Aku mengurungkan niat masuk ke dalam kamar mandi, karena enggan terlibat sesuatu yang mengerikan. Ternyata. itulah tempat ternyaman bagi sosokyang menggangguku semalam.
Awalnya aku berniat menunaikan salat subuh namun, dengan kondisi seperti ini bagaimana aku mengambil wudhu? Aku memilih untuk salat di luar hotel, tepatnya di Musala terdekat setelah bertanya ke penjaga hotel.
Sepulang dari Musala, aku membereskan semua barang-barangku dan meninggalkan hotel yang penuh dengan sosok-sosok aneh.
Sebelum meninggalkan hotel, aku memeriksa ponsel yang dititipkan padaku. Apakah alamat yang akan kutuju di kirim oleh orang yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Ibra, saat dia meneleponku. Ternyata sudah ada di kotak pesan, dikirim saat aku terlelap.
Aku bergegas ke sana meski masih terlalu pagi. Dengan dua kali menaiki angkutan umum dan harus berjalan kaki sedikit jauh. Akhirnya aku sampai namun, sambutan satpan sangat membuatku kesal.
"Pagi-pagi cari
Aku di antar sampai bertemu dengan sosok laki-laki yang memakiku di telpon tanpa mau mendengar penjelasan apa-apa. Lalu, saptam itu pamit untuk kembali berjaga. Suasana di sini sangat dingin hingga menusuk tulang. Rumah ini mewah nan luas namun, di hiasi kesunyian yang nyata. Aku sedikit menjauh dari pria paruh baya ini, karena di belakangnya berdiri sosok yang menakutkan. Namun, makhluk itu seolah mengikuti gerakan manusia di depannya. Pak Ibra mempersilahkanku untuk duduk, di mana sudah disiapkan jamuan untukku. Ada keuntungan aku memiliki penglihatan ini, ya, aku dapat meliat beberapa makhluk menjilati makanan yang terhidangf di meja. Berkali-kali pak Ibra menyuruhku untuk makan namun, kutolak secara halus dengan alasan masih kenyang. Pak Ibra dengan santai memakan makananya dan aku hampir muntah melihatnya. Dia memakan sesuatu seperti daging mentah, tepatnya hati. Membuat sekujur tubuh kaku, tidak dapat membayangkannya jika aku ikut makan bersamanya.
"Kaget Pak, ada semut," jawabku asal. Saat pak Ibra kembali duduk, sosok di bawah meja menampakkan dirinya lagi. Dengan mata sendu dia menatapku. Saat ingin berbicara, dia ditarik oleh sosok yang selalu berdiri di belakangnya. Meski terkejut, aku berusaha tenang karena tidak ingin membuat pak Ibra curiga. Akhirnya aku menyanggupi permintaanya untuk memberikan uang-uang itu pada keluarga korban. Anggap saja permintaan maaf kami ujar pak Ibra. Aku pun berpamitan dan melangkah keluar. Terdengar denting dari piring dan sendok yang beradu. Aku yakin, Pak Ibra melanjutkan memakan organ itu lagi. Tentu saja membuat, perutku mual. Sesampainya di gerbang, aku melihat pak satpam sedang ber SMS ria. "Pak, tolong bukain pintu," Dengan sedikit berteriak aku meminta dan sukses membuatnya terkejut. "Alhamdulillah baik, Neng." Lalu dia membukakan pintu gerbang. Setelah keluar aku membalikan badan, ingin mengucapkan terimakasih. Namun, pemandanga
Setelah memberikan amanah untuk keluarga Nora, perjalanan ku lanjutkan kekampung sebelah dengan berjalan kaki. Karena jarak lumayan dekat, irit ongkos pikirku. Tapi pandangan sesosok wanita yang ku temui saat keluar dari rumah Nora selalu mengikuti langkahku, tak gentar sih hanya risih saja dipandangi saat kita berjalan. Aku coba membaca diary James dengan teliti, kenapa dia sampai menjadi segila itu. Hingga memilih mati bersama wanita-wanita yang pernah menemaninya. Membaca lembar demi lembar tanpa melihat ke jalanan yang lengang ini, tidak sadar aku terduduk diam membaca setiap bait tulisannya. Membuatku sedikit mengerti mengapa dia memintaku untuk memberikan amanah ini. Mungkin karena inilah yang membuat James, memilih mengakhiri dirinya. "Aku akan berhenti jika ada wanita yang tidak tertarik pada ketampan wajahku, pada mulusnya kulitku, pada lembutnya kata-kataku, pada gemerlap yang aku punya. Aku tak tahu kapan waktu itu akan tiba, tapi aku berhara
"Sudah Nak, sampai terjual rumah kami untuk ongkos mencarinya. Tapi tidak kunjung bertemu," Tidak disadarinya embun itu menetes sempurna dari mata rentanya. Aku membuka diary James dan melihat nama wanita cantik tersebut, lalu menanyakan kepada pria tua itu. "Siapa namanya Pak?" Tanyaku lirih. "Indriani, dia anak yang baik tapi bertemu pria yang tidak baik. Bapak sudah menasehatinya tapi tidak didengarnya, dia bilang pria itu mencintainya. Bapak dan Ibu akhirnya menyerah hingga kami tak pernah bertemu lagi," Dengan menahan sesak pria tua itu bercerita. Aku mengambil poto dalam tas, dan menunjukkan pada pria tua itu. Kuperlihatkan tetapi dia merasa tidak percaya jika aku mengenal putrinya. "Kamu kenal di mana? Di mana dia sekarang? Apa dia bahagia? Apa dia menderita? Apa ada yang terjadi? Ibunya pernah bermimpi Indri minta tolong lalu menghilang," tanya pria itu tanpa jeda. "Saya kenal anak Bapak di J
"Kamu lapar? Bik ... bik Inah?" tanyanya lalu dia berteriak memanggil pembantunya. Tidak lama pembantunya datang dan menanyakan apa yang perlu dikerjakan. Setelah memberi instruksi si Ibu mengajakku ke arah ruang makan. Karena tidak ingin menolaknya, akupun mengikutinya. Beberapa hidangan sudah tertata rapi dimeja dan bik Inah mennyiapkan makanan untuk Ibunya Lia. Akupun mengambil makananku lalu memakannya. Tidak ada pembicaraan apapun selama kami makan. Selesai makan si Ibu mengajakku ke kamarnya. Bingung dengan ajakkannya aku melihat ke arah Bik Inah dan dia hanya mengangguk. Namun, ada poto Pak Ibra menggantung di dekat kamar si Ibu. Meski di dalam poto, Pak Ibra menampakkan kekuasaannya dan aku merasa ada sepasang mata yang mengawasi dari balik poto itu. Rasa debaran di dada menguat tatkala aku memasuki kamar si Ibu. Aura yang sangat menakutkan menguar begitu saja saat pertama pintu terbuka. Padahal ruangan ini rapih dan bersih, aku menggenggam tang
Dengan kasat mata, mereka tidak bisa melihat darahku yang terkuras. Bagaimana bisa darahku terkuras sedangkan aku tidak melihat sesuatu yang membuatku terjerumus, jika seperti ini kematian akan mengintaiku lambat laun. Harus secepatnya keluar dari rumah ini atau akan berakhir sebelum ajalku datang. Saat melewati poto Pak Ibra, terlihat senyum tersungging di sana yang sejak awal tidak terlihat, membuat degup jantung tidak beraturan. Tidak lama melewati poto, aku melihat sosok wanita cantik bergaun merah darah, tapi tidak di seluruh bajunya. Menatapku nyalang dan menyeringai puas. Terasa keram di beberapa bagian tubuhku, hingga kucoba mempercepat langkahku. Aku memberi pesan pada Bik Inah agar menjaga Ibunda Lia dengan baik untuk malam ini. Kurasakan debaran tidak menentu hingga membuatku sangat sesak. Sosok itu masih diam di sana menatapku tidak berpaling. Selama ini tidak pernah aku merasakan ketakutan yang cukup berarti saat menghadapi makhluk astral.
"Huust ... Bicara yang sopan Sopyan!" seru Umi. "Maaf, Umm" Dengan menunduk dia menjawab. "Bukannya saya takut kematian, tapi amanah yang saya pegang belum tuntas semuanya. Apa harus saya berikan ke orang lain?" jawabku, kesal. "Abah tidak menakutimu Nak, yang kamu hadapi adalah kekuatan Iblis laknatullah! Juga dari berbagai bangsa jin." tegas Abah. "Umi akan mendampingimu, Nak." tambah Umi. Pernyataan Umi membuat Abah sedikit ragu, digenggam tangan sang istri dan memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Aku yang merasa sedikit aman mendadak tegang sekali. Sekujur tubuhku mati rasa, membuat ketiga orang di depanku terperangah. Umi langsung menarik meja menjauh dan mengangkat kakiku, lalu memberi perintah pada Sopyan agar mengambil garam kasar dan memetik daun bidara juga mengambil seember air. Mereka begitu panik melihat aku hampir kesulitan napas. 'Aah ... Kematian sudah menjemputku.' pikirku. "Bukan, N
"Tapi Umi, kantukku teramat sangat. Terlalu lemah tubuhku," jawabku. "Itulah yang mereka harapkan!" Dengan nada keras dan tatapan tajam Umi bicara. "Baik, Umi. Saya coba terus berzikir," ucapku lirih, sulit sekali menahan kantuk. Pintu terdengar diketuk-ketuk seperti ada orang yang sedang ketakutan dan membutuhkan pertolongan. Setelah itu terdengar kikikan panjang,. Semua terhenti sejenak dari membaca Al-Quran namun tidak dengan Abah. Umi menatap tajam kearah pintu dan membuatku bergidik. Begitu banyak makhluk astral mengelilingi rumah ini. "Umi biarkan saya keluar," pintaku. "Bodoh kamu!" Sopyan menghardikku. Tapi tidak membuat Umi memalingkan pandangannya. Tangannya sedikit bergetar dan keringat dingin muncul di sekitar dahinya. "Sabar sebentar, Nak Nita. Sopyan taruh bidaranya di sana dan bacakan doa-doa." Umi memberi perintah. Sopyan dengan cekatan mematuhi perintah Umi. Dari atap terdengar langkah kaki orang