Difitnah. Dianaktirikan. Dilupakan. Bertahun-tahun Cinta hidup dalam bayang-bayang saudara tiri yang selalu tampak sempurna di mata semua orang. Hingga akhirnya, ia mengambil langkah paling nekat dalam hidupnya, menjebak tunangan wanita itu untuk menikah dengannya. Bukan karena cinta, tetapi karena dendam. Bukan untuk bahagia, melainkan untuk membuat mereka tahu rasanya dihancurkan. Namun hidup satu atap tanpa cinta bukan akhir segalanya. Hal itu justru perlahan membuka jalan bagi sesuatu yang tidak pernah ia duga.
Lihat lebih banyak“Buka hapemu,” titah Cinta, melempar ponsel Bias ke atas ranjang.
Bias baru saja membuka mata. Kepalanya berat, pikirannya terasa penat. Ia mengerjap, berusaha memahami di mana dirinya berada dan kenapa Cinta yang tengah memakai bathrobe ada bersamanya.
“Foto dan video kita sudah tersebar di media sosial,” lanjut Cinta bersedekap. Masih berdiri di sebelah tempat tidur.
Bias mendadak terjaga. Meraih ponselnya dan membuka layar dengan segera. Matanya menelusuri banyak notifikasi yang masuk dan membuka salah satunya.
Beberapa detik setelahnya, wajah Bias mengeras. Matanya terpaku pada foto-foto dirinya bersama Cinta. Ada video pendek, dengan sudut pengambilan yang akan membuat banyak orang salah paham.
“Ini …” Bias masih mengamati layar ponselnya.
“Batalkan pernikahanmu dengan Ciara,” ujar Cinta tenang, seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. “Karena kamu sudah tidur denganku tadi malam.”
Tawa Bias menyembur begitu saja. Ia mengangkat wajah, menatap Cinta penuh ejekan.
“Jangan berlebihan,” ucap Bias. “Itu cuma foto dan video yang diambil dengan angel yang pas. Dan kita ... nggak pernah melakukan apa pun tadi malam karena aku nggak merasa melakukannya.”
Cinta menunduk, menarik cepat selimut yang menutupi tubuh Bias sejak tadi. Tidak peduli meski pria itu masih dalam keadaan polos. Lantas, Ia menunjuk sebuah noda merah yang tercetak di atas sprei putih yang masih ditiduri pria itu.
“Masih bilang nggak merasa?” tanya Cinta datar. “Atau, kamu mau lari dari tanggung jawab?”
“Ini ...” Bias menggeleng pelan. Mengingat-ingat, apa saja yang telah dilakukannya tadi malam.
Bias pergi memenuhi undangan temannya di sebuah bar dan Cinta kebetulan ada di sana. Perbincangan yang awalnya hanya formalitas semata, lambat laun menjadi akrab.
Namun, apa yang terjadi setelahnya?
Kenapa Bias tidak bisa mengingat kejadian tadi malam secara utuh, hingga mereka berakhir di tempat tidur?
“Nggak mungkin.” Bias akhirnya menyangkal, karena tidak bisa mengingat hal apa pun.
“Asal kamu tahu.” Cinta mengambil ponselnya di nakas dan tersenyum tipis saat membuka layarnya. “Aku masih punya video yang lebih panas dari itu.”
Bias terdiam dan berpikir, menatap datar pada Cinta. Setelah mencerna sedikit kejadian yang menimpanya pagi ini, Bias pun tersenyum miring.
“Kamu yang sudah menjebakku, kan?” Bias bangkit dari tempat tidur. Tidak peduli dengan kondisi tubuhnya yang tidak memakai apa pun.
Tanpa ragu Bias menghabiskan jarak dan mencengkram kerah bathrobe yang dipakai Cinta. Menariknya, hingga wajah mereka nyaris sejajar. “Kamu pikir, siapa yang sedang kamu ancam sekarang, ha?” desisnya pelan dan tajam.
“Bias Zahir Manggala,” jawab Cinta. Suaranya tenang, meski napasnya sedikit tertahan. Gugup itu ada, tetapi ia sembunyikan rapat-rapat di balik sorot mata yang tetap menantang.
Cinta sudah membuat sebuah keputusan besar dan ia tidak lagi bisa melangkah mundur.
“Apa maumu?” Bias berdecih.
“Putuskan Ciara dan menikah denganku,” sela Cinta tanpa gentar. “Aku minta kamu bertanggung jawab dengan semua yang sudah kamu lakukan tadi malam.”
Bias melepas kerah bathrobe Cinta dengan dorongan kecil. “Jangan main-main denganku, Cin. Foto dan video itu cuma masalah kecil yang bisa aku bereskan dengan jentikan jari.”
Bias berbalik cepat. Mencari pakaiannya yang tercecer di lantai sambil terus berkata, “Apa kamu lupa aku siapa? Aku pengacara yang bisa menuntut dan memasukkanmu ke dalam penjara.”
“Kamu juga lupa aku siapa?” ujar Cinta setelah menyeimbangkan tubuhnya karena dorongan Bias. “Aku reporter, Bi. Aku bisa—"
“Pemredmu bahkan bisa aku beli,” putus Bias memakai pakaiannya dan tersenyum miring pada Cinta. “Di sini, uang yang bicara.”
Cinta membalas Bias dengan senyum yang sama. “Silakan gunakan uang dan kekuasaanmu itu. Dan kita lihat, seberapa luas berita dan opini publik yang akan tercipta akibat skandal kita. Bukan cuma kamu yang akan kena imbasnya, tapi juga ... keluargamu. Ibumu tercinta.”
Bias melangkah cepat mendekati Cinta dengan sorot mata tajam. Merampas ponsel dari tangan gadis itu dan melemparnya ke dinding. Membentur keras dan jatuh terhempas ke lantai. Tidak berbentuk lagi.
“Puas?” tanya Cinta berusaha tetap tenang dengan sekuat tenaga, meski jantungnya sudah berdetak kencang.
“Kaaamu—”
“Videonya sudah aku kirim ke beberapa email-ku,” sela Cinta dengan kedua tangan mengepal erat. “Jadi, percumaakkh ...”
Ucapan Cinta menggantung di udara.
Tanpa aba-aba, Bias tiba-tiba mendorong tubuhnya ke dinding. Satu tangan pria itu mencengkeram leher Cinta hingga napasnya tersendat seketika.
“Bi ...” Cinta mencoba menarik napas dan memukul tubuh pria itu dengan sisa tenaganya.
“Diam dan dengarkan aku baik-baik,” desis Bias masih menyisakan ruang untuk Cinta bernapas. “Cukup sampai di sini dan jangan diteruskan,” titahnya tajam dengan sorot menghujam penuh amarah. “Kali ini, aku masih bisa memaafkan karena kamu adalah saudara Ciara. Tapi ingat baik-baik, nggak akan pernah ada kata lain kali.”
Tubuh Cinta langsung ambruk begitu Bias melepaskan cengkeraman di lehernya.
Ia terbatuk keras, berusaha mengisi kembali paru-parunya dengan udara. Tangan kanannya refleks menyentuh lehernya yang masih terasa nyeri dan panas, sementara napasnya tersengal dan berat.
Namun, tatapannya tetap menajam ke arah Bias, penuh emosi yang bergejolak. Antara takut, marah, dan merasa diremehkan.
“Anggap semua ini nggak pernah terjadi,” ucap Bias sambil meraih kemejanya di lantai lalu memakainya.
“Jadi, kamu mau lari dari tanggung jawab?” Cinta berdecih. Masih terduduk untuk mengumpulkan tenaga.
“Apa yang harus aku tanggung, kalau aku nggak merasa melakukan apa pun?” ujar Bias memberi tatapan remeh. “Dan satu lagi ...” Bias kembali menghampiri Cinta setelah selesai mengancing kemejanya. Ia berjongkok, menepuk pipi Cinta sedikit keras. “Karena aku nggak sadar dan nggak ingat semua yang aku lakukan tadi malam, semua masalah ini akan aku usut. Kalau—”
“Siapa yang mau kamu tuntut setelah itu?” sela Cinta tersenyum miring. “Kamu yang undang aku ke mejamu, kan? Bukan aku.”
Bias mengerjap. Kembali mengingat-ingat. Dan ... Cinta benar.
Dirinyalah yang lebih dulu menyapa, lalu mengundang Cinta ke mejanya karena wanita itu adalah saudara kekasihnya.
“Kamu!” Bias kembali berdiri dan melihat ke sekitar ruang. Mencari beberapa barangnya yang mungkin masih tercecer. “Aku yakin semua ini adalah permainanmu. Jadi, tunggu tanggal mainnya. Kalau terbukti kamu yang sudah menyusun semua rencana ini, hidupmu ...” Bias menatap tajam pada Cinta dan menunjuknya. “Akan aku buat seperti di neraka.”
“Apa ini?” tanya Bias saat menerima sebuah tas ransel dari Yosep di ambang pintu kamar.“Tas mbak Cinta,” jawab Yosep. “Kata Denok, cuma ini barangnya di apart yang kemarin malam diantar temannya. Obat-obatnya juga sudah ada di dalam.”“Tas ini …” Bias menatap ke dalam kamar sekilas. Kemudian, ia membuka cepat resletingnya. Melihat ke dalam, lalu melihat pakaian yang jumlahnya hanya beberapa potong saja. “Ini semua bajunya Cinta? Nggak salah? Tasnya lusuh dan … yakin? Telpon Denok lagi.”“Sudah saya pastiin, Mas,” jawab Yosep mantap. “Kata Denok, Mbak Cinta, kan, nggak ada pulang ke rumah sejak datang ke apart. Jadi, barangnya, ya, cuma yang ada di dalam tas itu.”“Oke, pergilah.”Bias menutup pintu. Kembali memasuki kamar dan meletakkan tas milik Cinta di tempat tidur. Ia mengeluarkan ponsel, lalu berbaring perlahan dan menghubungi Ciara. Kekasihnya itu pasti sangat bersedih dan mengurung diri di kamar menangisi nasib hubungan mereka.Namun, panggilannya tidak kunjung diangkat.Tatap
Alma menghempas hasil rontgen yang sudah dilihatnya di meja. Menatap Bias yang duduk di hadapannya di lobi apartemen. Sementara Cinta, sudah lebih dulu pergi ke atas atas titahnya, ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.Setelah mendengar keterangan Bias, ternyata kondisi Cinta memang seperti yang terlihat. Bahkan, seharusnya gadis itu berjalan dengan bantuan kruk, agar kakinya tidak dipaksa menopang beban sebelum benar-benar pulih.“Hubungi pak Kiano sama bu Briana,” titah Alma memijat pelipisnya sebentar. “Pastikan mereka besok datang ke tempat acara, supaya semua berjalan lancar. Bilang ke Cia supaya nggak usah datang, karena Mama nggak mau ada drama.”“Tapi … bagaimana kalau nanti Cinta ternyata nggak hamil?” tanya Bias bersedekap dan duduk tegak.“Kamu mau cerai?” tebak Alma tersenyum miring. “Baru sebulan nikah tapi sudah mau cerai? Begitu maksudmu, kan?”“Kalau memang dia nggak hamil, untuk apa pernikahan ini diteruskan?”“Yakin dalam satu bulan kamu nggak akan ‘nyentuh’ Ci
“Kita pergi sebentar lagi,” ujar Bias ketika memasuki ruangannya. Ia berdiri tepat di depan Cinta yang masih duduk di tempatnya. Menatap selidik, pada wanita licik yang sudah memainkan drama yang begitu epik. “Untuk sementara, kamu ada dalam pengawasan kami.”“Pengawasan?” tanya Cinta agak bingung.“Ya!” Bias bersedekap. “Kami khawatir, ada yang mau mencelakakan kamu lagi sebelum pernikahan kita dilaksanakan.”“Nggak ada bu Alma di sini.” Cinta menoleh sebentar ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Jadi, nggak usah pura-pura baik. Jujur aja, kamu yang nyuruh orang buat nabrak aku? Karena—”“Jangan pernah menuduh tanpa bukti!” Bisa menunduk cepat. Kedua tangannya bertumpu pada lengan sofa yang diduduki Cinta. “Dan jangan main-main denganku, apalagi keluargaku.”“Aku memang nggak punya bukti apa-apa,” sahut Cinta tidak gentar sedikit pun. Meski sempat terkejut dengan sikap Bias yang menunduk secara tiba-tiba. “Karena pesuruhmu sepertinya cukup pintar.”“Heh dengar!” Bias menepuk pelan pi
Cinta sontak berdiri begitu melihat Alma melangkah masuk ke ruang kerja Bias, disusul pria itu di belakang.Satu jam sebelumnya, Cinta sudah lebih dulu tiba di Firma Manggala. Tidak lama setelah menunggu di lobi, seorang resepsionis menghampiri dan memintanya naik ke ruangan Bias.“Pagi, Tan—”“Duduk.”Alma langsung memotong sapaan itu, menunjuk ke arah sofa di belakang Cinta. Dengan tenang dan percaya diri, ia mengambil tempat di sofa panjang di samping Cinta.Sementara itu, Bias tanpa banyak bicara memilih duduk di kursi kerjanya, menjaga jarak dalam diam. Menatap selidik dengan kondisi Cinta yang terlihat baik-baik saja. Sepertinya, kecelakaan minggu lalu tidaklah terlalu parah.“Tolong jelaskan ke saya, kenapa kamu baru muncul hari ini?” tanya Alma tegas, tanpa mau berbasa-basi. “Keluargamu juga begitu, sudah tahu kamu dan Bias mau menikah besok, tapi adem ayem aja. Masa’ kami yang harus membereskan semuanya?”Cinta memaksakan senyumnya. Ia masih syok, karena Alma juga hadir Firma
“Yakin mau datang ke Firma Manggala?” Dinda memastikan sekali lagi, setelah mengikat kencang rambut Cinta yang duduk di depannya. “Besok aja, ya? Besok, kan, libur. Jadi bisa aku temani.”“Firma juga libur kalau besok,” ujar Cinta sambil melihat wajahnya dari cermin sebesar telapak tangannya. “Lagian kakiku udah bisa dipake jalan.”“Tapi masih pincang.”“Nggak papa.” Cinta berdiri perlahan. Sesekali mendesis, menahan nyeri di bahu kirinya yang masih memakai penyangga. Ia mengambil tas yang sudah dipersiapkan dan hanya menentengnya. “Kalau nggak ke sana sekarang, besok malam aku mungkin nggak bisa nikah dengan Bias.”“Cin.” Dinda juga bangkit dan mengambil tas kerjanya. “Yakin mau diterusin? Aku yakin ini bukan tabrak lari biasa. Pasti ada yang sudah nyuruh orang buat nyelakain kamu.”“Paling juga Briana, kalau nggak, ya, Bias,” ucapnya sambil berjalan keluar kamar yang sudah dibuka lebih dulu oleh Dinda.“Kalau gitu berhenti,” ujar Dinda menghalangi langkah Cinta. “Kalau bukan teman,
“Sorry, Han, tapi lagi nggak ada ujian, kan?” tanya Bias ketika Farhan menghampiri.“Nggak, Kak.” Farhan duduk di sebelah Bias, mengatupkan jemarinya dengan kedua siku bertumpu di paha. “Tapi, ngapain ke sini?”“Aku mau tanya masalah Cinta.”“Oh ...”Bias melihat jelas perubahan dari wajah siswa kelas tujuh Sekolah Menengah Pertama itu. Sebenarnya, ada apa dengan Cinta dan keluarganya.“Kak Bias mau tanya apa?” Farhan menegakkan tubuh, mencari posisi yang nyaman agar lebih santai.“Tapi tolong janji, jangan bilang siapa pun kalau aku ke sini.”“Oke.” Farhan langsung mengangguk tanpa ragu. “Tanya aja.”“Apa Cinta memang nggak ada di rumah beberapa hari ini?” tanya Bias mulai dengan pertanyaan pertamanya.Farhan menggeleng, tidak bisa memastikan. “Sudah ...” Farhan mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia melihat keberadaan salah satu kakak perempuannya. “Dari malam minggu. Ya! Aku yakin dia nggak tidur di rumah dari malam minggu. Tapi, aku nggak tahu, dia pulang apa nggak pas siang.”“Y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen