LOGINig author: @rafi.aditya87 and @raffaramadhan.__ Sinopsis Novel: Desa Tanpa Suara Ketika Raka, seorang jurnalis investigasi muda yang idealis, menerima kabar tentang seorang relawan medis yang hilang di desa terpencil bernama Watupego, ia mengira ini hanya kasus orang hilang biasa. Tapi begitu menjejakkan kaki di desa itu, satu hal langsung terasa aneh: sunyi yang mutlak. Tidak ada kicau burung, tidak ada suara angin, bahkan tidak ada suara manusia. Para penduduk menatapnya tanpa ekspresi, tanpa sepatah kata pun. Namun saat malam turun, kesunyian itu pecah oleh sesuatu yang lebih mengerikan bisikan dari dalam tanah, memanggil-manggil dengan suara orang mati. Semakin Raka menggali misteri desa ini, semakin ia ditarik ke dalam lingkaran horor yang tak terjelaskan. Ia menemukan simbol-simbol aneh di pintu rumah, lubang-lubang kecil yang berbisik, dan sejarah kelam tentang sekte yang memuja kesunyian sebagai bentuk kemurnian. Desa ini tak hanya menyembunyikan rahasia... desa ini hidup. Dan ia ingin menjadikan Raka bagian darinya. Dalam suasana sunyi yang menyesakkan dan kabut yang menelan batas realitas, Raka harus memilih: mengungkap kebenaran yang terkubur bersama suara-suara yang dibungkam, atau ikut tenggelam dalam diam... selamanya.
View MoreHujan sudah reda sejak subuh, menyisakan kabut tipis yang melayang di antara pohon-pohon tua di pinggir desa. Tanah masih basah, mengeluarkan aroma lumpur dan dedaunan yang tertimpa hujan semalam. Raka berdiri di halaman balai desa, menatap kosong ke arah perbukitan yang dulu selalu terasa mengancam, kini hanya terlihat seperti punggung raksasa yang tertidur. “Jadi… semuanya benar-benar selesai?” tanya Laras pelan, suaranya seperti takut memecahkan keheningan yang baru saja kembali. Raka mengangguk. “Ya. Akar itu sudah dibakar habis. Mbah Jumar juga… sudah pergi, bersama semua ikatan yang menahan desa ini.” Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa ketegangan yang masih membeku di dadanya. Beberapa warga mulai keluar rumah. Ada yang duduk di beranda, ada yang menatap langit seperti baru pertama kali melihat birunya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka berani berbicara dengan suara lantang. Tidak ada lagi rasa takut pada bisikan tak kasat mata atau langk
Kabut pekat menyelimuti jalur menuju Lembah Senyap. Pohon-pohon di kiri-kanan tampak seperti siluet bengkok, cabangnya menyerupai tangan yang hendak meraih. Udara begitu dingin dan lembap, membuat napas setiap orang keluar dalam uap putih. Raka berjalan paling depan, diikuti Sardi, Bagus, Darto, dan dua pemuda desa lain. Mereka membawa obor dan parang, sementara Mbah Jumar tertinggal di pos dekat hutan untuk memantau dari jauh. “Aku sudah terlalu tua untuk berlari di tanah seperti ini,” katanya, tapi Raka tahu ada alasan lain: Mbah Jumar menjaga jalur pulang. Semakin mereka turun ke lembah, suara alam perlahan menghilang. Tak ada burung, tak ada serangga. Hanya bunyi langkah kaki di tanah basah, dan kadang… sesuatu yang menyeret di kejauhan. --- Di bibir lembah, mereka menemukan tanda pertama: akar merah setebal paha manusia menjalar dari tebing ke arah bawah, sebagian menyatu dengan batang pohon. Sulur itu berdenyut pelan, seperti pembuluh darah raksasa. “Kita sudah dekat,” bisi
Fajar baru saja muncul ketika Raka, Sardi, dan Mbah Jumar sudah berkumpul di balai desa. Di atas meja kayu panjang terbentang peta buatan tangan, dengan garis-garis merah yang Raka coretkan malam sebelumnya. Setiap tanda merah menunjukkan lokasi di mana mereka menemukan sulur akar dalam beberapa minggu terakhir. “Kalau pola ini benar,” ujar Raka sambil menunjuk lingkaran-lingkaran kecil di peta, “cabang akar ini membentuk semacam jaring yang memusat ke sini.” Ia mengetuk titik di tengah, yang ternyata adalah sebuah lembah kecil di antara Karangwangi dan Karangjati. Mbah Jumar mengangguk perlahan. “Itu namanya Lembah Senyap. Dulu, orang menghindari tempat itu karena katanya tidak ada burung atau serangga yang mau tinggal di sana.” Sardi mengernyit. “Kalau begitu, kita mulai dari sana?” “Belum,” jawab Raka. “Pertama kita pastikan jalur yang menuju lembah itu. Kalau kita masuk buta, kita bisa terjebak di tengah sarangnya.” --- Raka memutuskan membagi kelompok. Ia, Sardi, dan dua pe
Hujan gerimis turun semalaman, membasahi seluruh desa dan bukit di sekitarnya. Pagi itu, udara dipenuhi aroma tanah basah. Dari kejauhan, suara ayam berkokok dan embun menempel di dedaunan. Namun di tepi hutan utara, sesuatu bergerak pelan di bawah lapisan tanah. Sulur merah pucat tipis seperti urat darah merayap tak terlihat, mencari celah untuk keluar. Setiap kali petir menyambar, sulur itu bergetar, seolah menghirup tenaga dari kilatan langit. --- Raka tidak tahu apa yang terjadi di hutan utara. Ia sedang berada di rumah Sardi, memeriksa peta lama yang ditemukan Mbah Jumar. “Lihat ini,” kata Sardi sambil menunjuk garis di peta yang menghubungkan bukit gua akar ke beberapa titik lain. “Kalau benar peta ini akurat, akar itu dulu pernah menjalar sampai ke perbatasan kecamatan.” Raka mengerutkan dahi. “Kalau cabangnya masih hidup, mereka bisa muncul di mana saja sepanjang jalur ini.” Mbah J
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.