ig author: @rafi.aditya87 and @raffaramadhan.__ Sinopsis Novel: Desa Tanpa Suara Ketika Raka, seorang jurnalis investigasi muda yang idealis, menerima kabar tentang seorang relawan medis yang hilang di desa terpencil bernama Watupego, ia mengira ini hanya kasus orang hilang biasa. Tapi begitu menjejakkan kaki di desa itu, satu hal langsung terasa aneh: sunyi yang mutlak. Tidak ada kicau burung, tidak ada suara angin, bahkan tidak ada suara manusia. Para penduduk menatapnya tanpa ekspresi, tanpa sepatah kata pun. Namun saat malam turun, kesunyian itu pecah oleh sesuatu yang lebih mengerikan bisikan dari dalam tanah, memanggil-manggil dengan suara orang mati. Semakin Raka menggali misteri desa ini, semakin ia ditarik ke dalam lingkaran horor yang tak terjelaskan. Ia menemukan simbol-simbol aneh di pintu rumah, lubang-lubang kecil yang berbisik, dan sejarah kelam tentang sekte yang memuja kesunyian sebagai bentuk kemurnian. Desa ini tak hanya menyembunyikan rahasia... desa ini hidup. Dan ia ingin menjadikan Raka bagian darinya. Dalam suasana sunyi yang menyesakkan dan kabut yang menelan batas realitas, Raka harus memilih: mengungkap kebenaran yang terkubur bersama suara-suara yang dibungkam, atau ikut tenggelam dalam diam... selamanya.
view moreHujan malam itu turun seperti amukan langit, memukul atap seng rumah-rumah reyot di Desa Lembah Senja. Angin menderu membawa aroma tanah basah, bercampur dengan bau anyir yang tak jelas dari mana asalnya. Langit kelam, seolah menutup rapat cahaya bulan.
Di tengah hiruk-pikuk hujan, sebuah jeritan memecah malam. “Aaaaaa!” Suara itu melengking, melintas tajam di antara deru angin dan rintik hujan. Suara seorang perempuan. Panik. Putus asa. Lalu, seperti ditelan tanah, suara itu terhenti mendadak. Raka berdiri kaku di ambang pintu rumahnya, lampu minyak di tangan bergetar. Matanya menatap ke arah jalan setapak yang menuju bukit, sumber suara itu. Napasnya memburu. “Bu, kamu dengar itu?” Di ruang tengah, ibunya membeku di kursi kayu, selendang tua membungkus tubuhnya. Tatapannya kosong, tapi tangan yang memegang cangkir teh bergetar hebat. “Masuk, Raka,” ujarnya datar, nyaris seperti bisikan. “Itu suara orang! Dia butuh bantuan!” Raka sudah melangkah keluar, hujan membasahi rambut dan bajunya. Ibunya menoleh dengan mata yang melebar seperti baru melihat hantu. “Masuk!” Suaranya tiba-tiba meninggi, memotong dentum hujan. Tangannya meraih lengan Raka, mencengkeram kuat. “Kamu mau mati, hah?!” Raka menarik lengannya. “Kenapa semua orang di desa ini selalu pura-pura nggak dengar setiap ada yang” “Masuk!” seru ibunya lagi, kali ini matanya berkaca-kaca. Wajahnya pucat seperti orang sakit. “Jangan pernah keluar kalau dengar suara itu.” Raka terpaku. Bukan cuma amarah di nada ibunya yang membuatnya terdiam, tapi juga rasa takut yang begitu kentara. Bukan takut pada hujan. Bukan pada malam. Tapi pada sesuatu yang hanya mereka orang-orang desa ketahui. --- Jeritan itu tak terdengar lagi setelah beberapa menit. Hanya hujan yang terus mengamuk, menyapu halaman rumah, membuat genangan di mana-mana. Raka duduk di tepi ranjangnya, rambutnya masih basah, baju melekat di tubuh. Matanya menatap jendela yang berembun, pikirannya terus kembali pada suara itu. “Aku nggak mau diem aja,” gumamnya pelan. Pintu kamar berderit, dan Sinta, adik perempuannya, muncul. Gadis itu pucat, mengenakan kaos tipis yang kebesaran, rambutnya acak. “Mas… aku mimpi aneh,” katanya lirih. “Mimpi apa?” Raka memutar kursi, menatap adiknya. Sinta menelan ludah. “Aku lihat perempuan… mulutnya dijahit. Dia berdiri di depan sumur tua di ujung desa. Matanya kayak… nyari seseorang.” Raka merasakan darahnya mengalir lebih cepat. “Mulutnya… dijahit?” Sinta mengangguk pelan. “Waktu aku mau mendekat, dia buka mulutnya… benang-benang itu berdarah. Tapi suaranya… hilang. Kayak… tersedot ke udara.” --- Pagi berikutnya, kabut tebal turun, membungkus desa seperti selimut dingin. Suara ayam jantan pun terdengar sayup. Raka keluar rumah diam-diam, langkahnya menuju ujung barat desa. Sepatu kainnya langsung kotor terkena lumpur. Di sana, sumur tua berdiri di tengah semak-semak. Batu-batunya retak, ditumbuhi lumut. Air di dalamnya hitam, permukaannya nyaris tak beriak meski angin bertiup. Raka menunduk, memperhatikan tanah di sekitar bibir sumur. Ada bekas tapak kaki samar, kecil, seperti milik perempuan. Saat ia hendak mengintip ke dalam, suara serak terdengar di belakangnya. “Jangan dekat-dekat, Nak.” Raka menoleh. Seorang kakek berdiri tak jauh, bertopang pada tongkat kayu. Pakaiannya lusuh, wajahnya dipenuhi keriput. Tapi matanya tajam, menusuk. “Kenapa?” tanya Raka, mencoba terdengar santai. Kakek itu melangkah mendekat perlahan. “Sumur itu… sudah menelan banyak suara. Sekali kau mendengarnya, kau tak akan bisa melupakannya.” Raka mengernyit. “Maksudnya?” Kakek itu menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis. “Bocah sepertimu nggak akan betah di sini kalau tahu.” Tanpa menunggu jawaban, ia membalik badan, berjalan pergi, meninggalkan jejak di lumpur. Raka kembali menatap sumur. Hening. Hanya suara kabut yang bergesekan di telinga. Lalu… dari dalam sumur, terdengar bisikan. Pelan. Samar. Tapi jelas memanggil. “Raka…” Darahnya membeku. Ia mundur setapak, matanya melebar. Hujan mulai turun lagi, membasahi tanah, tapi bisikan itu terus terdengar, seolah datang dari dasar sumur yang gelap tak berujung. Ia ingin lari. Tapi kakinya terpaku. Dan dari sudut matanya, ia melihat sepasang tangan pucat, berlumuran lumpur perlahan meraih bibir sumur dari dalam. [BERSAMBUNG]Suara gong menggema dari arah balai desa. Dalam keheningan malam, bunyinya terasa seperti dentuman yang merobek udara. “Siapa yang memukul gong di jam segini?” Raka memandang Darto, tapi lelaki itu tidak menjawab. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. “Itu artinya… mereka memanggil kita.” --- “Mereka? Siapa ‘mereka’?” Darto meraih parang dan berdiri. “Kalau kau ingin tahu, ikut saja. Tapi jangan menatap langsung pada apa pun yang kau rasa… ingin kau lihat.” Raka menelan ludah. “Kalau aku tak ikut?” “Lebih buruk. Karena mereka akan datang menjemput.” --- Mereka berjalan di jalan berbatu menuju balai desa. Kabut menggantung rendah, menelan suara langkah mereka. Di kejauhan, cahaya lampu minyak bergoyang di antara jendela-jendela rumah kosong. Raka merasakan sesuatu mengikuti dari belakang. Bayangan hitam bergerak di tepi penglihatannya, tapi setiap kali ia menoleh, jalan itu kosong. --- Balai desa berdiri di tengah lapangan, besar dan tua. Catnya terkelupas, atapnya nyaris r
Raka terbangun dengan napas terengah. Ia mendengar suara ayam berkokok di kejauhan, diikuti riuh obrolan penduduk desa. Matahari hangat menyinari wajahnya. Jalan desa terlihat ramai: anak-anak berlari sambil tertawa, para ibu menjemur padi, lelaki memikul karung beras. Semuanya hidup. Semuanya… bersuara. --- “Akhirnya bangun juga, Nak.” Seorang perempuan setengah baya muncul dari pintu rumah di depannya, tersenyum lebar. Wajahnya penuh keriput, tapi tatapan matanya lembut. “Ibu…” suara Raka tercekat. Ia mengenal wajah itu. Sama persis seperti ibunya, sebelum meninggal. Perempuan itu tertawa. “Cepat masuk, sarapan sudah siap.” --- Di meja kayu, terhidang nasi panas, ikan bakar, dan sayur bening. Raka duduk, hampir lupa segala yang ia alami semalam. Bau makanan itu nyata, rasa panasnya menusuk kulit jarinya saat ia menyentuh piring. Namun saat ia hendak menyuap, ia melihat ujung piring retak, dan dari retakan itu… menjulur benang merah tipis. --- “Kenapa ada—” Raka menoleh, t
Kabut menutup jalan desa seperti tirai tebal. Udara menjadi berat, membuat napas Raka terdengar lebih keras di telinganya sendiri. Namun di antara kabut, samar-samar ia melihat siluet manusia berdiri di tepi jalan. --- “Darto…” Raka berhenti melangkah. “Kau lihat itu?” Darto menatap lurus ke depan, wajahnya tegang. “Jangan mendekat. Mereka bukan seperti yang kau kira.” Siluet itu semakin jelas. Seorang lelaki tua, berdiri membungkuk, matanya tertutup. Kulitnya pucat seperti lilin, dan tangannya menggenggam tongkat bambu. Ia tidak bergerak sama sekali. --- “Mungkin dia butuh bantuan,” kata Raka pelan. “Kalau kau dekati, kau akan jadi seperti dia.” Raka mengernyit. “Maksudmu… patung?” Darto hanya menggeleng, lalu berbelok ke jalan sempit di kiri. Tapi rasa penasaran mendorong Raka satu langkah lebih dekat pada sosok itu. --- Di jarak tiga meter, Raka bisa melihat dada lelaki itu… naik-turun. “Dia bernapas,” bisik Raka, setengah lega. Saat ia melangkah lagi, mata lelaki itu
Benang basah itu menarik pergelangan kaki Raka dengan kekuatan tak masuk akal. Ia hampir terjatuh, namun Darto sigap menariknya ke belakang. Mereka berdua tersungkur, tubuhnya membentur lantai kayu yang dingin dan lembab. Dari dalam kegelapan, terdengar suara retakan tulang bukan dari mereka, tapi dari sesuatu yang bergerak di lantai. --- “Berdiri!” Darto menariknya bangkit. “Jangan lihat ke bawah, jangan lepaskan kaki dari lantai!” Raka terpincang-pincang mengikuti langkahnya. Benang itu terlepas dengan sendirinya, tapi rasa dingin menempel di kulitnya seperti bekas gigitan. Mereka berlari menuju tangga. Namun saat Darto mendorong pintu besi di atas, yang terbuka bukan lorong rumah… melainkan kembali ke dalam gudang yang sama. --- “Tidak mungkin…” Raka menatap sekeliling. “Kita—kita tadi sudah di sini.” Gudang itu identik: meja di tengah, benang merah di dinding, lubang di lantai, bahkan kotak kayu di atas meja. Namun kali ini, kotak itu sudah terbuka, menganga seperti mulut
Pintu rumah itu berderit panjang saat dibuka, suaranya menyerupai keluhan makhluk tua yang terbangun dari tidur panjang. Begitu kaki Raka melangkah masuk, hawa dingin menyelimuti tubuhnya dari kepala hingga telapak kaki, seolah ia baru saja menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Di dalam, cahaya matahari hampir tak menembus. Debu melayang di udara, memantulkan cahaya redup dari sela papan dinding yang retak. Tapi bukan itu yang membuatnya kaku lantai kayu di bawah telapak kakinya… bergerak. --- Bukan seperti retakan kayu biasa, melainkan gelombang halus, seakan rumah itu sedang bernapas. Raka menahan napas, mencoba memastikan penglihatannya. Gelombang itu terasa di telapak kakinya tarikan dan dorongan yang pelan, ritmis. “Rasanya… lantai ini hidup,” bisiknya. Paman Darto hanya menatap lurus, wajahnya tegang. “Jangan pikirkan. Fokus ke gudang. Semakin kau sadar dengan apa yang rumah ini lakukan, semakin kuat tarikan ke dalamnya.” --- Mereka melangkah menembus lorong sempit ya
Raka terbangun mendadak, napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis. Namun matanya segera menyadari sesuatu ia tidak berada di kamar yang ditempatkan Paman Darto malam sebelumnya. Dinding di sekitarnya bukan kayu, melainkan batu bata lembab, dan di sudut ruangan terdapat genangan air hitam. Di udara, terdengar suara tetesan air yang lambat, seperti jam pasir terbalik yang menghitung mundur. Setiap tetesan memantulkan suara… bukan bunyi air, melainkan bisikan. Suara-suara itu memanggil namanya, berlapis-lapis, dari suara anak-anak hingga orang tua, semuanya lirih namun memaksa masuk ke telinga. --- Raka berdiri perlahan, menatap ke arah lorong sempit di depan. Kabut tipis bergelayut di lantai, berputar seperti asap. Ia melangkah hati-hati, tetapi setiap langkah membuat bisikan itu semakin jelas. "Kau sudah dekat…" "Buka… petinya…" “Siapa kalian?” Raka menoleh ke kiri dan kanan, namun lorong tetap kosong. --- Di ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu kayu setengah ter
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments