Sabar, yaaa, tunggu besok 🫣🫣🫣
Cinta melirik sekilas ke arah Altaf yang baru saja melewati mejanya. Karena ruang kerjanya berada di ruang yang sama dengan sang kakak, ia pun bisa memperhatikan semua yang dilakukan Altaf tanpa terlewat.“Sorry aku telat,” ujar Altaf setelah menduduki kursi kerjanya, “aku ke rumah sakit dulu, jenguk Cia.”Cinta memilih tidak merespons, karena sudah tahu mengenai hal tersebut. Ciara akan selalu menjadi spotlight dan membuat seluruh anggota keluarga simpati padanya.Begitulah Ciara, tidak berubah.“Oia, siapa yang pegang semua kunci rumah?” tanya Cinta, “aku ada rencana ke sana sama Bias.”Altaf melihat Cinta, setelah menyalakan perangkat komputernya. Ia baru ingat, jika belum menyerahkan kunci rumah pada Cinta setelah meminta seluruh keluarganya pindah.“Tante Briana,” jawab Altaf meringis serba salah. Kekesalan adiknya itu pasti akan bertambah padanya, “aku cuma punya kunci pagar, pintu depan, sama kamarku. Nanti aku minta ke dia.”“Nggak usah,” tolak Cinta enggan berurusan dengan Br
“Kamu minta papamu cerai dari tante Briana?” Bias langsung terbelalak ketika mendengar permintaan Cinta tersebut.“Hm.” Cinta meletakkan ponselnya di meja rias setelah mengganti ke mode senyap. “Aku mau lihat, apa dia mau dan berani ceraikan Briana karena aku.”“Tapi ini cerai, Cin?”“Pak Kiano sudah selingkuh dari mama dan aku nggak bisa maafin itu.” Cinta duduk di tepi ranjang, melihat Bias yang kemudian juga duduk di sebelahnya. “Dan kalau kamu sampai berani selingkuh sama Cia, akumm–”Bias buru-buru membungkam mulut Cinta dengan tangannya. “Aku nggak mau selingkuh, karena aku nggak mau keluargaku berakhir seperti keluargamu. Dan aku sudah pernah bilang ini, jadi jangan lagi diungkit-ungkit.”Setelah selesai dengan ucapannya, Bias menarik kembali tangannya dari wajah Cinta. “Aku bukan nggak mau mendukungmu tentang masalah ini, tapi, coba ingat Farhan. Sejauh ini, cuma dia yang aku lihat paling waras di keluargamu. Jadi, coba cari opsi lain untuk mengurangi anak broken home di dunia
“Bias sama Cinta belum pulang?” tanya Danuar menarik kursi makan lalu duduk di sana. Sudah waktunya makan malam, tetapi Bias dan Cinta belum ada di ruang makan.“Telat, soalnya Bias jemput Cinta dulu,” jawab Alma sambil meletakkan sepotong dada ayam panggang di hadapan Danuar, “katanya, tadi lagi ada di sekitar Naraland, jadi sekalian jemput Cinta.”Danuar menghela pendek setelah mengambil garpu dan pisaunya. “Barusan pak Kiano nelpon. Dia mau bicara dengan Cinta, empat mata.”Alma tetap santai memotong dada ayam miliknya. “Pak Kiano itu padahal satu kantor sama anaknya, tapi kenapa mau bicara sama Cinta aja harus nelpon Papa?”“Aku juga langsung bilang begitu tadi,” ujar Danuar akhirnya juga memotong dada ayamnya, “tapi dia bilang, Cinta nggak mau bicara kalau bukan urusan kerjaan.”“Anak mana yang nggak sakit hati diperlakukan seperti Cinta?” Alma mengunyah makanannya dengan perlahan, “Mama aja gemes denger ceritanya sama lihat keadaan Cinta waktu pertama kali ke sini. Apalagi Cinta
“Aku mau bicara, serius,” ujar Cinta sebelum mereka tenggelam dalam satu selimut untuk beristirahat.“Tiap hari juga kita bicara serius.” Bias lebih dulu menarik selimut untuk menutup kedua kakinya, duduk di tempat tidur dan bersandar pada kepala ranjang.“Iya, sih.” Cinta duduk bersila menghadap Bias. “Tapi, ini soal masa depan dan kamu sudah tau aku nggak pernah mau basa-basi.”“Langsung.”“Sepertinya aku mau dapet,” ucap Cinta memulai topik obrolan seriusnya, “jadwalnya minggu-minggu ini, bisa maju satu dua hari atau mundur. Jad–”“Yah! Te–”“Diam dulu,” potong Cinta tetap tenang, “andai beneran dapet, habis itu aku mau nunda kehamilan. Jadi, aku mau KB!”“Kenapa?” Bias mengerut dahi, “apa alasannya?”“Cia.”“Cia?” Bias mendesah keras sambil menggaruk kepala, “kamu itu nggak ngerti-ngerti kalau dikasih tau.”“Aku bukan nggak ngerti, tapi aku sedang mengantisipasi kalau-kalau …” Cinta mendekat pada Bias, “gimana kalau Cia ngotot dekatin kamu? Karena dari yang kulihat, dia itu masih
“Apa lagi yang kalian permasalahkan?” tanya Altaf setelah Ciara pergi menuju lift, meninggalkan mereka berdua.“Bias,” jawab Cinta santai. Ia memilih duduk di sofa lobi dan membiarkan hatinya tenang terlebih dahulu, “Cia bilang, mereka sering ketemu diam-diam di apartemen Bias selama ini.”Altaf menarik napas, lalu ikut duduk di sebelah Cinta. “Biar aku bicara dengan Bias.”“Nggak perlu,” tolak Cinta menoleh pada Altaf, “dan tolong jangan ikut campur dengan urusan pribadiku, apalagi rumah tanggaku.”“Tapi, apa Bias selama ini baik denganmu?” selidik Altaf ingin mengetahui hal tersebut dari mulut Cinta. Bias memang memilih untuk mempertahankan Cinta, tetapi Altaf tidak tahu bagaimana sebenarnya sikap pria itu terhadap adiknya. “Dia nggak pernah nyakitin kamu? Ngomong kasar, ngancam, atau–”“Bias baik,” putus Cinta menyematkan senyum tipis saat mengingat banyak kehangatan yang diterimanya dari keluarga Manggala, “apalagi mama Alma sama papa Danuar. Dari awal aku masuk ke sana, mereka ng
“Cin,” panggil Bias dari balik punggung Cinta yang berbaring membelakanginya.“Hm.” Cinta hanya bergumam singkat, malas membuka mata. Rasa lelah setelah menyatu dengan Bias masih melekat, membuatnya hanya ingin tenggelam dalam selimut.“Mau coba, tidur dalam gelap?” tanya Bias mengeratkan pelukannya di pinggang Cinta.“Nggak,” tolak Cinta cepat. Ia tidak perlu berpikir lebih lama, untuk sekadar memberi jawaban tersebut.“Ada aku di sini,” ucap Bias lalu mengecup pundak terbuka istrinya.Jika teringat perihal Briana yang pernah mengurung Cinta di kamar mandi, Bias jadi merasa miris sendiri. Ada nyeri yang tidak bisa ia jabarkan, jika berada di posisi Cinta saat itu.Sejak saat itu, Bias mencoba mengalah. Tidak lagi mematikan lampu di kamar di malam hari agar Cinta semakin merasa nyaman.“Kamu ada, tapi gelapnya juga masih ada.”“Apa yang kamu takutkan?”“Aku takut …” Cinta membuka mata. Mengangkat pelan satu bahunya dan menghela singkat. Saat ini, Bias tengah membuka luka masa lalu yan