Malam ini adalah malam pertunangan antara Riri dan Haikal. Para tamu undangan sudah ramai yang berdatangan di kediaman keluarga Perdana. Ya. Acara pertunangan diadakan di kediaman keluarga Perdana. Untuk acara pernikahan, nantinya akan diadakan di aula gedung pernikahan keluarga Perdana.
"Sayang, turun, yuk! Udah ditungguin di bawah," ajak Nisa' yang dibalas hanya dengan anggukan kepala oleh Riri.
Setelah sampai di anak tangga paling dasar, Riri menundukkan kepalanya karena merasa risih melihat para tamu undangan yang memusatkan perhatian mereka hanya padanya. Namun sebenarnya, bukan hanya risih saja yang ia rasakan. Ia juga merasakan sakit di kepalanya datang lagi.
Ia menunduk sambil meringis menahan rasa sakit di kepalanya. Sang bunda yang melihat anaknya itu menundukkan kepala, langsung menegakkan kembali kepala anak gadisnya itu.
"Jangan nunduk gitu dong, Sayang. 'Kan mereka dateng ke sini karena mereka mau tau siapa calon menantu dari keluarga Perdana. Tegakkan kepala kamu, dan tersenyumlah yang manis," ucap Nisa'. Dan langsung dituruti oleh Riri. Menegakkan kepalanya dan tersenyum manis.
Waktu terus berlalu, acara pertukaran cincin pun telah dilakukan. Namun pasangan yang baru saja bertunangan itu hanya saling diam. Riri merasakan sakit di kepalanya semakin bertambah. Akhirnya tubuhnya limbung dan pandangannya menjadi gelap.
Hampir saja tubuhnya luruh ke lantai andai saja tidak cepat ditangkap oleh Haikal. Semua orang terkejut melihat Riri yang tiba-tiba pingsan. Haikal langsung menggendong dan membawa Riri ke kamarnya.
Bunda, ayah dan adiknya terlihat sangat panik dan khawatir melihat Riri yang tidak sadarkan diri. Papa dan mama Haikal pun terlihat khawatir. Sekitar lima belas menit kemudian, Riri mulai siuman.
"Riri sayang, kamu nggak apa-apa, Nak? Apa kamu sakit? Apa yang sakit? Kenapa kamu bisa sampai pingsan gitu? Kalau kamu sakit, kenapa kamu nggak bilang ke Bunda tadi?" cecar Nisa' saat Riri siuman yang hanya ditanggapi dengan senyuman yang sedikit dipaksakan oleh Riri.
"Bunda ini apa-apaan, sih? Riri baru aja sadar, udah dikasih pertanyaan segitu banyak. Dia jadi pusing tuh, harus jawab yang mana dulu," interupsi Malik.
"Ish, Ayah. Namanya juga Bunda khawatir, ya wajarlah," jelas Nisa' membela diri.
"Udah, Ayah, Bunda, kenapa malah ribut sendiri? Emang nggak kasian sama Kak Riri?" lerai Akhdan. "Apa yang sakit, Kak?" tanyanya kemudian pada Riri.
"Kepala Kakak sakit banget, Dan," jawab Riri lemah.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu lagi sakit, Sayang?" tanya Mawarni, terlihat cemas.
"Sakitnya tiba-tiba aja terasa, Tante. Jadi Riri nggak sempat bilang," jawab Riri seraya tersenyum lemah.
"Jangan panggil Tante lagi, dong. Kamu 'kan udah tunangan sama Haikal. Itu artinya, kamu bakalan jadi menantu di rumah ini. Jadi, mulai sekarang, panggil Tante dan Om, Mama dan Papa. Oke?" pinta Mawarni lembut.
"Iya, M-Ma," jawab Riri kikuk karena belum terbiasa.
"Sekarang masih sakit?" tanya Nisa'.
"Udah nggak terlalu, Bun. Udah nggak kayak tadi. Bunda nggak usah khawatir lagi," jawab Riri menenangkan Nisa'.
"Ya udah, kamu istirahat aja dulu di sini. Kami mau nemuin tamu undangan dulu. Nggak enak kalau mereka ditinggal gitu aja," ucap Tommy.
"Iya, Om, eh, Pa," jawab Riri.
"Kakak mau aku temenin?" tanya Akhdan.
"Nggak usah, Dan. Kamu ikut Ayah sama Bunda aja. Kakak nggak apa-apa, kok," ucap Riri.
"Kalau gitu aku keluar ya, Kak?" pamit Akhdan yang dibalas dengan anggukan kepala Riri.
"Kamu di sini aja, Haikal. Temenin Riri," cegah Tommy saat melihat Haikal hendak ikut keluar kamar. Haikal menuruti perintah Papanya agar tinggal dan menemani Riri.
"Mas nggak harus tinggal di sini untuk nemenin aku kalau nggak mau, Mas. Mas bisa ninggalin aku kalau Mas ngerasa bosen harus nemenin aku, kok. Aku nggak masalah. Lagian aku udah ngerasa enakan sekarang," ucap Riri memberanikan diri untuk bicara setelah beberapa lama dalam keadaan saling diam.
Tanpa menjawab ucapan Riri, Haikal pun pergi meninggalkan Riri seorang diri di dalam kamar. Setelah kepergian Haikal, Riri mencoba untuk tidur. Tak lama kemudian, Riri sudah kembali masuk ke alam mimpi.
* * * * *
Dua hari setelah hari pertunangan, Haikal dan Mawarni menjemput Riri serta Nisa' untuk membeli gaun pengantin. Mereka mendatangi butik milik adik Nisa'.
"Eh, Mbak Nisa', Mbak Mawarni, Riri dan Haikal udah sampai, toh? Ayo, duduk dulu," sambut Yuliarni saat melihat kakak, calon besan, keponakan dan calon suami keponakannya tiba di butiknya. "Tunggu sebentar ya, biar aku ambil minum dulu," sambungnya seraya mengambil minuman.
"Nggak perlu repot-repot, Yul," ujar Nisa'.
"Nggak repot kok, Mbak. 'Kan Mbak nggak tiap hari dateng ke sini. Jadi sekali-kali nggak masalah kalau aku menjamu Mbak sebagai tamu, 'kan?" balas Yuliarni sambil menyuguhkan minuman dingin. "Oh iya, ini mau langsung liat gaun pengantinnya atau gimana?" tanyanya memastikan.
"Langsung liat aja deh, Tante. Soalnya Riri ada jadwal kuliah siang hari ini," jawab Riri.
"Oh, gitu, ya? Ayo, ikut Tante. Biar Tante tunjukkan gaun rancangan khusus yang Tante buat untuk kamu dan calon suamimu," ajak Yuliarni sambil menggiring Riri dan Haikal.
"Nah! Ini dia gaun pengantin rancangan Tante yang khusus Tante buat untuk kamu. Gimana? Kamu suka, 'kan?" Yuliarni menyerahkan gaun pengantin itu kepada Riri dan meminta pendapatnya.
"Bagus banget, Tante. Cantik banget! Riri suka banget. Ini Tante rancang khusus untuk Riri? Kapan Tante bikinnya? Kok bisa sempet, sih? 'Kan perjodohan Riri baru beberapa hari yang lalu?" Riri mencecar Yuliarni dengan banyak pertanyaan karena merasa heran gaun pengantinnya sudah dirancang khusus oleh Tantenya dan telah siap pula.
"Kamu nggak perlu tau. Yang penting sekarang kamu coba dulu gaun ini. Tante yakin kamu bakalan keliatan semakin cantik," ucap Yuliarni sambil menyerahkan gaun itu pada Riri yang langsung menerima dan mencoba mengenakannya. "Coba kamu pakai ini, Nak Haikal." sambungnya seraya menyerahkan jas yang warnanya senada dengan gaun yang sedang dicoba Riri. Haikal menerima jas itu dan mengenakannya.
"Waaahh!! Nak Haikal, kamu keliatan ganteng banget pakai jas itu!" puji Yuliarni yang dibalas dengan senyuman tipis oleh Haikal.
"Tante, tolongin Riri, dong! Susah banget, nih!" teriak Riri dari balik kamar ganti.
Yuliarni meninggalkan Haikal yang masih berdiri di depan cermin dan masuk ke dalam ruang ganti untuk membantu Riri mengenakan gaunnya. Saat Riri keluar dari kamar ganti, Haikal sempat terpana sesaat. Namun dengan cepat ia menetralkan dirinya kembali. Nisa' dan Mawarni juga terlihat terpana dengan penampilan Riri. Dia terlihat begitu cantik meskipun belum dirias.
"Kamu cantik banget, Ri. Bunda yakin, kalau muka kamu udah dirias, kamu pasti bakal keliatan lebih cantik," puji Nisa'.
"Ya 'kan Riri emang udah cantik dari sononya, Bun. Jadi pake gaun yang indah ini, makin tambah cantik, deh," Riri memuji dirinya sendiri.
"Ish, narsis banget kamu! Baru dipuji dikit aja langsung narsis nggak jelas," cibir Yuliarni.
"Tapi emang bener 'kan, Tante? Tante nggak usah ngelak, deh. Akui aja kalau ponakan Tante ini emang yang paling cantik," Riri masih tetap memuji diri sendiri yang membuat Yuliarni semakin mencibir. "Tapi, di rumah. Hehehe ...," sambungnya sambil cengengesan.
Candaan Riri membuat semua ikut tertawa. Ya, terkecuali Haikal. Pria itu hanya memperhatikan mereka yang asyik mengobrol dan tertawa.
"Tapi, yang Bunda kamu bilang tadi itu bener banget, Ri. Mama juga yakin itu," Mawarni ikut memuji penampilan calon menantunya. Riri hanya tersenyum malu dengan pipi yang merona menanggapi pujian dari calon mertuanya itu.
"Udah 'kan, Bun, Ma?! Riri bisa ganti sekarang, 'kan?! Riri udah hampir telat, nih!" Riri memohon untuk mengganti kembali pakaiannya setelah melihat jam tangannya.
"Iya, kamu bisa ganti sekarang," jawab Nisa' yang membuat Riri langsung bergegas mengganti gaun pengantin itu.
"Bunda, Mama, Tante Yul, Riri berangkat ke kampus dulu, ya? Assalamualaikum!" pamit Riri dengan terburu-buru setelah mengganti kembali pakaiannya.
"Diantar sama Haikal aja, Ri. Haikal, tolong kamu antar Riri ke kampusnya, ya," perintah Mawarni kepada Haikal.
"Nggak usah, Ma. Riri bisa naik angkot atau taksi aja," tolak Riri. Ia merasa tak enak pada Haikal.
"Nggak apa-apa, Riri sayang. Mama nggak mau ada apa-apa sama kamu. Kalau diantar Haikal, Mama bisa sedikit lebih tenang," bantah Mawarni.
"Ya udah, deh, terserah Mama aja," Riri berkata pasrah.
Kemudian ia mencium punggung tangan Nisa' dan Mawarni serta Yuliarni. Lalu pamit pergi.
* * * * *
Beberapa hari kemudian, hari pernikahan pun tiba. Riri sudah selesai dirias dan menunggu dipanggil untuk turun. Ia sedang memperhatikan dirinya di depan cermin. Ia terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin dan riasan di wajahnya.
"Ini beneran aku? Kok aku bisa keliatan beda banget gini? Aku ngerasa kayak orang lain. Atau mungkin ini emang muka orang lain, ya?" Riri bertanya-tanya pada dirinya sendiri karena merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
"Iya, iya. Kakak emang cantik, jadi nggak usah liatin kaca terus. Ntar kacanya ngiri sama Kakak. Bisa-bisa kacanya pecah ntar," goda adiknya sambil terkekeh.
"Apaan sih, Dan? Kakak cuma nggak percaya aja kalau yang Kakak liat di cermin itu adalah Kakak. Rasa-rasanya itu muka orang lain," jelas Riri karena tak terima digoda oleh adiknya.
"Ya udah, yuk, turun! Ijab Qabul-nya udah selesai. Semuanya udah nunggu Kakak," ajak Akhdan dan kemudian menuntun kakaknya menuju ke tempat dilakukannya Ijab Qabul.
Semua orang yang ada di ruangan itu berdecak kagum melihat ke arah Riri. Ia kelihatan seperti bidadari yang sangat cantik. Setelah ia duduk di samping Haikal, ia langsung meraih tangan lelaki itu dan mencium tangannya. Meskipun dengan tangan yang sedikit bergetar karena gugup. Selanjutnya acara resepsi diadakan sampai malam.
"Lo nggak bakalan pingsan lagi, 'kan? Kalau lo ngerasa nggak kuat, lo mending duduk aja. Jangan nyusahin gue lagi kayak hari pertunangan waktu itu," ucap Haikal sinis dan ketus.
"Hah??! Mas ngomong sama aku, ya?" tanya Riri tak percaya bahwa ia baru saja mendengar Haikal bersuara untuk yang pertama kalinya. Dirinya bahkan sampai menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri agar tidak salah sangka.
"Menurut lo? Emang ada orang lain di samping gue?" jawab Haikal dengan kesal.
"Oh, ternyata bener Mas lagi ngomong sama aku. Soalnya selama ini 'kan Mas nggak pernah ngomong sama aku. Jadinya aku bingung tadi," jawab Riri sambil terkekeh kecil. "Mas tenang aja. Aku hari ini sehat. Kalau aku capek, aku bakalan duduk, kok. Aku juga udah bawa persediaan obat. Jadi, kalau tiba-tiba aku ngerasa sakit lagi, aku bisa cepet-cepet minum obat. Aku juga nggak mau nyusahin Mas dan bikin semua keluarga khawatir sama aku," sambungnya. Haikal hanya mendengus menanggapinya.
Setelah Riri mengatakan itu, tidak ada percakapan lagi antara pasangan pengantin baru tersebut. Mereka hanya diam dan sibuk melayani para tamu undangan yang bergantian menyalami mereka tiada henti-hentinya. Bahkan Riri merasa bahwa tangannya sudah mati rasa karena terlalu pegal dan capek yang diakibatkan terus bergerak menyalami para tamu undangan satu persatu. Dan kakinya serasa ingin patah karena terlalu lama berdiri.
Acara resepsi selesai lewat tengah malam. Dan saat ini mereka sudah berada di dalam kamar yang memang disediakan di aula pernikahan milik keluarga Haikal itu. Beberapa kamar memang sengaja disediakan untuk pasangan pengantin dan juga keluarga serta sanak saudara yang pastinya sudah sangat kelelahan setelah menggelar acara pesta pernikahan.
"Dengar, sebelum lo salah paham sama hubungan kita ini, gue mau jelasin ke elo satu hal," jeda Haikal sesaat. "Gue nggak akan pernah bisa jadi suami yang sebenernya dan cinta sama elo. Gue terpaksa ngelakuin semuanya. Gue terpaksa tunangan dan nikah sama elo. Gue cinta sama orang lain. Kami udah lama pacaran. Jadi, gue harap lo nggak berharap lebih dari gue," sambungnya.
"Aku udah duga itu dan udah nebak dari awal. Ternyata tebakanku bener," balas Riri yang membuat Haikal mengernyit tidak mengerti.
"Aku tau kalau Mas nggak suka sama aku dari pertama aku kenalan sama Mas. Aku juga nggak berharap Mas bakalan cinta sama aku. Mas nggak perlu khawatir. Aku nggak masalah. Mas bebas ngelakuin apapun yang Mas mau. Aku nggak akan ngelarang. Anggap aja pernikahan kita ini cuma sebuah status untuk ngebuat orang tua kita seneng. Aku cuma mau berbakti sama kedua orang tuaku dan bakalan berusaha ngelakuin tugasku sebagai istri Mas dengan baik. Tapi yang aku minta, Mas hormati aku sebagai istri Mas dan jaga perasaanku. Nggak perlu kaku. Anggap aja kita temenan. Gimana? Mas bisa, 'kan?" ucap Riri dengan senyuman manis yang dipaksakan.
Ternyata kayak gini rasanya waktu ditolak sama pasangan sendiri. Walaupun aku nggak cinta sama dia, tapi, ditolak mentah-mentah di malam pertama ternyata rasanya sakit banget. Emang nggak bisa apa diomongin besok aja?! Bikin bete aja!! batin Riri menggerutu.
"Kalau cuma itu mau lo, gue nggak masalah. Tapi, tolong jangan nyusahin gue," ucap Haikal ketus.
"Dengar ya, aku juga nggak suka ngerepotin orang. Jadi, aku akan berusaha biar nggak ngerepotin Mas!" balas Riri tak kalah ketus.
Setelah mengatakan itu, Riri beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan riasan wajahnya dan mengganti gaun pengantin yang dikenakannya dengan piyama.
Apa-apaan dia itu? Baru juga direpotin sekali. Emang siapa juga yang nyuruh dia nolongin waktu itu? Nggak ada yang minta tolong juga sama dia. Dia bisa ngebiarin aku waktu itu. Percuma aja kalau nolongin, tapi nggak ikhlas! Dasar cowok nyebelin!! batin Riri kembali menggerutu saat berada di dalam kamar mandi.
Seminggu telah berlalu. Hari ini setelah pulang dari kantor, Haikal langsung pergi ke Bar untuk minum-minum. Pria itu merasa sangat frustrasi karena kekasihnya belum ada kabar sama sekali.Waktu itu, begitu kekasihnya tahu jika Haikal dijodohkan dengan anak sahabat Ayahnya dan tak bisa menolak, kekasihnya sangat marah dan memutuskan pergi dari Haikal. Haikal sudah puas mencari dan selalu menghubunginya. Namun, kekasihnya itu bagai hilang ditelan bumi dan tak bisa ditemukan. Dirinya putus asa dan sangat frustrasi.Untuk mengurangi rasa frustrasinya, maka ia memilih pergi ke Bar dan minum-minum. Dan di sinilah ia sekarang. Di sebuah Bar ternama di kota ini. Sudah dua botol minuman keras yang diminumnya. Dan dirinya pun sudah mabuk berat. Bartender sudah menegurnya dan menyuruhnya pulang. Namun, karena ia sudah tak bisa berjalan dengan baik, maka pihak Bar menyuruh bodyguard mencarikan taksi untuk Haikal agar mengantarkannya pulang.
Dua bulan sudah Riri dan Haikal menikah. Keadaan tetap sama. Tidak ada yang berubah dengan hubungan antara Riri dan Haikal. Mereka masih belum banyak bicara setelah pembicaraan mereka terakhir kali. Mereka hanya bicara jika diperlukan."Ri, gimana hubungan kamu sama suamimu?" tanya sahabat Riri yang bernama Dewi Agustina."Iya, Ri. Udah ada kemajuan belum?" tanya sahabat Riri yang lain, Rani Widiastuti."Masih sama, Dew, Ran. Aku udah nggak tau mau ngapain lagi biar bisa bikin dia bersikap biasa aja ke aku," ucap Riri lesu.Bahkan aku rela ngelupain kejadian malem itu supaya hubungan kami nggak canggung terus. Tapi, kayaknya emang sama sekali nggak ada harapan sama hubungan kami, sambung Riri di dalam hati."Kamu yang sabar aja, ya? Mudah-mudahan sikap suami kamu bisa berubah jadi lebih baik ke kamu nantinya," harap Dewi."Ya ..., semoga aja," Riri berkata lirih.
"Tante, apa kata Dokter? Riri sakit apa?" tanya Dewi begitu Nisa' dan Haikal memasuki ruang rawat Riri."Iya, Tante. Riri sakit apa? Kenapa dia bisa sampe pingsan gitu?" tanya Rani juga."Riri baik-baik aja. Kata dokter, itu karena Riri nggak makan dengan bener. Tapi, kalau Riri terus-terusan nggak makan dengan bener, itu bakalan ngebahayain bayi yang ada di dalam kandungannya," jelas Nisa'."Bayi? Riri hamil, Tante?" tanya Rani, dengan tampang yang terkejut."Bener, Ran, Riri hamil. Baru sekitar 6 minggu," jawab Nisa'."Oh! Pantes aja," Rani berucap dengan keras yang membuat Nisa', Haikal dan Dewi terkejut."Apaan sih, Ran? Bikin kaget, tau!" sungut Dewi kesal."Iya, tadi 'kan Riri sempet cerita ke kita. Dia bilang kalau dia udah nggak nafsu makan dari beberapa minggu terakhir. Tapi yang paling parah beberapa hari belakangan ini. Pasti itu gara-gara dia h
Sepulang orang tua dan mertuanya, Haikal kembali ke dalam ruang perawatan Riri. Ia duduk di samping ranjang Riri yang saat ini sedang tertidur. Dengan setia ia menjaga Riri hingga ia ikut tertidur dalam posisi duduk. Sedangkan kepalanya direbahkan di sisi tangan Riri.Pagi harinya, Haikal terbangun dengan tidak mendapati Riri di ranjang. Ia celingukan mencari keberadaan Riri. Suara orang yang sedang muntah-muntah membuatnya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.Begitu ia membuka pintu kamar mandi, tampaklah olehnya Riri yang sedang muntah-muntah di wastafel. Haikal masuk dan memijat tengkuk Riri.Ketika rasa mual Riri mulai berkurang, Riri membasuh mukanya agar terlihat lebih segar. Tetapi, saat Riri menegakkan tubuhnya, kakinya tiba-tiba menjadi lemas dan penglihatannya berkunang-kunang. Hampir saja ia terjatuh andai Haikal tidak sigap menangkapnya. Haikal segera menggendong Riri
Sudah 3 hari Riri dirawat di rumah sakit. Hari ini wanita itu sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, ia tidak pulang ke apartemen Haikal. Nisa' meminta Riri dan Haikal untuk sementara waktu tinggal di rumahnya.Meskipun sempat terjadi perdebatan kecil antara Nisa' dan Mawarni, namun akhirnya terjadi satu kesepakatan. Yaitu, Riri dan Haikal akan tinggal bersama Nisa' selama seminggu. Kemudian seminggu berikutnya di rumah Mawarni.Haikal dan Riri tidak bisa menolak kesepakatan itu. Keduanya pasrah menuruti kemauan Nisa' dan Mawarni. Bahkan Haikal-lah yang mengusulkan kesepakatan itu agar Mawarni dan Nisa' tidak berdebat terlalu lama.Sore ini Riri sedang duduk di teras rumahnya. Dielusnya perutnya yang masih datar itu sambil tersenyum."Selamat sore, Sayang. Sedang apa kamu? Kamu baik-baik ya, di situ? Jangan bikin Mami mual terus, ya? Kamu nggak mau 'kan kalau Mami masuk rumah sakit lagi?" Riri berbicara pada
"Kamu harus nyuapin aku makan tiap hari. Bacain dongeng untukku tiap malam sebelum tidur. Dan nemenin aku cek up kandungan tiap bulan. Gimana? Sanggup, nggak?" Riri mengatakan persyaratan yang harus Haikal lakukan agar mau mempercayai ucapan suaminya itu."Kalau untuk bacain dongeng tiap malam sebelum kamu tidur dan nemenin kamu cek up kandungan tiap bulan sih, nggak masalah. Masih bisa aku usahain. Tapi kalau nyuapin kamu tiap hari ...? Nggak bisa diganti sama syarat yang lain ya, Ri? Kalau sarapan sama makan malam sih, aku masih bisa nyuapin kamu. Tapi kalau makan siang? Kamu 'kan tau aku itu kalau siang sibuk banget di kantor. Gimana aku bisa nyuapin kamu kalau makan siang?" Haikal mencoba untuk sedikit bernegosiasi dengan Riri."Kalau makan siang, aku yang bakalan dateng ke kantor kamu. Gimana?" jawab Riri lalu meminta pendapat."Apa nggak bakal bikin kamu kecapekan kalau tiap makan s
RIRI POVSinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar membangunkan aku dari lelapku. Perlahan kubuka mataku dan menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Mengerjap-ngerjapkan mataku sebentar lalu menggeliatkan badanku.Aku merasakan ada sesuatu yang menimpa perutku. Langsung saja kuarahkan pandangan mataku ke perut. Ternyata tangan Haikal berada di atas perutku.Apa dia semalam tidur sambil meluk aku? aku bertanya-tanya di dalam hati.Segera kuelakkan tangan Haikal dari perutku. Namun ia justru mengeratkan pelukannya. "Haikal, awasin tangan kamu. Aku nggak bisa bangun," ucapku sambil terus menyingkirkan tangannya."Sebentar lagi ya, Sayang. Aku masih ngantuk," racaunya. Sepertinya dia sedang mengigau."Kamu ngomong 'sayang'nya untuk siapa? Untuk aku, anak kamu, atau Clara?" tanyaku ketus dan menaikkan nada bicaraku. Itu berhasil membu
Bugh! Bugh! Bugh!Riri yang geram dengan Haikal karena Haikal sudah mengerjainya, langsung memukul Haikal menggunakan bantal berulang-ulang."Dasar nyebelin, ngeselin! Enak banget kamu bilang kalau kamu ngerjain aku. Kamu nggak tau apa, kalau jantungku tadi hampir meledak gara-gara kelakuanmu itu?" gerutu Riri sambil terus memukul Haikal."Aduh, aduh! Ampun, Ri, ampun. Udah, udah! Aku ngaku salah. Sorry, sorry!" ucap Haikal namun masih tertawa."Kamu bilang 'sorry' tapi masih ngetawain aku. Seneng banget ya, bisa ngetawain orang?" Riri kembali memukuli Haikal karena Haikal tak kunjung menghentikan tawanya."Oke, oke. Aku berenti ketawa." sekuat tenaga Haikal berusaha menghentikan tawanya. "Maaf," ucapnya ambigu setelah benar-benar berhasil menghentikan tawanya. Sedangkan Riri hanya menanggapi dengan menaikkan satu alisnya pertanda dirinya bingung Haikal