Altair nongkrong bersama teman-temannya karena Bintang menolak untuk pergi dengannya. Mereka duduk di atas motor yang terparkir di dekat mall.“Tumben ga ngajak Bintang?” tanya Aldo—teman Altair.“Dia lagi dihukum maminya, entah saja kenapa dia nurut banget ke maminya,” jawab Altair yang sedikit kesal karena Bintang menolak ajakannya.“Ya, mungkin karena dia anak berbakti, bro! Seharusnya lu bangga punya pacar kek gitu.” Aldo menepuk-nepuk pundak Altair saat bicara.Altair mencebik kesal, merasa jika hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan hubungan mereka. Baginya itu pacaran ya bisa pergi bersama, jalan bersama, tanpa alasan ini dan itu.Saat Altair dengan berbincang dengan teman-temannya, Clarisa muncul di sana bersama dua teman lainnya.“Al! Wah ga nyangka ketemu lu di sini,” ucap Clarisa dengan nada centil.Clarisa memang menyukai Altair dari kelas satu, tapi sayangnya Altair tidak pernah meliriknya, bahkan saat kelas dua malah jadian dengan Bintang, membuat Clarisa sedikit kesal.
Bintang duduk di atas ranjang sambil memeluk guling dan meletakkan dagu di ujung guling. Ditatapnya origami bintang yang tergantung di jendelanya. Hingga kelopak matanya terpejam, lantas dia mengingat kenangan saat dirinya masih duduk di bangku taman kanak-kanak, kepingan ingatan yang sebenarnya kini tinggal potongan kecil dan hampir terlupakan.“Apa kamu suka sekali origami ini? Sampai-sampai kamu mau menukar makanan dengan ini?” tanya seorang anak laki-laki ke Bintang kala mereka berada di TK.“Bintang suta, bahkan menggantungnya di kamar biar bisa dilihat terus,” jawab Bintang yang saat itu masih cedal dan tidak bisa menyebut huruf ‘K’.“Padahal kamu bisa buat sendiri, aku sudah mengajarimu,” kata anak laki-laki itu lagi.Bintang mengerucutkan bibir, kemudian bersedekap dada seolah sedang merajuk.“Tida’ mau, buatan Langit lebih bagus!”Bintang membuka kelopak mata setelah selesai mengingat potongan kecil kenangan masa di mana dia memiliki teman yang sangat sabar kepadanya. Jika di
Mulut Bintang menganga mendengar apa yang diucapkan pemuda di hadapannya itu. Dia merasa kesal karena menganggap pemuda itu banyak bicara sedangkan tidak tahu apa-apa. “Apa maksudmu?” tanya Bintang kesal. Langit maju satu langkah, membuat Bintang sedikit mundur. “Terkadang apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu sangka. Lebih baik menjauh daripada nantinya sakit hati,” jawab Langit sambil menatap dua bola mata Bintang secara bergantian. Bintang menelan ludah karena tatapan Langit, entah kenapa jantungnya pun kini ikut berdegup dengan cepat. “Lu jangan sok tahu!” Bintang bicara dengan nada ketus karena kesal, padahal awalnya ingin bersikap sopan. “Kalau tidak percaya ya sudah, yang terpenting aku memperingatkanmu,” balas Langit seolah mengabaikan rasa kesal yang bercokol di dada Bintang. “Dasar aneh!” Bintang benar-benar kesal, kemudian menghentakkan kaki dan pergi meninggalkan Langit. Langit menatap punggung Bintang yang berlalu dari pandangan matanya, tersenyum tipis saat
Bintang memalingkan wajah, meski kedua tangan memegang bahu pemuda yang kini duduk di depannya. Dia terpaksa menerima tawaran Langit, karena Pak Ujang terus memaksa dirinya agar ikut bersama Langit saja. “Rumahmu yang sebelah mana?” tanya Langit saat motor yang dikendarainya mulai memasuki area perumahan tempat Bintang tinggal. “Masih maju nanti rumah gerbang hitam yang depannya ada pohon mangga,” jawab Bintang tapi masih tidak menolehkan wajah. Langit tersenyum tipis, kemudian memacu motor menuju rumah dengan ciri yang disebutkan Bintang. Akhirnya mereka pun sampai, Bintang buru-buru turun karena tidak mau berlama-lama dengan pemuda yang sempat membuatnya kesal. Langit menatap Bintang yang berjalan ke gerbang tanpa mengucapkan terima kasih, hingga gadis itu tiba-tiba berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya. “Terima kasih,” ucao Bintang meski dengan sedikit nada ketus. Dia hanya merasa tidak sopan kalau pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata itu. Langit tersenyum mendengar u
Hari berikutnya, Bintang berangkat ke sekolah dengan perasaan gelisah yang bercampur dengan penasaran. Sejak semalam dirinya tidak bisa menepis pikiran jika Langit teman sekelasnya, adalah Langit teman masa kecilnya. Saat baru saja turun dari mobil, Bintang melihat Langit yang juga baru saja memasuki halaman sekolah dengan menaiki motornya seperti biasa. Kedua kaki Bintang berhenti melangkah, bergeming di tempatnya dengan tatapan terus tertuju ke Langit. “Masa gue nyapa dia dulu, lalu tanya apakah dia Langit itu?” Bintang menekuk bibir, bingung harus bagaimana. Dulu dia sangat berharap bisa bertemu lagi dengan Langit teman masa kecilnya, tapi sekarang dia malah bingung harus bagaimana setelah mengetahui teman masa kecilnya ada di sekitarnya. “Tidak bisa! Gue harus memastikan atau akan mati penasaran!” Bintang memberanikan diri melangkah untuk menghampiri Langit. Dia ingin bertanya langsung apakah benar jika pemuda itu memang mengenalnya sejak kecil. Di saat baru saja melangkahk
Altair berjalan bersama Clarisa di belakang gedung tapi arah berbeda dari tempat Bintang dan Langit berada. Clarisa sengaja mengajak Altair ke sana karena cowok itu tidak sedang bersama Bintang. “Mau apa ke sini?” tanya Altair, mengamati sekitar dan tidak melihat siapapun di sana. Clarisa mendorong sedikit tubuh Altair hingga merapat ke dinding, hingga gadis itu berdiri sedikit merapat ke tubuh Altair. “Gue bosan kalau di sekolah harus lihat lu sama Bintang, mumpung ga ada Bintang, kenapa kita ga manfaatin saja waktu yang ada,” ucap Clarisa terus merapatkan tubuh ke Altair. Altair menaikkan satu sudut alis, hingga mengerti maksud gadis itu. “Lu agresif juga,” ucap Altair sambil mengapit dagu Clarisa. Clarisa tersenyum, menganggap ucapan Altair adalah sebuah pujian. Dia mendekatkan wajah, hendak menyentuhkan bibir mereka. Altair tidak keberatan berciuman dengan gadis itu, bukanlah Clarisa sendiri yang mau dan menawarkan diri, bukan dirinya yang meminta atau memaksa. Saat bibir
“Bintang!”Suara panggilan itu membuat Altair berhenti dan tidak jadi mencium Bintang. Altair mengepalkan satu tangan karena ada yang mengganggunya saat hendak memanfaatkan kecempatan untuk mencium Bintang."Sialan," gerutu Altair dalam hati.Bintang sendiri merasa lega karena mendengar suara Anta, bersyukur karena kakak sepupunya itu memanggil.Altair dan Bintang menoleh ke arah Anta yang sedang berjalan ke arah mereka. Cowok itu menghampiri dengan cepat keduanya.Sesaat sebelumnya. Langit memilih pergi ke arah lain setelah Bintang pergi, ingin rasanya mengikuti Bintang dan Altair, tapi takut jika gadis itu marah karena dirinya mengabaikan isyarat Bintang. Hingga Langit tidak sengaja bertemu dengan Anta yang memang sedang mencarinya.“Dari mana saja, lu! Gue cariin juga!” Anta berjalan mendekat ke Langit, hingga sadar jika temannya itu terluka seperti baru saja ditonjok.“Kenapa bibir, lu?” tanya Anta sambil memperhatikan ujung bibir Langit.Langit menatap Anta, hingga pikirannya mem
Bintang mengajak Langit ke kelas. Di sana dirinya membantu membersihkan luka di ujung bibir pemuda itu. Entah kenapa tidak ada rasa canggung, mungkin karena dulu mereka sudah bersama dan menghabiskan waktu bersama pula.“Maaf kalau Al kasar kepadamu,” ucap Bintang dengan tatapan penuh perhatian mengobati luka Langit.Anta bersedekap dada, menatap penuh curiga ke Bintang dan Langit, apalagi tadi pertanyaannya belum dijawab oleh keduanya.“Kalian sudah kenal lama? Bukankah kemarin masih seperti orang asing?” tanya Anta yang tidak bisa membendung rasa penasaran yang membuncah di dada.Langit dan Bintang menoleh bersamaan, lantas tersenyum lebar bersamaan juga.Anta berjingkat melihat sikap keduanya, kenapa bulu kuduknya merinding melihat tatapan mereka.“Jangan bilang kalian benar-benar pacaran tapi backstreet!” Anta menduga-duga karena baik Langit atau Bintang tidak ada yang buka suara. Jika itu benar, bukankah adik sepupunya itu berselingkuh dari Altair.Langit ingin membuka mulut untu