Share

Between Revenge and Love
Between Revenge and Love
Penulis: Channa

KEPUTUSAN

Mobil CR-V hitam berhenti di depan gedung tiga lantai berwarna putih keabuan. Tak lama kemudian, seorang pria berusia empat puluh turun dari mobil tersebut. Ia mengenakan kacamata hitam dan berjalan memasuki gedung di hadapannya.

Kakinya melangkah tegas. Sepatu pantofelnya berketak-ketuk membentuk sebuah irama. Di arah jam dua belas, terlihat terdapat tangga yang akan membawanya menuju lantai dua.

Ia menaiki anak tangga itu. Setibanya di atas, matanya menyisir deretan pintu kamar yang terlihat dari muka koridor, tempatnya berpijak saat ini. Pandangannya tertuju pada kamar yang terdapat di sisi kanan urutan ke tiga.

Sejurus kemudian, ia menghampiri kamar itu dan mengetuk pintunya beberapa kali.

“Andy, bisa kita bicara?” kata pria itu. Telinganya menyimak, berusaha mendengar suara dari dalam namun ia tak mendengar ada suara yang menyahut di sana.

Di dalam, penghuni kamar kos itu tentu jelas mendengar. Dia memang tak berniat membuka pintu. Jika bertahan sebentar lagi, pria itu pasti akan pergi.

Pria itu mengetuk lagi. Ia yakin kalau ada orang yang mendengarnya di dalam.

“Saya tahu kamu ada di dalam.”

Di kamarnya, penghuni itu tak bergerak. Tetap pada posisinya, meringkuk di samping nakas tempat tidur. Sampah berserakan di lantai. Lampu ruangan sengaja di padamkan. Tirai menutup rapat jendela. Setitik cahaya tak diizinkannya masuk.

Penghuni itu sedang tidak melihat apa-apa. Ruangannya gelap, hitam, dan pekat. Terpejam atau terjaga, warna yang diterima pupil matanya tetap sama.

Kepedihan menjegalnya untuk bahagia. Tidak ada ruang baginya, seluruh ruang di hatinya telah diisi kehilangan.

“Andy, perlukah saya mendobraknya?” Pak Leo menghela napas. Lima belas menit sudah ia berada di depan kamar kos Andy. Ia hilang kesabaran.

Pak Leo menyandarkan punggungnya di pintu kamar itu. Matanya memandang ke atas sambil menghela napas beberapa kali. Ia kehabisan akal.

Ia mengetuk-ngetuk paha kanannya dengan telunjuk sambil berpikir keras. Kalimat apalagi yang harus dikatakan? Atau memang ia harus menjebol pintu yang menjadi sandarannya saat ini?

Seorang lelaki berusia awal dua puluhan melintas di selasar dan berpapasan dengan Pak Leo yang masih berdiri tegak di depan pintu kamar Andy. Lelaki itu mengamati. Menatap Pak Leo penuh arti.

“Saya belum melihat  Andy keluar selama tiga hari.” Pria itu menjelaskan. Dari mimik wajah Pak Leo, jelas pria itu melihat kegelisahan.

Pikiran yang aneh mulai timbul di benak Pak Leo. Apa mungkin Andy sudah tiada dan melakukan aksi bunuh diri?

Pak Leo akhirnya memegang gagang pintu. Ia mendorong gagang itu ke atas dan ke bawah sambil mengguncang-guncang pintu berwarna abu itu. “Andy, kalau kamu tidak keluar juga, saya akan jebol pintu ini!”

Pria berusia empat puluh itu mulai mengumpulkan tenaga, menggenggam gagang pintu, menyodorkan bahu kanannya dan siap untuk        mendobrak. Batinnya menghitung mundur. Tiga, dua, satu.

Tenaganya sudah siap untuk di salurkan.

Tiba-tiba, pintu itu terbuka.

Pak Leo terkejut. Suasana di dalam kamar sangat gelap. Penampakan Andy lebih lagi mengagetkan dirinya. Kantung matanya sangat tebal, sepasang mata itu terlihat sayu, rambut berantakan, dan wajah Andy seolah menua seperti tak bertemu beberapa tahun.

Pandangan mereka saling bertemu. Ada kikuk yang membuat Pak Leo bisu tiba-tiba. Ia tak menyangka, Andy berubah sangat drastis. Tubuhnya sangat kurus dan warna kulitnya pun terlihat pucat.

“Saya salah. Sebagai Kapten, saya gagal melindungi tim,” sesal Pak Leo. “Sebagai gantinya, saya punya rencana, kali ini saya jamin pasti akan berhasil.”

“Kapten, saya sudah––”

Belum selesai Andy berbicara, Pak Leo memotong. “Tolong. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan. Setelah itu, keputusan ada di tangan kamu dan saya tidak akan mengganggu kamu lagi.”

***

Pak Leo dan Andy sudah duduk berhadapan di Barry Cafe. Satu-satunya cafe yang dekat dengan tempat tinggal Andy. Di atas meja, sudah tersuguh dua gelas latte. Ia menatap mata anggotanya itu lekat-lekat.

“Saya minta maaf. Sebagai Kapten, saya gagal melindungi tim saya sendiri.” Pak Leo melontarkan permintaan maaf untuk kedua kalinya.

Andy terdiam. Ia menunduk, menatap permukaan yang dipijakinya.

“Dunia belum berakhir,” Pak Leo memberi semangat. “Kita bisa membalaskan dendam kematian Ando.”

Kepala Andy terangkat. Kini, gilirannya yang menatap Pak Leo lekat-lekat.

Pak Leo merogoh ponsel di saku, kemudian ibu jemari mengusap layar ponsel tersebut seolah mencari sesuatu yang penting untuk ditunjukkan kepada Andy.

Andy melihat sebentar foto perempuan remaja yang ditunjukkan Pak Leo lalu menatapnya dengan tanda tanya.

“Perempuan di foto itu namanya Andini. Anak tunggalnya Adimas.”

“Lantas?” Andy minta penjelasan lebih.

“Kita tangkap Adimas dengan memanfaatkan Andini.”

“Saya tidak tertarik dengan pembalasan yang melibatkan anak-anak, Kapten,” potong Andy kemudian.

“Itu adalah foto lama Andini. Sekarang usianya sudah 25 tahun. Saya tidak minta kamu untuk menyakitinya. Saya minta kamu untuk menjadi pengawalnya.”

Mata Andy terbelalak. Apa yang didengarnya barusan sontak membuat amarahnya meledak. Spontan ia menggebrak meja. Ia tak peduli lagi dengan sosok di depannya yang merupakan seniornya selama lima tahun terakhir.

“Maksud Kapten, saya harus melindungi anak dari orang yang membunuh Kakak saya, begitu?!” Sorot mata Andy menyala, seolah siap untuk menerkam siapa pun yang ada di depannya tanpa terkecuali.

 “Tolong dengarkan penjelasan saya dulu,” Pak Leo mencoba meredam amarah Andy yang berada di luar dugaannya. Ia silap kata. Harusnya ia bisa merangkai kalimat yang lebih layak untuk diutarakan.

“Saya minta kamu untuk memata-matai Adimas dengan menjadi pengawal bagi Andini. Dari informan, saya mendapat info kalau hubungan mereka tak baik. Kematian isteri Adimas membuat hubungan mereka renggang––nyaris seperti bukan ayah dan anak. Itulah kelemahan Adimas. Di balik kekuasaannya yang disegani di negara ini, semua manusia memang ditakdirkan punya kelemahan bukan?”

“Saya tidak bisa melakukannya, Kapten.”

“Andy, tolong dipertimbangkan baik-baik tawaran saya ini.”

“Berikan saja tugas ini kepada yang lain.”

“Kamu takut?”

Mendengar ucapan tersebut, emosi Andy semakin tak terkendali. Ia menggebrak meja sehingga dua gelas latte yang ada di hadapannya, nyaris tumpah semua.

“Ando sudah mati. Saat ini saya tidak takut pada apa pun! Kalau kedatangan Kapten ke sini hanya untuk membuat saya semakin emosi, lebih baik Kapten pergi!”

“Kalau kamu tidak takut, kenapa kamu tidak mau?” Pak Leo tidak kehabisan akal.

“Tidak ada gunanya berjuang dan memburu Adimas kalau ia bisa melenggang di pengadilan setelah ditangkap. Saya hanya ingin membunuhnya dengan tangan saya sendiri!” Kedua tangan Andy mengepal dengan kuat sampai-sampai urat di pergelangannya menonjol.

“Kamu bisa membunuhnya.”

“Kamu bisa membunuhnya di tempat.” Sekali lagi Pak Leo berusaha meneguhkan kalimatnya pada Andy. “Kamu bisa membunuhnya. Saya tidak akan menghalangi. Saya butuh kamu saat ini!”

Andy terdiam sejenak. Pikiran di kepalanya saling menolak juga setuju. Melibatkan anak dalam kejahatan orang tua tentu bukanlah hal yang benar. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, ia ingin membunuh Adimas dan melihatnya mati di tempat. Ia ingin melihat Adimas mati dengan kedua matanya.

“Saya tunggu jawaban kamu nanti malam. Saya akan mengorbankan apa pun untuk mewujudkan keinginan kamu, Andy. Kamu sudah saya anggap seperti anak sendiri.”

Pak Leo beranjak dari kursi dan meninggalkan Andy yang masih duduk mematung.

***

Selesai bertemu dengan Pak Leo, Andy kembali ke kamar kosnya dan masih membiarkan kamar itu gelap. Ponsel yang sejak semula berada di kasur tanpa sekali pun ia pegang selama tiga hari ini, ia raih tiba-tiba. Ada sedikit gamang yang tersirat di matanya.

 Sejurus ia membuka folder dan melihat fotonya yang sedang bersama Ando, kakak yang sangat ia sayangi melebihi dirinya sendiri.

Sungai itu perlahan mengalir, membasahi pipi, dan tumpah sejadi-jadinya. Pikirannya berubah. Ia tak peduli dengan pandangan salah dalam melibatkan anak terhadap kejahatan orang tua.

“Kapten, saya siap menjalankan tugas.”

Pesan itu terkirim. Andy menyalakan lampu kamar dan bersiap menyongsong dendam sebagai tujuan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status