Share

Chapter 4

Dua bulan sudah Riri dan Haikal menikah. Keadaan tetap sama. Tidak ada yang berubah dengan hubungan antara Riri dan Haikal. Mereka masih belum banyak bicara setelah pembicaraan mereka terakhir kali. Mereka hanya bicara jika diperlukan.

"Ri, gimana hubungan kamu sama suamimu?" tanya sahabat Riri yang bernama Dewi Agustina.

"Iya, Ri. Udah ada kemajuan belum?" tanya sahabat Riri yang lain, Rani Widiastuti.

"Masih sama, Dew, Ran. Aku udah nggak tau mau ngapain lagi biar bisa bikin dia bersikap biasa aja ke aku," ucap Riri lesu.

Bahkan aku rela ngelupain kejadian malem itu supaya hubungan kami nggak canggung terus. Tapi, kayaknya emang sama sekali nggak ada harapan sama hubungan kami, sambung Riri di dalam hati.

"Kamu yang sabar aja, ya? Mudah-mudahan sikap suami kamu bisa berubah jadi lebih baik ke kamu nantinya," harap Dewi.

"Ya ..., semoga aja," Riri berkata lirih.

"Ri, kamu sehat, 'kan?" tanya Dewi memperhatikan wajah Riri yang tampak pucat.

"Aku sehat, kok. Cuma emang sedikit lemes aja karena beberapa minggu belakangan ini aku nggak nafsu makan. Kalau dipaksa untuk makan, pasti aku mual dan muntah," jawab Riri.

"Terus, kamu nggak laper apa kalau kamu nggak nafsu makan? Kamu ganjel apa perut kamu?" tanya Rani.

"Ya, laper. Tapi biar kenyang aku minum jus atau apa pun yang bikin aku nggak mual. Kadang kalau aku kepingin atau selera sama sesuatu, pasti langsung aku buat atau cari," jawab Riri. "Tapi, yang paling parah beberapa hari belakangan ini. Aku sama sekali nggak bisa makan apa pun. Aku sampe bingung. Yang bisa masuk perutku cuma air hangat aja," lanjutnya dengan lesu.

"Ya, ampun .... Tapi, muka kamu emang pucet banget. Kamu pasti sakit. Mending kamu pulang aja. Ntar kita yang permisiin sama dosen kamu," Dewi menyarankan.

"Bener, Ri. Lebih baik kamu pulang aja," Rani membenarkan saran Dewi.

"Nggak, kok. Aku yakin aku nggak apa-apa. Mungkin cuma masuk angin," jawab Riri, menolak saran dari para sahabatnya.

"Masuk angin apaan yang sampe berminggu-minggu gitu? Udah, deh. Kamu nggak usah ngeyel! Mending kamu pulang trus istirahat!" Dewi bersikeras menyuruh Riri untuk pulang yang disetujui oleh Rani. Namun, Riri juga kekeuh pada pendiriannya.

"Udah aku bilang, aku baik-baik aja. Kalian jangan lebay gitu, deh!"

Mendengar jawaban Riri, kedua sahabatnya itu hanya mampu menghela napas saja. Sejauh mereka mengenal Riri, terkadang perempuan itu memang cukup keras kepala.

Saat ini Riri dan kedua sahabatnya sedang berjalan di halaman kampus menuju kelasnya. Riri memang merasa tubuhnya kurang sehat. Kepalanya pusing dan tubuhnya juga lemas. Sudah beberapa minggu terakhir ia tidak berselera makan. Ia akan merasa mual dan muntah ketika makan. Dan yang terparah adalah beberapa hari belakangan ini. Belum ada sesuatu makanan pun yang masuk ke perutnya selain dari air putih hangat. Namun, perempuan itu tidak pernah mau memeriksakan dirinya ke dokter. Ia hanya menganggap itu hanya gejala masuk angin biasa.

Karena sudah beberapa hari ia kurang asupan makanan, akhirnya ia tidak sanggup lagi untuk tetap berjalan. Pandangan matanya menggelap dan kesadarannya menghilang. Meskipun ia bersikeras bahwa dirinya merasa sehat dan bersikap kuat, pada akhirnya tubuhnya ambruk juga.

******

Sementara itu, hari ini Haikal berangkat ke kantor lebih pagi karena hari ini ia akan ada meeting setelah makan siang.

"Selamat pagi, Pak," sapa seorang security kantornya.

"Pagi," balas laki-laki itu sambil melangkah masuk ke dalam kantor dan langsung menuju ruangan kerjanya.

Saat di depan meja sekretarisnya, Haikal melihat sekretarisnya itu sudah memulai aktifitasnya. Haikal memang mengakui jika sekretarisnya yang paling profesional di antara pegawainya yang lain. Di saat para karyawannya yang lain kemungkinan masih berada di rumah atau dalam perjalanan ke kantor, sekretarisnya itu sudah memulai pekerjaannya.

"Selamat pagi, Pak. Hari ini Bapak ada meeting dengan perusahaan Pak Edward setelah makan siang," sekretaris Haikal yang bernama Ratna itu membacakan jadwal untuk Haikal pada hari ini setelah menyapanya.

"Kamu sudah siapkan dokumen yang diperlukan?" tanya Haikal.

"Sudah, Pak," jawab Ratna.

"Bagus. Saya masuk dulu," ucap Haikal sambil memasuki ruang kerjanya tanpa menunggu sekretarisnya itu menjawab ucapannya.

Setelah masuk ke dalam dan duduk di kursi kerjanya, Haikal pun mulai sibuk dengan pekerjaannya. Tidak terasa, sudah 3 jam ia berkutat dengan laptopnya. Lalu ia mendengar ponselnya berbunyi. Nomor tidak dikenal terpampang di layar ponselnya. Segera digesernya layar ponselnya ke icon gagang telepon berwarna hijau.

"Halo? Siapa ini?" tanya Haikal to the point.

"Halo, ini Rani temannya Riri. Tolong ke sini sekarang. Riri pingsan," ucap temannya Riri yang baru Haikal ketahui bernama Rani itu.

"Di mana dia sekarang?" tanya Haikal lagi.

"Dia kami bawa ke ruang kesehatan kampus," ucap Rani lagi.

"Oke. Saya ke sana sekarang. Tolong jaga dia sampai saya datang," ucap Haikal berpesan pada Rani dan menutup sambungan telepon.

"Ratna, tolong batalkan meeting siang ini. Saya ada urusan mendadak. Dan atur ulang jadwal meeting kita dengan perusahaan Pak Edward," pesannya.

"Baik, Pak," balas Ratna patuh.

Setelah berkata begitu kepada Ratna, Haikal segera meluncur ke kampus Riri. Ia yang heran dengan Riri, bertanya-tanya sendiri. "Ada apa lagi sama anak itu? Kenapa harus nyusahin gue mulu, sih? Katanya dia nggak mau nyusahin gue lagi. Tapi kenapa sekarang masih nyusahin juga?" gerutunya.

Tidak sampai lima belas menit, Haikal sudah sampai di kampus Riri. Ternyata di sana sudah ada ibu mertuanya, Nisa'.

"Bunda? Bunda ada di sini?" tanya Haikal setelah menyalami dan mencium punggung tangan ibu mertuanya.

"Iya. Bunda tadi ditelepon sama temannya Riri, katanya Riri pingsan. Nak Haikal juga?" jawab Nisa' lalu balas bertanya pada Haikal.

"Iya, Bunda. Tadi Haikal juga ditelepon sama temannya Riri. Ayo, Bun. Kita langsung ke ruang kesehatan aja. Pasti mereka nunggu di sana," jawab Haikal dan mengajak Nisa' ke ruang kesehatan.

Sesampainya kedua orang itu di ruang kesehatan, tampak sekali raut cemas di wajah Nisa' ketika melihat anaknya yang tak sadarkan diri.

"Riri ..., Sayang. Kamu kenapa, Nak? Jangan buat Bunda khawatir gini dong, Sayang," ucap Nisa' dengan wajah cemas.

"Haikal, kita bawa Riri ke rumah sakit aja, Nak. Bunda cemas banget sama keadaannya Riri. Mukanya pucet banget. Cepet, Nak," Nisa' berkata cemas saat meminta Haikal untuk membawa Riri ke rumah sakit.

"I-iya, Bunda. Kita ke rumah sakit sekarang," ucap Haikal seraya menggendong Riri.

Haikal mengggendong Riri yang tidak sadarkan diri menuju mobilnya. Saat dalam gendongannya, Haikal merasa tubuh Riri jauh lebih ringan daripada yang terakhir kali ia ingat saat menggendongnya. Tidak sengaja laki-laki itu melihat wajah istrinya yang sangat pucat. Semakin dipercepatnya langkahnya. Entah mengapa ada perasaan takut sesuatu yang buruk terjadi pada Riri tanpa disadarinya. Dirinya sendiri bahkan tidak mengerti, kenapa dirinya bisa merasakan hal tersebut.

Sampai di parkiran, Nisa' segera membuka pintu mobil Haikal dan langsung duduk di kursi belakang. Haikal membaringkan tubuh Riri dipangkuan bundanya. Lantas ia pun segera mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit.

*******

"Dokter! Tolong periksa anak saya, Dok," Nisa' meminta dokter untuk segera memeriksa Riri begitu mereka tiba di sumah sakit.

"Ibu tolong tunggu saja di sini. Saya akan memeriksa putri Ibu," ucap sang dokter yang lalu mulai memeriksa Riri.

Beberapa saat kemudian dokter sudah keluar dari ruang pemeriksaan dan langsung menghampiri Nisa' dan Haikal lalu mengajak mereka ke ruangannya.

"Putri saya sakit apa, Dokter?" tanya Nisa' cemas setelah dipersilakan duduk oleh dokter.

"Putri Ibu tidak apa-apa, Bu. Ini hal yang wajar pada masa-masa awal kehamilan," jawab sang dokter dengan senyum yang tersungging di bibirnya.

Tentu saja Haikal sangat terkejut mendengar perkataan dokter itu. Riri hamil? Tapi, gimana bisa? Siapa yang udah ngehamilin dia? Aku 'kan nggak pernah nyentuh dia. Anak siapa yang ada dalam kandungannya itu?, batinnya bertanya-tanya.

"Kehamilan? Putri saya hamil, Dok?" tanya Nisa' tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya namun juga tersirat rasa senang di hatinya.

"Benar, Bu. Putri Ibu hamil. Dan usia kandungannya sekitar 6 minggu. Selamat atas kehamilan putrinya, Bu," ucap sang dokter meyakinkan.

"Terus, kenapa dia bisa sampai pingsan seperti itu, Dokter? Apa tidak berbahaya?" kali ini Haikal yang bertanya.

"Oh, Mas ini suaminya, ya?" tanya sang dokter yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Haikal. "Tenang saja, Mas, itu tidak berbahaya. Itu terjadi karena tubuhnya kekurangan nutrisi. Sepertinya istri Anda tidak makan dengan benar dalam beberapa hari terakhir. Akibatnya tubuhnya menjadi lemah. Setelah ini, tolong perhatikan asupan makanan dan nutrisinya. Kalau istri Anda terus menerus tidak mau makan, itu akan membahayakan janin yang dikandungnya," pesan sang dokter.

"Baik, Dok. Kami akan memperhatikan asupan makanan dan nutrisinya. Kalau begitu kami permisi dulu, Dok. Terima kasih banyak," ucap Nisa' lalu pamit keluar dari ruangan dokter yang tadi memeriksa Riri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status