai melucuti pakaiannya. Punggungnya nampak lurus, lingkar pinggangnya kecil bak model yang sering berjalan di catwalk s menampilkan design
Dialah Melisa Hartanto. Wanita yang memilih untuk menikah di usia yang masih muda, sembilan belas tahun. Setahun setelah pernikahannya dengan Adimas, mereka dikaruniai Andini Putri Hartanto, bayi mungil bermata segaris nan menggemaskan. Siapa saja yang melihat senyumnya, akan mengundang gelak tawa. Bayi mungil itu memberi kebahagiaan penuh pada Melisa dan Adimas. Kebahagiaan keluarga mereka seolah tak membutuhkan apa-apa lagi. Hadirnya Andini, seolah menurunkan surga ke bumi. Karena itu, mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi. Tangan Andini mengusap nisan sang Ibu. Tubuhnya bergetar, mata teduhnya menuduk menatap makam. Pikirannya sedang merangkai kata untuk memberikan salam kepada sang ibu setelah delapan tahun menghilang. “Bisa tinggalkan saya sendiri?” pinta Andini. Sungai di matanya hampir meluap. Ia malu jika Liam melihatnya menangis. Kesan kuat yang ditampikannya saat di bandara, tak boleh luntur hari ini. Tanpa jawaban,
Rubicon hitam yang sempat membawa Adimas, telah tiba di gerbang utama. Dua penjaga yang berada di balik gerbang itu memberikan jalan kepada mereka.“Di mana 3 mobil lainnya?” tanya salah satu penjaga gerbang.“Masih di jalan. Di dalam mobil ini,” pengawal yang duduk di kursi penumpang, mengarahkan jempolnya ke belakang mobil, “ada stok makanan untuk Lintang.”“Apakah ada yang terluka?” si penjaga gerbang mengetahui maksud dari ucapan pengawal itu.“Tenang saja. Kami semua selamat.”“Syukurlah.”Setelah percakapan singkat itu usai, dua pengawal tersebut melanjutkan perjalanan. Setelah melaju sepanjang seratus meter, terdapat pertigaan. Jalan di sebelah kiri adalah rute menuju rumah Adimas yang ditinggali Andini sekarang, Rubicon itu berbelok ke kanan, melaju dua ratus meter dan menjumpai gerbang kedua yang lebih kecil ukurannya.Gerbang kedua itu dijaga oleh dua pe
Dengan perasaan khawatir terhadap kondisi Andini, Liam sebisa mungkin menyalip kendaraan yang menghalangi kecepatan mobilnya. Matanya terus awas dan memandang ke depan. Mobil Marcedez yang dikemudikannya berada di kecepatan 100km/jam.Sambil menyetir, matanya bergantian memandang ke depan, lalu ke arah Andini yang masih terbaring. Kedua tangannya terkulai di kedua sisi.Pemilik mata teduh itu tergolek lemas dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, namun bibirnya sudah mulai berwarna kemerahan.“Anda yakin tidak ingin ke rumah sakit?” tanya Liam.Andini menatap rahang Liam yang nampak tegas jika dilihat dari samping. Meski badannya kurus, ketegasan itu tetap terlihat.“Tidak perlu. Aku sudah baikan.”Dari kursinya, tangan kiri Liam bergerak dan mengatur posisi kursi Andini. Sandaran jok yang menyangga punggung Andini dilandaikan lagi ke bawah, Ia juga mengatur penyangga kaki agar kemiringannya kurang dari empat puluh lima
“Bagaimana kabar kamu?” tanya Samuel. Wajahnya tak bisa berbohong. Ia jelas bahagia bertemu dengan Andini. Hal serupa dirasakan juga oleh Andini. Kini mereka sedang berada di kamar Andini.Samuel tak menyangka bahwa Andini akan tumbuh menjadi gadis paling cantik yang pernah ditemuinya. Wajah itu seolah tak menua. Perbedaannya hanya terlihat pada riasan yang menunjukkan dirinya telah dewasa. Bibir Andini yang tipis, matanya yang almond, membuat Samuel makin menyukainya.“Baik. Kamu gimana? Sudah ada pacar? Atau masih mengejarku? Hahaha.”“Ah!” Samuel tersipu, wajahnya merona, pandangan matanya tak fokus dan berusaha mencari pengalihan. “Kuliah selesai?”Mendung di wajah Andini tiba-tiba mencuat. Pertanyaan Samuel sontak mengingatkannya dengan kejadian beberapa hari lalu. Lukman menghinanya karena tak mampu menyelesaikan pendidikan. Dan hinaan tersebut begitu menancap di hatinya yang paling dasar.Seben
Lewat makam malam, Adimas dan Lukman menuju pabrik dengan berjalan kaki. Suasana malam cukup hening. Suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan melatari perjalanan mereka. Lukman menyalakan senter yang dibawanya. Sementara Adimas, berjalan di belakang sambil menjinjing dua buah kotak makan sekali buang.Tak ada penerang tambahan. Hanya senter Lukman satu-satunya yang menerangi jalan di depan mereka. Sepanjang mata memandang, jalan setapak itu sangat gelap. Sesekali, tangan Adimas menepis gulma yang menyentuh tubuhnya. Hal itu juga dilakukan oleh Lukman.Baik Lukman maupun Adimas, keduanya bisa mendengar suara langkah mereka sendiri. Jalan setapak ini adalah akses cepat untuk tiba di pabrik, kedua sisinya berderet gulma setinggi tubuh manusia.Sesekali kaki mereka menginjak kerikil atau ranting pohon yang telah kering. Suara ranting yang patah atau kerikil yang diinjak, menghalau sunyi berkuasa untuk beberapa saat.“Bang, kenapa kita tidak memakai m
Samuel memutuskan untuk menerima niat baik Adimas. Ia memilih tinggal bersama mereka. Dengan berada di rumah yang sama, ia berharap kalau rasa sayang sebagai sahabat yang dirasakan Andini perlahan akan berubah menjadi cinta terhadap lawan jenis.Pilihan Samuel disambut dengan baik oleh Andini. Ia merasa mempunyai teman yang bisa menemaninya kapan pun, dan bisa menghilangkan rasa kesepian yang kerapkali hampir menelannya.Pagi-pagi sekali, sebelum matahari muncul dari Timur, Samuel keluar dari kamarnya yang berada di lantai dasar, lalu meniti anak tangga untuk membangunkan Andini. Raut bangun tidur dengan mata bengkak tak ada di wajah Samuel, ia justru senang karena sebelum dan sesudah terjaga, tak perlu waktu lama untuk menemui pujaan hatinya.Samuel mengetuk pintu kamar Andini. Ia menanti dengan sabar berharap sang pujaan hati mau berolahraga bersama.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya Andini beranjak dari kasurnya.“Ada apaaa?&r