Share

Pria yang Menjaga Kehormatan Istrinya

"Loh, Pak. Kok rekaman untuk dalam rumah nggak ada?" tanyaku heran. Bukankah seharusnya setiap sudut ruang ada rekamannya karena Mas Yusuf memasangnya di sana.

"Oh, itu, Mbak. Maaf, kami tidak diberi wewenang Tuan untuk menyimpannya. Mungkin ada di file laptop pribadi beliau." Pak satpam menduga-duga.

"Kok gitu?"

"Kata Tuan, bukan karena tak percaya pada kami, Mbak. Tapi ... karena beliau akan menikah, takut aurat istrinya terlihat oleh satpam, yang notabene adalah para pria," sambung pria yang kutaksir usianya di atas 35 tahun itu. 

Ucapannya membuatku trenyuh. Namun, juga kecewa dalam waktu yang sama. Trenyuh, lantaran Mas Yusuf memperhatikan dan menjaga aurat istrinya. Bukan suami-suami dayuts, yang membiarkan istrinya bermaksiat, tak memiliki ketakutan atas azab Allah sebab tak memiliki kecemburuan atas istrinya. 

Dari sini, harusnya aku paham dan yakin bahwa Allah memang memberi pasangan terbaik untukku.

Aku mendesah panjang karena kecewa juga. Sudah lelah tapi ternyata tak mendapat apapun. Lelaki itu sangat hati-hati rupanya. Kalau begini, aku harus melihat isi laptopnya. Iya, kalau laptopnya juga gak dipasword. Mengingat dia pria yang sangat hati-hati dan teliti. Ah, bisa senewen aku lama-lama.

"Oh, jadi karena menikah Mas Yusuf cuma kasih rekaman luar rumah. Kalau begitu, sebelum menikah ada kan, Pak rekamannya?" Mataku melebar, senang karena sepertinya ada secercah cahaya harapan untuk mengetahuinya.

Pak satpam menggeleng. Melihat itu seketika harapan yang baru datang tersebut pupus dalam sekejap.

"Sepertinya beliau tidak tinggal di sini sebelum ini, Mbak. Saya juga baru seminggu lalu kerja di sini. Entah, juga sih kalau ada satpam lain sebelum saya."

Penjelasan Pak satpam membuat otakku makin buntu. Terlalu rumit kalau harus mencari tahu ke satpam sebelumnya yang bekerja di sini. Inilah masalahku dan Mas Yusuf, aku belum tahu banyak mengenai kehidupannya karena baru bersama selama sehari.

Dengan perasaan tak karuan, aku kembali melangkah ke dalam rumah. Lalu naik ke lantai dua. Masuk kamar dan kembali bersiap untuk hal lain. Karena merasa sangat lelah, kuputuskan istirahat dulu, dengan duduk di sisi ranjang. Melihat ke arah jendela yang terang. 

Pencahayaan di sini cukup untuk melihat secara jelas sekeliling, beda sekali dengan kondisi di sekitar koridor. Bahkan tak ada ventilasi. Rasanya menakutkan, pengap karena kedap udara sebagai penghantar suara. 

Apa di dalam bilik juga segelap itu? Kalau begitu bukan manusia yang disimpan Mas Yusuf di sana. Karena tak ada manusia yang bisa hidup tanpa pencahayaan dan udara yang cukup. Syukurlah kalau begitu.

Tak berapa lama, terdengar suara bel berbunyi. Aku pun segera keluar untuk melihat siapa yang datang. Namun, baru akan turun tangga, Bibi sudah membuka pintu itu. 

Tampak seorang pria seumuran Mas Yusuf yang memakai kaos dibalut jas. Penampilan yang memberi kesan santai pada pemiliknya. Lalu ada tas ditenteng seperti orang yang bekerja di kantor dan kacamata yang melekat menutupi kedua mata. Siapa dia?

Bibi dan pria itu tampak tengah berbincang. Entah, apa yang mereka obrolkan.

Aku pun berjalan lebih cepat, semakin dekat aku bisa melihat bungkus kecil yang dipegang pria itu. Seperti kemasan dari sebuah toko.

Bibi yang menyadari kedatanganku, undur diri dan kembali ke dapur.

"Selamat pagi," sapa pria itu. Aku hanya mengangguk menanggapi.

"Love sincerely," ucapnya kemudian.

Hem? Mataku sedikit melebar mendengar ucapannya. Love? Sincerely? Apa maksudnya? Apa dia sedang menyatakan cinta padaku?

"Oh, maaf saya sudah punya suami."

"Ha?" Dua alis pria itu terangkat. Namun, ia kembali mengucapnya dengan satu jari telunjuk mengarah ke atas. Sama seperti ketika, kami mengisyaratkan kalimat tauhid.

"Lover sincerely."

Aku menggeleng. Tak memahami maksudnya.

"Oh, begitu. Tapi Bapak Yusuf di rumah? Atau ...."

"Oh, iya. Itu suami saya. Apa Bapak mencarinya?"

"Ehm. Secara teknis iya. Saya sudah bilang akan ke sini."

"Oh beliaunya sedang bekerja."

"Oh." Mulutnya membulat. "Sebentar." Pria itu pun membuka tasnya seperti mencari sesuatu.

Rupanya ponsel. Ia lalu menggeser layar.

"Oh, shit! Kenapa dia tak mengatakannya sejak awal, aku sampai menunda pertemuan dengan pasien. Arh! Salahku juga mematikan dering," ucap pria itu refleks.

Pasien? Apa dia seorang dokter? Tapi kenapa mencari Mas Yusuf? 

Aku lalu ingat sesuatu. Ohya, tadi dia sedang bicara dengan seseorang di telepon dan membahas soal obat. Apa dia dokternya?

"Ya?" Aku yang merasa kurang jelas pada ucapannya pun bertanya.

"Oh, tak apa." Pria itu tampak serba salah, hingga membuat mataku menyipit.

"Kalau begitu saya permisi dulu," ucapnya sambil melihat ke arah lantai dua di belakangku. Ada apa?

Penasaran atas apa yang kupikirkan, aku pun menanyakannya.

"Apa dokter biasa ke sini? Dan memeriksa seseorang?"

"Hah?" Dokter itu terhenyak. Lalu menggeleng. "Maaf, saya pergi dulu."

Aneh sekali sikapnya. Apa tujuannya ke mari? Sekarang malah pergi begitu saja tanpa bicara atau menitip pesan buat Mas Yusuf padaku. Aku menggedikkan bahu sambil mencebik.

Tanganku bergerak meraih pintu dan akan menutupnya. Namun, di saat yang sama gagal fokus terhadap sebuah benda tergeletak di lantai. 

"Bukannya ini bungkusan yang dibawa orang tadi?" Kupungut benda yang memiliki logo kesehatan di samping nama tokonya.

"Jangan-jangan barang penting?" Merasa ini bukan milikku, aku pun berusaha memanggil tamu tadi. Tetapi, orang itu sudah menghilang, hanya tampak mobilnya yang sudah berjalan menjauh keluar pekarangan rumah.

Aku menghela panjang. "Ceroboh sekali."

Kuamati bungkusan kecil di tangan. Tampak nama sebuah apotik di sana. Ternyata bukan sembarang toko, pantas ada logo kesehatannya. 

"Berarti ini memang obat yang mereka bicarakan di telepon tadi." 

Penasaran, aku pun membuka dan melihatnya. Sebuah merk obat yang tak pernah kulihat sebelumnya, kutajamkan penglihatan untuk memindai lebih detail kemasan obat tersebut, mengandung Allyestrenol sebanyak lima mg. Obat apa ini, sih? 

Obat stress? Obat untuk binatang piaraan yang nyakar Mas Yusuf supaya jinak?

Tak kehabisan akal aku pun merogoh ponsel dalam saku sambil berjalan ke dalam. Lalu mencari tempat yang nyaman untuk duduk, yaitu sofa ruang tamu.

Kuketik "Allyestrenol" dalam pencarian g****e.

Mataku menyipit kala membaca deretan kalimat yang muncul di salah satu situs.

"Penguat kandungan yang berguna mencegah kelahiran prematur dengan cara menguatkan hormon plasenta pada kandungan."

Obat penguat kandungan? Hatiku seketika merasa nyeri. Sakit. Mata seketika mengembun seiring sesak yang kurasa dalam dada.

Suamiku sudah memiliki wanita lain yang dihamili? Apakah itu istri pertamanya? Dan aku hanya yang kedua yang dimanfaatkan? Itu kenapa dia tak mau menyentuhku?

Jahat kamu Mas Yusuf ....

Bersambung

Sampai sini udah mulai ketauan kan, Gaes? Kira-kira bener gak, apa yang Hanna pikirkan?

Koment dan tap lope biar Otor semangat karena tau berapa banyak yang nunggu lanjutannya. Lopeyu Oll.😍

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mamie Mamie
penasaran kelanjutannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status