Bintang terduduk lemas di tanah begitu Langit pergi. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya, menyembunyikan wajah dan menangis sejadinya. Bintang tahu bahwa keputusannya tidak hanya menyakiti Langit, tapi juga menyakiti diri sendiri. Namun, semua keputusan itu dilakukan karena dia takut dan tidak bisa melihat Langit sedih jika mengetahui dirinya sakit. Dia lebih rela dibenci, daripada melihat orang yang dicintainya menangis. “Bin.” Anta ternyata menyusul Bintang setelah melihat Langit pergi. Dia kini melihat adik sepupunya itu duduk di tanah sambil menangis. Bintang mengangkat wajah, kemudian menatap Anta yang memandangnya iba. Bintang tiba-tiba semakin menangis, membuat Anta terkejut dan langsung memeluk Bintang. Bintang pun akhirnya meluapkan rasa sesak di dada, perpisahan dengan Langit sebenarnya menghancurkan dirinya sendiri. “Lihat dirimu, Bin. Apa kamu yakin ingin putus dengan Langit? Kamu tahu jika tidak bisa, kenapa memaksa? Langit harus tahu alasanmu, Bin. Jangan menyakiti
Joya melotot mendengar ucapan Langit, kenapa putranya tiba-tiba ingin kembali pindah sekolah. Sungguh hal ini membuat Joya begitu pusing. “El, jangan bercanda!” “Aku tidak bercanda, Mi. Aku mau pindah sekolah, aku mau keluar negeri,” ujar Langit meyakinkan. Joya memegangi kening sambil mendesis, kemudian menatap putranya dan kembali berkata, “Kamu sebentar lagi ujian, El. Jangan mengada-ada.” “Aku tidak mengada-ada. Aku mau pindah, segera, secepatnya! Jika Mimi tidak mengabulkannya, maka aku tidak akan pernah melanjutkan studiku, biar saja aku tidak memiliki pendidikan!” ancam Langit. Joya semakin syok, bahkan dadanya mendadak sesak karena tidak ada oksigen yang bisa masuk ke paru-parunya. Asisten Joya sampai menopang tubuh atasannya itu, karena Joya hampir limbung. “El, mimi mohon. Jangan bercanda,” ucap Joya sambil mengatur emosi dan juga napas yang terasa berat. “Aku tidak bercanda, Mi. Mimi pilih memindahkanku, atau aku tidak akan pernah mau sekolah.” Joya menatap Langit de
Bintang selalu menemani langit di malam hari, memberi gelapnya langit malam dengan taburan cahaya yang memancar begitu terang. Namun, bagaimana jika langit tiba-tiba tidak terlihat, hanya ada bintang yang berpijar, seolah langit sedang berkhianat kepada bintang yang selalu setia.**Suara pintu terbuka terdengar begitu pelan, ruangan yang awalnya gelap kini terkena sedikit cahaya dari luar. Sepasang kaki telanjang terlihat berpijak di lantai dengan sangat perlahan, takut jika siapa yang ada di dalam rumah itu terbangun kemudian menunjukkan murkanya.Seorang gadis terlihat mengendap-endap masuk setelah menutup pintu dengan rapat. Hingga langkah terhenti ketika lampu ruangan itu tiba-tiba menyala dan memperlihatkan seluruh isi ruangan.“Mami,” lirih gadis itu sambil memejamkan mata. Tubuhnya tiba-tiba berubah kaku dan tegap seperti patung tanpa gaya.“Dari mana kamu? Bagus sekali jam segini baru pulang.”Suara seorang wanita terdengar menusuk di telinga gadis tadi, meski tak begitu lant
‘Ingin kumenatap tapi apalah daya kini hanya ada hal semu yang tak nyata. Kutak bisa menggapainya, bahkan menemukannya pun tak bisa.’ ** Suara alarm terdengar memekakkan telinga. Bintang semalam tidur terlalu malam hingga ketika benda berbentuk bulat dengan dua jarum yang berputar terus berdering, tak mampu membuatnya terbangun. “Bintang! Sayang! Bangun! Kamu harus ke sekolah!” Suara teriakan sang mami mampu membuat Bintang terbangun. Dengan malas Bintang meraba nakas dan mematikan alarm yang sejak tadi terus berbunyi. Dia mencoba membuka kelopak mata yang terasa lengket, hingga tatapan tertuju ke jendela di mana gorden sudah melambai karena tertiup angin. Sebuah benda tergantung di dekat jendela, origami berbentuk bintang diikat rapi pada sebuah tali dan menjuntai ke bawah hingga setengah kusen jendela. Bintang membuka kelopak mata lebar, melihat origami bintang dan memandangnya begitu lama. “Meski langit ada, tapi aku tak pernah bisa menatap Langit.” Gadis itu memilih bangun
‘Kita berada di semesta yang sama, cepat atau lambat pasti akan bertemu. Bukankah begitu?’**Bintang terlihat bingung harus melanjutkan langkah atau tidak, cowok yang terkena lemparan kotak susunya, ternyata berada di satu sekolah yang sama.“Tunggu, bukankah dia tadi tidak melihatku,” gumam Bintang mengingat.Ah … benar juga, untuk apa Bintang takut sedangkan cowok itu tak melihat dirinya dan hanya melihat Orion.Bintang pun akhirnya melangkah dengan riang, berpura tidak terjadi apa pun tadi dan bersikap seolah dirinya bukan tersangka.Cowok yang tadi terkena lempar kotak susu, sudah turun dari motor yang terparkir di tempat khusus. Cowok itu melepas helm yang dikenakan, membuat rambut sedikit berantakan lantas disisir menggunakan jemari.Beberapa siswi yang melihat langsung berhenti melangkah, mereka memandang ke arah cowok tadi dengan mulut menganga.Bintang yang melihat pun berhenti berjalan, memandang cowok yang baru saja dilihatnya pagi ini di sekolah.“Wah, apa dia murid baru?
‘Bumi yang kita pijak sama, langit yang ditatap pun sama. Namun, kenapa alam belum mempertemukan kita.’**“Kamu duduk di belakang Bintang.”Guru meminta anak baru itu untuk duduk di belakang Bintang, cowok itu mengangguk sambil membetulkan letak tas yang tersemat di satu pundak, sebelum tatapan tertuju ke Bintang.Bintang terlihat salah tingkah, hanya takut jika cowok itu mengenalinya sebagai pembuang sampah sembarangan.“Dia keren juga,” bisik Anta.Bintang tak mendengarkan ucapan Anta, masih kebingungan jika cowok itu sebenarnya menaruh rasa kesal kepadanya.Cowok bernama L Eldar Abimand itu berjalan ke arah meja yang berada di belakang Bintang. Hingga langkah melambat saat hampir sampai di samping Bintang.Bintang sedikit memalingkan wajah, sudah ketakutan jika cowok itu mengenali dan mempermasalahkan kejadian tadi pagi.Anta sendiri terus memperhatikan Bintang yang bersikap aneh baginya. Hingga dia menatap teman sekelas barunya yang melangkah menuju meja belakang mereka.Anta men
El menaiki motor besarnya dan langsung pulang ke rumah setelah sekolah usai. Cowok itu memasukkan motor ke garasi begitu sampai di rumah mewahnya.Turun dari motor sambil mencangklong tas di satu pundak, El berjalan masuk karena ingin segera ke kamar untuk mandi setelah seharian berkeringat karena kegiatan di sekolah.“El, kamu sudah pulang.” Wanita yang tak lain adalah ibu, memanggil dan menyapa cowok itu.Namun, El tak mendengar panggilan wanita itu, hingga masih terus mengayunkan langkah menuju ke tangga.“El! El! Langit!” teriak wanita itu karena merasa tak diacuhkan sang putra.El atau yang kerap disapa Langit, menghentikan langkah saat ibunya memanggil dengan nama panggilan aslinya. Dia berhenti melangkah di anak tangga pertama, lantas menoleh dan melihat ibunya di ruang keluarga sudah berdiri sambil memandang ke arahnya.“Mimi panggil juga, kenapa tidak menyahut?” Wanita berumur lima puluh tahun itu terlihat kesal karena sang putra mengabaikannya.El adalah nama yang diberikan
"Di mana El? Jangan bilang dia bangun kesiangan lagi.” Kenzo—ayah Langit, melipat koran untuk bersiap sarapan.“Jangan panggil dia El, anakmu itu lebih suka dipanggil Langit,” tegur Joya karena sudah beberapa kali memanggil dengan nama El, tapi putranya tidak mau mendengar.“Sepertinya nama itu memang memiliki arti lain untuk dia, Mi,” timpal Cheryl—kakak angkat Langit.Joya menghela napas kasar, berjalan ke arah tangga untuk memanggil putranya yang selalu kesiangan.“Langit! Turun dan sarapan atau kamu akan terlambat ke sekolah!” teriak Joya dari bawah anak tangga, memandang ke lantai dua di mana kamar Langit berada.“Aku datang!” Terdengar suara teriakan Langit dari lantai dua.Pemuda itu tampak berlari saat menuruni anak tangga, membuat Joya menggelengkan kepala melihat kelakuan putranya.“Pagi, Mi.” Langit langsung mencium pipi Joya.Joya langsung mengusap kasar rambut putranya setelah Langit mencium pipinya. Remaja itu kini sudah sangat tinggi, sama dengan sang ayah yang memang m