Share

Chapter 3

Seminggu telah berlalu. Hari ini setelah pulang dari kantor, Haikal langsung pergi ke Bar untuk minum-minum. Pria itu merasa sangat frustrasi karena kekasihnya belum ada kabar sama sekali.

Waktu itu, begitu kekasihnya tahu jika Haikal dijodohkan dengan anak sahabat Ayahnya dan tak bisa menolak, kekasihnya sangat marah dan memutuskan pergi dari Haikal. Haikal sudah puas mencari dan selalu menghubunginya. Namun, kekasihnya itu bagai hilang ditelan bumi dan tak bisa ditemukan. Dirinya putus asa dan sangat frustrasi.

Untuk mengurangi rasa frustrasinya, maka ia memilih pergi ke Bar dan minum-minum. Dan di sinilah ia sekarang. Di sebuah Bar ternama di kota ini. Sudah dua botol minuman keras yang diminumnya. Dan dirinya pun sudah mabuk berat. Bartender sudah menegurnya dan menyuruhnya pulang. Namun, karena ia sudah tak bisa berjalan dengan baik, maka pihak Bar menyuruh bodyguard mencarikan taksi untuk Haikal agar mengantarkannya pulang.

Ting Tong! Ting Tong!

Bel pintu ditekannya berulang-ulang. Namun pintu masih belum terbuka. Kesal karena pintu tak kunjung dibuka, Haikal pun menggedor-gedor pintu apartemen. Tak lama kemudian pintu dibuka oleh Riri dan terkejut melihat Haikal yang pulang dalam keadaan mabuk berat.

"Ya ampun, Mas Haikal! Kenapa kamu begini? Kenapa kamu minum-minum? Apa yang terjadi sama kamu, Mas? Ayo, aku antarkan ke kamar," ucap Riri sambil memapah Haikal ke kamarnya.

"Clara ..., kamu di mana, Clara ...?! Aku cinta sama kamu. Kenapa kamu ninggalin aku? Tolong jangan tinggalin aku, Clara. Aku sangat mencintaimu, Clara ...," racau Haikal.

"Clara??! Jadi kamu mabuk-mabukan gini gara-gara Clara?" tanya Riri prihatin dengan keadaan Haikal saat ini. Dengan susah payah Riri memapah Haikal, yang terus meracau memanggil nama Clara, ke kamarnya.

"Kamu istirahat, ya? Aku pergi dulu," ucap Riri setelah membawa Haikal ke kamar dan merebahkannya di kasur.

Riri hendak meninggalkan Haikal yang telah direbahkan di kasur. Namun tertahan oleh cekalan tangan Haikal.

"Kamu mau ke mana, Clara? Jangan tinggalin aku lagi. Tetaplah di sisiku," ucap Haikal tanpa melepaskan cekalan tangannya.

"Mas Haikal?! Kamu apa-apaan, Mas? Aku bukan Clara, aku Riri. Tolong lepasin tanganku,  Mas. Kamu lagi mabuk sekarang. Tolong biarin aku pergi," mohon Riri seraya mencoba melepaskan tangannya dari cekalan Haikal. Ia mulai merasa takut melihat Haikal sekarang.

Bukannya melepaskan tangan Riri, Haikal justru menarik Riri dengan kuat. Hingga tubuh Riri jatuh di atas tubuh Haikal. Riri mencoba bangkit, namun Haikal tidak membiarkannya. Haikal langsung memeluk Riri dengan erat.

"Jangan tinggalin aku, Clara. Aku mencintaimu dan aku sangat merindukanmu. Tolong jangan tinggalin aku lagi. Aku mohon, Clara," racau Haikal lagi.

"Mas Haikal! Tolong sadar!! Ini aku, Riri! Aku bukan Clara. Tolong sadar, Mas. Lepasin aku ...," ucap Riri mulai menangis namun tetap mencoba melepaskan diri.

Sekali lagi, bukannya melepaskan Riri, Haikal justru membalikkan tubuhnya sehingga kini posisinya berada di atas tubuh Riri. Riri makin terisak karena sangat ketakutan.

"Mas Haikal .... Aku mohon sama kamu, tolong lepasin aku. Biarin aku pergi. Kamu harus sadar, Mas. Aku bukan Clara, sadarlah," Riri masih mencoba memohon.

"Ssstt ...!! Kenapa kamu nangis, Clara? Aku nggak akan nyakitin kamu. Aku sangat mencintaimu," ucap Haikal sambil menghapus air mata Riri.

"Tapi aku ... mmpphh ...." Haikal langsung mencium bibir Riri dan melumatnya dengan penuh nafsu. Tangannya pun mulai menggerayangi tubuh Riri dan meremasnya yang membuat Riri memekik.

Riri tidak tinggal diam. Ia memukul dan menjambak rambut Haikal agar Haikal melepaskannya. Namun, usahanya sia-sia. Haikal bagaikan tak merasakan pukulannya. Bahkan Haikal semakin bernafsu.

Haikal mulai melucuti pakaian Riri dan pakaiannya sendiri. Setelah itu dia kembali melumat bibir Riri. Lalu turun ke leher dan kemudian ke payudara Riri. Melumatnya dan meninggalkan kissmark di sana.

"Mas Haikal .... Tolong lepasin aku. Jangan begini, Mas ...." Riri terus mencoba membujuk Haikal dan memberontak.

Permohonan Riri tetap tak digubris oleh Haikal. Kemudian pria itu mulai menyatukan miliknya ke dalam milik Riri. Riri merasakan sakit saat milik Haikal mencoba memasuki miliknya. Ia mencoba mendorong tubuh Haikal, namun Haikal malah menangkap tangan Riri, merentangkan tangan Riri ke sisi kanan dan kiri dan menahannya.

Riri sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, yang bisa dilakukannya saat ini adalah menangis.

"Aaaaaaarrrggghhhh ...!!!" jerit Riri saat Haikal memasukkan miliknya lebih dalam dan ia merasakan ada sesuatu yang robek pada miliknya lalu ia tak sadarkan diri. Sedangkan Haikal merasa lega karena ia berhasil menyatukan miliknya dengan milik Riri yang ia pikir adalah Clara, kekasihnya.

Setelah menuntaskan nafsunya, ia langsung roboh di atas tubuh Riri.

******

Seminggu semenjak peristiwa malam itu, malam dimana Haikal pulang dalam keadaan mabuk. Mereka berkunjung ke rumah orang tua Haikal atas permintaan dari Mawarni. Mereka makan malam bersama. Selama makan malam tidak ada yang angkat bicara hingga mereka selesai makan.

"Kamu dan Haikal baik-baik aja 'kan, Ri?! Nggak ada masalah, 'kan?!" tanya Mawarni saat membereskan meja makan.

"Kami baik-baik aja kok, Ma. Nggak ada masalah sama sekali," ucap Riri lembut.

"Beneran kalian baik-baik aja? Tapi Mama rasa kok ada yang janggal, ya?" selidik Mawarni lagi.

"Hah?! Kok Mama bisa kepikiran kayak gitu, Ma?" Riri mulai gugup. "Mungkin karena kami masih belum terbiasa sama keadaan yang baru kami jalani aja, Ma. Nanti juga bakal biasa-biasa aja kalau kami udah terbiasa," lanjutnya meyakinkan mama mertuanya.

Setelah selesai membersihkan meja makan dan mencuci piring, Riri dan Mawarni bergabung dengan Tommy dan Haikal di ruang keluarga.

"Oh ya, Riri, Haikal, kalian nggak akan menunda-nunda untuk ngasih kami cucu, 'kan?!" tanya Tommy to the point.

"Bener, tuh! Kalian nggak bakal nunda, 'kan?!" Mawarni menimpali ucapan Tommy.

"C-cucu?" tanya Riri dengan terbata. Tommy dan Mawarni mengangguk menjawab pertanyaan Riri. Riri menelan ludahnya. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering ketika mendengar pertanyaan kedua mertuanya itu. "Kayaknya Riri nggak mungkin bisa ngasih Mama sama Papa cucu dalam waktu dekat, deh. 'Kan Riri masih kuliah, rasanya sayang kalau harus berhenti di tengah jalan." ucap Riri meminta pengertian.

"Bener itu, Pa, Ma. Jangan terlalu terburu-buru gitu, dong. Nanti juga ada saatnya kita ngasih Mama dan Papa cucu," Haikal menimpali. Riri bersyukur Haikal membantunya. Namun di dalam hati, wanita itu merasa heran dan aneh.

Tumben nih orang ngebela aku? pikirnya.

"Iya, Papa tau Riri masih kuliah. Tapi rasanya Papa udah nggak sabar untuk punya cucu," ucap Tommy dan diangguki oleh Mawarni.

"Sabar aja ya, Ma, Pa? Ntar juga bakalan Riri turutin keinginan Papa sama Mama untuk punya cucu," ucap Riri. Meskipun ia tidak yakin, kapan dirinya dapat mewujudkan keinginan mertuanya itu.

"Yahh, mau gimana lagi?" Mawarni mengedikkan bahunya pasrah. Riri tersenyum senang karena mertuanya mengerti akan dirinya dan tidak terus mendesaknya.

Mereka pun menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang hingga tak terasa waktu telah beranjak larut malam. Riri dan Haikal memutuskan kembali ke apartemen.

Sesampainya di apartemen, Haikal memutuskan untuk masuk ke ruang kerjanya. Sedangkan Riri masuk ke kamar, mengganti pakaiannya dan tidur. Namun sebenarnya dia belum bisa tidur, ia sedang menahan rasa sakit di kepalanya yang akhir-akhir ini kerap kali tiba-tiba menyerangnya. Karena rasa sakit itu sudah tidak bisa lagi ditahannya, ia memutuskan untuk mencari obat sakit kepala di dapur. Riri berjalan sempoyongan seraya memegangi kepalanya yang sakit teramat sangat.

Ia meraih kotak obat yang berada di atas lemari es, membuka kotak itu dan mengambil obat sakit kepala. Kemudian ia mengambil segelas air dan berusaha meminum obatnya. Tapi belum sempat ia meminum obatnya, pandangannya sudah mengabur. Gelas ditangannya terlepas dan ia pun tak sadarkan diri.

Haikal yang mendengar suara kegaduhan di dapur, segera menuju ke arah suara dan mendapati Riri yang pingsan di dapur serta di beberapa bagian tubuhnya berdarah akibat terkena pecahan kaca.

"Ri, Riri? Hei! Bangun! Ada apa sama kamu? Hei, Riri! Bangun!" Haikal mencoba membangunkan Riri sambil menepuk-nepuk pipinya. "Ish, nyusahin aja nih orang!" gerutu Haikal, namun tak urung ia mengangkat dan menggendongnya ke kamar serta membaringkannya di kasur.

Ia melihat luka di tubuh Riri yang mengeluarkan darah. Ia kembali ke dapur dan mengambil kotak P3K. Tak sengaja ia melihat obat yang hendak diminum oleh Riri tadi dan langsung mengernyit heran.

"Dia sering banget minum obat ini? Apa sakitnya parah banget sampai-sampai dia pingsan gitu? Kalau gue ingat-ingat, waktu tunangan dulu dia juga pingsan. Apa karena sakit ini juga? Obat apa sih ini? Obat sakit kepala?! Separah itukah?" Haikal bertanya-tanya sendiri. Karena merasa tak menemukan jawabannya, ia kembali ke niat awalnya yang ingin mengobati luka Riri.

Setelah selesai mengobati luka-luka di tubuh Riri, ia kembali ke ruang kerjanya dan berkutat di sana hingga menjelang pagi yang membuatnya kelelahan dan akhirnya tertidur di sofa ruang kerjanya.

******

Sinar mentari pagi membangunkan Riri dari lelapnya. Ia sedikit heran karena terbangun di atas kasur.

Kenapa aku bisa tidur di sini? Seingatku, aku tadi malem mau minum obat sakit kepala di dapur. Tapi, kenapa sekarang aku ada di sini? Apa aku pingsan lagi? Oh, ya ampun!! Kenapa ini harus terjadi lagi, sih?? Kenapa aku bikin dia repot lagi? batin Riri bertanya-tanya dan juga merasa tak enak karena terus saja merepotkan Haikal.

"Udah bangun? ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status