EP11 - Malam Pertama
"Apa kamu sudah siap?" tanya Henry yang sudah berdiri di depan ranjang. Di mana Adelia tengah memeluk putrinya.
Henry merasa sudah sangat bersih sekarang. Mandi dan menggosok tubuhnya lebih dari setengah jam. Menggosok gigi dan memakai parfum di mulutnya. Juga menyemprotkan ke seluruh tubuh yang hanya dibalut pakaian handuk.
"Hem?" Mata gadis kecil di pelukan Adelia sontak membuka sempurna.
Saat itu Adelia memejamkan mata.
Henry tampaknya tak tahu bagaimana harus mengatasi kondisi anak kecil yang akan tidur. Ini saja dia perlu mendongeng, bercerita tentang masa kecilnya, juga menjanjikan banyak hal menyenangkan untuk putrinya kalau dia mau tidur dengan cepat.
Akan tetapi ... sekarang. Hanya dalam hitungan detik, Henry mengacaukannya.
"Ayah mau ke mana Bunda? Aku boleh ikut kan?"
"Huhhh. Sabar ....." Adelia mengenbus berat. Ia kemudian melirik pada Henry yang tampaknya juga sangat kecewa kala melihat gadis k
EP Terakhir - Pujian"Pa, belum tidur?" tanya Zidan pada papanya yang tengah duduk di ruang kerjanya menatap layar komputer. Ia sengaja bertanya, sebagai isyarat meminta izin meminta masuk dan menggangu sang papa."Oh." Papa Zidan yang juga papa dari Hanna itu sontak mendongak. Menatap ke pintu, di mana asal suara datang.Meski pria tua itu tampak sibuk memandangi komputer, namun, kenyataan ... pikiran pria paruh baya itu tak sedang ada di sana. Ia terus kepikiran pada munculnya Alex di depan mereka hari ini. Seseorang yang ia pikir akan mendekam di penjara lebih lama.Putra sulungnya itu lalu masuk ke dalam. Ia duduk di sofa yang jaraknya berdekatan."Apa Papa tahu sesuatu tentang Alex?" Zidan menyampaikan kekhawatirannya melihat sosok Alex tadi pagi.Ia ingin menghubungi pemuda yang dulu jadi teman dekatnya tersebut. Akan tetapi, takut jika masalah justru akan bertambah rumit.Pria paruh baya itu menggeleng. "Aku tak tahu apa pun."
Akad nikahku dan Mas Yusuf digelar di rumah kami. Pernikahan yang terjadi tanpa pacaran. Bahkan hanya taaruf sebulan, aku langsung setuju untuk menikah dengannya.Mataku menyipit, menajamkan penglihatan kala tampak luka seperti bekas cakaran di tangan suamiku. Bekas yang merah kecoklatan itu sebagian tertutup lengan tuxedo yang dikenakannya."Dik Hanna," panggil Mas Yusuf yang membuatku terhenyak."Ah, ya." Segera kucium punggung tangan lelaki tampanku itu. Saat melihat senyumnya yang menawan segala pertanyaan mengenai bekas cakaran itu menghilang dari pikiran.Usai acara yang dilangsungkan, Mas Yusuf pamit pada keluarga, akan memboyongku ke rumahnya.Sepanjang jalan aku tersipu setiap kali melihat ke arah Mas Yusuf dan ternyata pria itu juga menatap ke arahku. Mungkinkah debar jantung yang kurasa Mas Yusuf juga merasakannya?
Mataku semakin menyipit. Menajamkan pandangan untuk memindai keberadaan sosok itu. Apa itu Mas Yusuf suamiku?Jika iya, apa yang dilakukan tengah malam begini di dalam ruangan yang katanya adalah gudang? Apa ini ada kaitannya dengan penolakannya tadi? Jangan-jangan dia penganut ilmu hitam dan aku adalah tumbal pengantinnya?Aku segera menyembunyikan diri dengan menarik tubuh ke kamar kembali. Melihat kenyataan sebelumnya, bahwa Mas Yusuf seolah menyembunyikan isi kamar itu dariku.Merasa pria itu sudah masuk aku segera mendekat ke arah bilik tersebut untuk mencari tahu. Seiring langkah, perasaan curiga dan kesal karena dibohongi Mas Yusuf berkecamuk memenuhi pikiran. Berbagai prasangka berkelindan dalam benak, bersamaan langkah yang mengikis jarak antara aku dan keberadaan pria itu.Kini aku sudah berada di ujung koridor. Mengamati pintu yang tertutup rapat di hadapan. Mataku melebar. Ada
Namun, antara kenyataan dan mimpi, aku mendengar suara orang berteriak. Suara seorang wanita. Aku pun terbangun dalam kondisi duduk karena terkejut."Allohumma inni a'zubika min 'amalis syaithoni wa sayyi-atil ahlam."Ya Allah, benarkah itu tadi mimpi? Tapi, kenapa rasanya sangat nyata?Tak lama suara dari pintu terdengar, aku pun sontak menoleh dan kembali terkejut, rupanya itu adalah Mas Yusuf yang datang."Ada apa, Dik?" tanyanya yang berjalan semakin mendekat.Napasku naik turun. Selain kaget, jujur saja ada rasa takut yang merayap memenuhi pikiran."Dik Hanna mimpi buruk?"Aku menggeleng. Ini terlalu nyata unruk disebut mimpi. Meski aku sendiri tak yakin."Aku gak tau, Mas. Mimpi atau nyata?""Mas, ke mana? Aku sendirian menunggu Mas di sini?" tanyaku, pura-pura tak tahu apa ada di mana
Dari tangan kanan yang tak lagi tertutup apapun itu, aku bisa melihat bekas luka cakaran lebih jelas dari kemarin. Argh, bikin penasaran saja bekas cakaran siapa itu? Setelah nanti kami mulai akrab aku pasti akan menanyakannya. Rasanya sangat aneh jika tiba-tiba aku menanyakan itu sekarang.Kenapa dia keramas segala? Kami bahkan tak melakukan apapun. Apa yang sebenarnya kamu perbuat di bilik itu Mas? Bermain dengan wanita lain? Atau kamu sedang melakukannya sendiri? Itu kenapa Mas Yusuf tak mau menyentuhku.Lelaki itu terus berjalan ke arah almari, ia tampak tak memahami maksudku. Aku jadi bingung sendiri mau bertanya lagi. Masa iya aku tanya 'Kamu tidur sama siapa?'Kami bahkan belum seakrab itu, belum lagi dia yang tak mau menyentuhku juga penolakannya yang meruntuhkan seluruh harga diriku semalam. Padahal aku sudah mau cuek dan tak peduli soal dia masuk bilik itu, tapi kenapa malah sekarang keramas
Obat? Siapa yang sakit? Sejauh ini aku melihat Mas Yusuf sehat-sehat saja. Dan lagi bukankah dia bilang tak lagi punya keluarga. Lalu untuk siapa obat itu?Jangan-jangan ....Lagi, pikiran ini traveling ke mana-mana. Walau bagaimana aku wanita biasa. Perlu kejelasan terhadap sebuah hubungan. Apa aku tak berhak tahu semua tentang dirinya?Selama Mas Yusuf bicara pada dokter, aku terdiam dan berusaha mencerna apa yang sebenarnya mereka obrolkan."Tapi aman kan, Dok?" tanya suamiku.Untuk siapa obat itu? Sakit apa sampai dokter yang menanganinya?Anehnya, kalau aku tak boleh tahu, kenapa dia tak pergi menjauh saat bertelepon? Apa dia sengaja membuatku berpikir buruk tentangnya?Ah, suami macam apa yang begitu?"Oh, ya sudah kalau begitu, Dok. Ehm, nanti saya hubungi lagi. Saya tunggu," ucapnya mengakhiri panggilan."Kok nggak pak
Begitu membuka pintu, telah berdiri dua orang di depanku. Satu orang wanita paruh baya, satunya lagi seorang perempuan kisaran usia 20 tahun, sepantaran denganku. Cantik, dan mataku menyipit melihat tangannya memegangi perut yang agak buncit. Hamil atau hanya kelebihan lemak di perutnya? Sepertinya dia hamil. Kalau timbunan lemak, sangat tak masuk akal karena tidak proposional dengan tubuhnya yang kurus.Siapa mereka? Apa jangan-jangan, dokter yang dipanggil tadi untuk memeriksa perempuan cantik ini, yang ternyata adalah simpanan Mas Yusuf?Ah, ini gila. Prasangkaku sudah di level akut. Belum lagi aku dapat jawaban siapa wanita di bilik lain lantai dua, sekarang ada perempuan cantik yang datang ke rumah kami. Hamil pula!Mas Yusuf, siapa kamu sebenarnya?"Si, si, siapa?" tanyaku. Sambil mengamati perempuan cantik di hadapan. Jujur, kecantikan yang alami, khas gadis desa tanpa polesan make-up it
Firasat ini sangat kuat, ya Rabb. Ampuni hamba, jika ini adalah bagian kesalahan yang membawa pada dosa, karena terus berprasangka buruk pada suami. Lelaki yang Rasulullah katakan andai manusia boleh bersujud, maka kami para istri diperintahkan bersujud pada suaminya.❤❤❤Sambil berjalan ke arah tangga menuju lantai atas aku berbincang dengan Mbak Indah, kakak iparku melalui telepon."Oh, jadi lagi ngerayain. Sampe jam berapa, Mbak?""Kayaknya jam 12 udah selesai, sih.""Gak papa, dah. Siang-siang ke sininya.""Cie, yang baru boyongan. Iya, iya. Apa sih yang nggak buat kamu.""Hehe, makasih, ya, Mbak. Maaf banget ya gak bisa datang ke acaranya Zio. Tapi aku udah siapin kado buat dia.""Iya, santai aja.""Oya, apa Mas Zidan datang?" tanyaku menanyakan keberadaan saudara sulungku. Lelaki itu m