Firasat ini sangat kuat, ya Rabb. Ampuni hamba, jika ini adalah bagian kesalahan yang membawa pada dosa, karena terus berprasangka buruk pada suami. Lelaki yang Rasulullah katakan andai manusia boleh bersujud, maka kami para istri diperintahkan bersujud pada suaminya.
❤❤❤
Sambil berjalan ke arah tangga menuju lantai atas aku berbincang dengan Mbak Indah, kakak iparku melalui telepon.
"Oh, jadi lagi ngerayain. Sampe jam berapa, Mbak?"
"Kayaknya jam 12 udah selesai, sih."
"Gak papa, dah. Siang-siang ke sininya."
"Cie, yang baru boyongan. Iya, iya. Apa sih yang nggak buat kamu."
"Hehe, makasih, ya, Mbak. Maaf banget ya gak bisa datang ke acaranya Zio. Tapi aku udah siapin kado buat dia."
"Iya, santai aja."
"Oya, apa Mas Zidan datang?" tanyaku menanyakan keberadaan saudara sulungku. Lelaki itu menjalankan bisnis yang mengharuskannya sering pergi ke luar kota.
Kasihan Zio, dia jadi kurang perhatian dari sosok seorang ayah.
"Yah, kamu tahulah. Dia kan sibuk, aku gak bisa paksa kakakmu datang meski di moment penting buat anaknya."
"Yang sabar ya, Mbak." Aku mendesah.
Semoga saja Mas Yusuf tidak memiliki pekerjaan seperti Mas Zidan yang suka meninggalkan anak dan istri. Aku mana kuat? Dia yang tidur di sampingku saja, sudah buat nyesek, gimana sering misah kaya Mbak Indah dan Mas Zidan?
Atau karena Mbak Indah sudah dapat nafkah batin, jadi dia tenang-tenang saja meski LDR-an? Astagfirullah, kenapa aku mikir ke situ lagi?
"Oya, kayaknya Papa dan Mama gak bisa ke sana deh, Na. Soalnya Papa mau ketemu kolega, dan harus bawa Mama buat dampingi." Ucapan wanita di ujung telepon membuatku terhenyak karena melamun soal nafkah batin.
Kayaknya aku harus berpuasa besok, supaya bisa mengendalikan perasaanku. Padahal sebelum menikah meski sudah dijelaskan bagaimana sunnah berhubungan suami istri, aku tak pernah seperti ini. Sering menghayal yang tidak-tidak. Mungkin karena saat single, belum ada objek yang membawa berpikir ke arah sana.
Berbeda dengan sekarang, ada Mas Yusuf yang dalam sekejap mampu menyihirku dengan kesholehan dan ketampanannya. Ah, sholeh apanya, Han? Mana ada lelaki sholeh yang dusta pada istrinya?
Berhenti bucin, Han! Fokus pada tujuan. Kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi? Dan siapa sebenarnya Yusuf itu. Tak peduli pada paras tampan dan sikap baiknya jika itu hanya topeng.
"Oh ya, sudah, Mbak. Gak papa. Mbak aja sama Zio. Tambahin Mbak-mbak dapur biar rame, ya," pintaku lagi.
Suasana ini harus tampak ramai, biar Mas Yusuf tak curiga ini adalah bagian dari rencanaku untuk membongkar rahasianya.
"Iya, deh. Ya, udah dulu, Na. Aku mau siapin makan buat tamu-tamu," pamit Mbak Indah yang ingin mengakhiri panggilan.
"Ya, Mbak. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Kini langkahku sudah berada di tengah anak-anak tangga. Ingat bilik itu, dan seketika jantungku berdebar lebih hebat.
Firasat ini sangat kuat, ya Rabb. Ampuni hamba, jika ini adalah bagian kesalahan yang membawa pada dosa, karena terus berprasangka buruk pada suami. Lelaki yang Rasulullah katakan andai manusia boleh bersujud, maka kami para istri diperintahkan bersujud pada suaminya.
Kudongakkan kepala, menatap CCTV mengarah pada tangga. Lalu di atap persis depan kamarku. Yang mengarah ke lorong hingga ujung sana. Maka, jika aku berjalan, bayanganku akan terekam di sana.
Lagi, jika Mas Yusuf melihat rekaman CCTV semalam, dia akan tahu aku mengikutinya sampai depan bilik itu. Entah, dia memeriksanya atau tidak. Kalau ada barang sangat berharga atau seseorang yang sangat dijaganya, bisa jadi dia melihatnya. Itu artinya dia sudah tahu aku curiga bukan?
Namun, sikapnya sejak bangun sampai tadi akan berangkat kerja biasa-biasa saja. Apa artinya dia belum memeriksa rekaman?
Kakiku terus melangkah meski lorong itu remang dan lumayan gelap. Aku sangat penasaran sampai tak peduli lagi jika ada CCTV yang mengawasi kemudian membuat Mas Yusuf tahu, bahwa aku sangat ingin tahu apa yang ada di dalam sana.
Lamat-lamat terdengar langkahku sendiri. Seolah memecah keheningan yang terjadi di lorong gelap sepanjang jarak kamar dan ujung koridor.
Kenapa juga tempat ini di desain gelap, sih?
"Ck. Udah kaya dukun aja kamu, Mas!" ujarku bermonolog. "Punya ruang rahasia, datang tengah malam, punya bekas cakaran. Apa kamu miara Kunti?"
Hiss! Mikir apa sih, kamu, Na.
Aku sudah berdiri lagi di depan pintu dengan pasword itu. Benar-benar buntu otakku memikirkan cara membobol pintu ini. Tak ada suara sama sekali.
"Oh ya!" Aku ingat sesuatu. Segera kubalikkan tubuh ke arah atas sekitar bilik. Adakah CCTV yang mengarah persis ke pintu ini. Jika iya ....
"Nah!" Aku menemukannya. Persis di atas sana saat mendongak, sebuah kamera berkedip mengarah padaku.
Kalau begitu, aku bisa tahu paswordnya dari sana bukan? Tapi, di mana aku mendapat rekaman CCTV di rumah ini?
Tak membuang waktu, aku pun bergegas ke kamar. Membuka semua lemari besar. Barangkali ada komputer atau laptop di sana. Namun, tak ada. Tak habis akal, langkah ini bergerak ke ruang kerja yang untung saja tidak dikunci. Aku membuka semua laci.
Mataku melebar kala melihat isi laci kedua. Bukan laptop yang kudapat. Tapi foto-foto yang tak asing buatku.
Siapa ini? Kudekatkan foto itu. Pria yang tampak dari samping itu adalah Mas Zidan, kakakku. Ia tengah mengenakan kemeja digelung hingga siku, dan memakai kacamata hitam. Lalu foto-foto lain dari tangannya yang di zoom, tepat di bagian arloji hingga tampak merk benda tersebut. Ada apa dengan foto-foto ini?
Apa mereka dekat? Sejauh ini yang kutahu mereka tak saling mengenal hingga datang hari pernikahan kami. Jelas-jelas hari itu Mas Yusuf memperkenalkan dirinya. Sebab hari di mana lamaran terjadi, Mas Zidan sedang ada di luar negeri.
Ah, sudahlah. Nanti saja kucari tahu. Ada hal yang lebih penting untuk diurus sekarang!
Nyaris semua tempat kuperiksa, tak kutemukan apa-apa di ruang kerja Mas Yusuf.
Aku pun berlari ke bawah. Menemui Bibi dan anaknya yang tengah bekerja.
"Bi, Bi!" panggilku dengan terengah-engah karena berlari dari lantai dua ke lantai satu.
"Ya, Non." Bibi menghentikan aktifitas dan berbalik menyambutku.
"Em, apa Bibi tahu di mana rekaman CCTV seluruh ruangan ini bisa dilihat?"
"Oh, mungkin di pos satpam depan, Non."
"Pos satpam?" Aku ingin memastikan jawaban Bibi.
Wanita itu mengangguk.
Aku mendesah. Kalau begitu aku harus naik ke atas untuk memakai khimar menutup kepala. Ini melelahkan. Namun, tak masalah jika dengan ini tak ada lagi yang mengganggu pikiran dan hati, yang kemudian menimbulkan banyak prasangka buruk pada suamiku.
Setelah naik ke lantai dua, lalu turun ke lantai bawah lagi, aku pun berlari ke luar. Pos satpam terletak sekitar 500 meter dari rumah. Tepat di pintu gerbang, setelah masuk area rumah kami yang luas.
"Assalamualaikum, Pak."
"Waalaikum salam. Mbak, istrinya, Tuan Yusuf?" tanya pria yang memakai seragam keamanan itu.
"Ya, saya Hanna. Istri Mas Yusuf. Oya, Pak boleh saya melihat rekaman CCTVnya?"
"Ohya, tentu saja, Non. Boleh."
Pria itu kemudian memperlihatkan rekamannya padaku. Mataku melebar menyimak detik demi detik video yang terputar di komputer. Setelah ini, aku akan menangkap basah kamu, Mas!
Bersambung
Kena deh, si Ucup! 😙
1K sub, tripel update besok 😆
"Loh, Pak. Kok rekaman untuk dalam rumah nggak ada?" tanyaku heran. Bukankah seharusnya setiap sudut ruang ada rekamannya karena Mas Yusuf memasangnya di sana."Oh, itu, Mbak. Maaf, kami tidak diberi wewenang Tuan untuk menyimpannya. Mungkin ada di file laptop pribadi beliau." Pak satpam menduga-duga."Kok gitu?""Kata Tuan, bukan karena tak percaya pada kami, Mbak. Tapi ... karena beliau akan menikah, takut aurat istrinya terlihat oleh satpam, yang notabene adalah para pria," sambung pria yang kutaksir usianya di atas 35 tahun itu.Ucapannya membuatku trenyuh. Namun, juga kecewa dalam waktu yang sama. Trenyuh, lantaran Mas Yusuf memperhatikan dan menjaga aurat istrinya. Bukan suami-suami dayuts, yang membiarkan istrinya bermaksiat, tak memiliki ketakutan atas azab Allah sebab tak memiliki kecemburuan atas istrinya.Dari sini, harusnya aku paham dan yakin bahwa Allah
Tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada Allah .... ❤❤❤ Ini terlalu menyesakkan. Wanita mana yang rela diduakan? Belum lagi jika caranya salah, dan mendzolimi wanita itu sendiri. Kalau dia tak mencintaiku dan mencintai wanita lain, yang bahkan mereka sudah punya anak, kenapa dia melamarku? Nggak, Mas! Mungkin kamu membutuhkan wanita kuat dan sholehah untuk bisa menerima keadaanmu yang sudah menyembunyikan wanita lain yang kamu hamili, tapi bukan aku orangnya. Aku menyerah jika ini menyangkut pengkhianatan. Aku memang masih kuat kamu tolak, kamu acuhkan dan menahan sikap dingin Mas Yusuf. Bahkan jika dia belum siap menerimaku sebagai istrinya, aku akan menunggu. Kutatap kaca tembus pandang yang menampakkan asrinya taman halaman luas rumah kami dengan pandangan berkabut karena air mata yang memenuhi pelupuk mata. Menatap rama-rama yang terbang bebas di antara bunga-bunga, rasanya aku ingin kabur saja sekarang. Bebas seperti mereka. Melepaskan semua rasa sakit, cembu
Orang yang dapat menjalankan shalat secara khusyu akan termasuk dalam golongan orang berbahagia, seperti firman Allah : “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya” (Qs AlMukminun [23]: 1-2). ❤❤❤ "Ayo kita bicara, aku akan menceritakan semuanya," ucap lelaki itu. Sontak saja aku yang melihat ke arah lain menatapnya, hingga kudapati Mas Yusuf menatap tajam ke arahku. Dia sangat serius mengatakannya. Bahkan memakai aku dan padamu, bukan Mas atau Dik. Apa dia benar-benar akan menceritakan semuanya? Jika iya, ini kesempatanku mencecar sampai habis semua yang ingin aku tahu semuanya. "Kamu akan mandi?" Mas Yusuf melirik handuk yang sudah nangkring di bahuku. "Hem?" "Mandilah! Aku akan menunggu di ruang kerja," ucap pria itu. "Aku juga perlu sholat lebih dulu," sambung Mas Yusuf, yang kemudian berbalik ke ruang lain yang juga masih di lantai dua. Tanpa menunggu persetujuanku. Ya Rabb. Hamba deg-degan. Apa itu tadi? Kenapa dia sok keren b
"Aku akan menjelaskan dengan cara lain," ucapnya yang kemudian memegangi tubuhku dan menggendongnya begitu saja, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Jantungku seketika berdentum hebat. "Sudah kubilang, aku tak akan menyembunyikan apapun," ucapnya. Kami sangat dekat, hingga kurasakan embusan napas hangatnya saat menerpa wajahku. Apa yang akan dilakukannya sekarang? Apa aku akan dibawa ke bilik itu? Aku bisa merasakan guncangan setiap kaki pria itu mendaki satu per satu anak tangga. Aku terus menatap ke wajahnya, apa yang sebenarnya pria itu pikirkan. "Apa yang akan kamu lakukan, Mas?" tanyaku dengan menatap kesal tepat ke kedua matanya yang menatap ke depan. Mas Yusuf melirik sebentar sambil tersenyum tipis. "Aku akan memberikan semua yang kamu mau," ucapnya datar. "Aku tak minta apapun, cinta atau nafkah batin darimu. Aku tak butuh! Turunkan aku sekarang. Aku ingin melihat video dalam laptop itu." Ucapanku sangat tajam. Aku memang tak menginginkannya lagi. Kejadian buruk
Aku terus menatapnya dengan serius hingga tangan Mas Yusuf menekan angka-angka di tombol pintu.31011994Bukankah itu tanggal lahir Mas Yusuf? Duh, Gusti kenapa tak terpikir olehku sejak kemarin, hingga tak terjadi banyak drama.Mataku kini melebar sempurna karena tak menyangka bayangan yang ditangkap oleh kamera itu. "Seorang gadis? Siapa dia?"Aku syok!Adiknya? Yah, pasti adik Mas Yusuf. Karena suamiku bilang dia tidak pernah melakukan hubungan dengan wanita mana pun. Apalagi sampai menghamili seseorang.Mungkinkah, karena dia sedang frustasi atau lebih buruk mengalami gangguan jiwa, Mas Yusuf mengurungnya di sana. Dan priaku itu merahasiakannya karena malu padaku dan keluarga.Lalu obat penguat kandungan itu? Apa berarti adiknya sedang hamil? Siapa yang menghamilinya? Pacarnya?Kalau begitu, dugaan sem
Aku pun segera membukanya. "Makasih ya, Mas! Aku suka gamis dan ..." Seketika senyumku pudar kala meraba-raba isi tas tersebut. Kenapa cuma ada gamis? Ke mana lingerie tadi siang? Lingerie berwarna dusty pink dalam tas yang Mas Yusuf letakkan begitu saja kala mengantar sang dokter. "Ya. Ada apa, Dik? Kenapa ekspresinya begitu? Apa Dik Hanna gak suka gamisnya?" Mas Yusuf heran melihat reaksiku yang penuh tanya ini. Aku menggeleng. "Em, apa cuma ini, Mas?" "Hah? Oh, Adik mau dua? Atau tiga? Oh, ya ampun maafkan Mas kalau gitu besok biar Mas pesankan lagi." Pria itu bicara, dan sepertinya memang tak berniat memberikan lingerie itu untukku. Kalau begitu untuk siapa lingerie itu? Atau jangan-jangan gadis dalam bilik yang diurus dokter itu ... bukan adiknya? "Aku maunya lingerie sih, Mas," ucapku memancing barang kali dengan begitu dia tersindir dan mengerti. Aku harus tahu kemana perginya benda yang hanya digunakan perempuan saat menggoda suaminya itu berada. Memastikan bahwa ini ta
Tidak membuang waktu kuarahkan kamera ke arahnya. Untuk mengambil foto dari wajah ayu itu. Dadaku naik turun dengan jemari bergetar. Tak menyangka jika akan seberani ini. Nekad masuk ke kamar rahasia milik Mas Yusuf, meski pria itu memintaku bersabar. Maaf, Mas. Aku tak bisa. Aku tak mau terus hidup larut dalam prasangka. Bukan hanya menyiksa, tapi juga menimbulkan banyak dosa. Namun, siapa duga. Mata gadis itu tiba-tiba terbuka saat cahaya blits mengenainya. Ia mengerjap, lalu menatap ke arahku tanpa bangkit dari posisinya. "Kamu siapa?" Suaranya lemah dengan sorot sayu. Apa? Dia tak gila? Dia bisa mengenali seseorang? Tapi kenapa disembunyikan di sini? Aku yang terkejut. Mundur hingga punggung menubruk kulkas di kamar itu. "Ah!" Mas Yusuf rupanya menyiapkan banyak kebutuhan gadis itu, pantas saja dia bisa hidup tanpa keluar kamar. Di sini juga ada kamar mandi. Ah, kalau dia bisa menjaga diri sendiri dan mandiri. Mustahil kalau Mas Yusuf yang memandikannya setiap hari! Itu
"Aku sesuai prasangka hambaku pada-Ku dan Aku bersamanya apabila ia memohon kepada-Ku" (HR Muslim) ❤❤❤ "Jaga ucapanmu! Aku bukan pria yang suka menyakiti wanita dan memaksanya! Dia juga bukan adikku!" tekan Yusuf dengan mata memicing ke arah sang istri. Deg. Seketika air mata menerobos membasahi pipi Hanna. Dia syok. Pikiran-pikiran buruk yang terus berkelebat di benak sejak semalam terjadi. Entah, Allah menimpakan itu sebagai bentuk sangkaan kuat yang dikabulkan atau sebagai hukuman atas dosanya? Hanna tak mengerti. Hanya saja, lalau bukan adiknya lalu siapa? Itulah yang membuat isi kepala wanita yang matanya dipenuhi kaca-kaca terasa buntu. "Lalu siapa?!" ucap Hanna menyolot. Walau hatinya begitu perih. Dia wanita kuat, yang kini sebagian hatinya telah hancur. "Dia istriku! Puas!!!" teriaknya lagi persis di depan wajah Hanna. Bahkan sampai wanita itu terhentak memejam mata. Seketika tubuh kurus itu luruh. Rasanya seperti disambar petir ketika mendengar pengakuan prianya. Kala