Isabel sibuk mengepak pakaiannya sambil sesekali memandang ke luar jendela, ke langit hitam yang bergemuruh.
“Aku kecewa kamu tidak di sini lebih lama,” Rin menjatuhkan diri ke samping Isabel. Ke tempat tidurnya sendiri yang memang cukup untuk dua orang.
Bagi Isabel, kamar Rin terlihat bagus, bahkan mungkin terlalu bagus. Bergaya victorian, kamar itu diliputi warna putih dengan aksen keemasan. Puluhan kali lebih bagus daripada kamar asrama, bahkan lebih luas dari ruang keluarga di rumah Isabel sendiri. Satu hal yang menarik perhatian Isabel sejak memasuki kamar tersebut, lukisan Queen of Rose yang terpajang di sisi samping tempat tidur.
“Maaf, aku tidak memberitahumu. Aku sengaja membelinya di galeri,” terang Rin soal lukisan yang dibuat oleh Isabel.
“Aku tidak yakin kalau ini terlihat bagus. Aku hanya meletakkan di galeri seni, tanpa ekspektasi akan ada yang membelinya.”
Sekarang. Lukisan itu lebih seperti zat adiktif untuk mereka ter
“Aku mau ke toko depan. Ada yang harus kubeli,” Isabel turun dari tempat tidur. Kurang enam menit dari pukul 00.00.“Mau kutemani?” pungggung Rin menegak. Di tangannya ada satu buku di antara puluhan buku tua yang ia bawa dari Slavidion.“Tidak perlu. Kamu juga tidak perlu membaca semua buku itu malam ini. Tidurlah!”Rin kembali menyandarkan punggungnya ke bantal yang sengaja disusun lebih tinggi. Fantasinya berlanjut, bersama barisan kalimat yang masuk lewat matanya.Pintu kamar tertutup, suara hentakan kaki menggema pelan dan Isabel keluar dari pintu belakang. Ada toserba di seberang jalan, Isabel hanya akan membeli beberapa perlengkapan mandi dan cadangan makanan untuk dibawa ke asrama barunya.Namun, ia terganggu sejak angin malam menyapanya. Seolah ada yang mengawasi, Isabel mendekap dirinya lebih rapat. Kadang-kadang ia merasa perlu untuk menunduk agar makhluk-makhluk dari dimensi lain tak begitu saja tertangkap
“Seharusnya dia menemaniku! Apa begini sikapnya untuk orang yang jelas-jelas tersesat? Padahal ini pertama kalinya aku datang ke rumahnya. Dia seharusnya lebih baik dalam menjamu tamu yang datang dari jauh,” kesal Diran meratapi rumah mewah yang berdiri di atas lahan yang tak terlihat batasnya. “Sepertinya dia hidup dengan nyaman,” batinnya kemudian. Ia tiba-tiba merasa buruk. Slavidion, apalagi gubuk tuanya, membuat Diran menggutuk dirinya sendiri.Setelah berjalan beberapa ratus meter, akhirnya Diran menemukannya. Sang pangeran yang menjadi pusat perhatian.Supir bus turun sambil memegangi kepalanya yang lebam. “Kupikir kalian sudah mati,” katanya mendesis kesakitan. “Tapi, aku lega melihat kalian baik-baik saja. Setidaknya aku tidak akan dipenjara.”“Tidak mungkin Anda baik-baik saja,” penjaga toko masih tak percaya. “Aku melihat bus itu menabrak kalian.”William menatap setiap mata yang memandang padanya. Ada lebih banyak suara yang sebe
“Orang bodoh mana yang mau membangun rumah di tempat seperti ini?” pikir William dari jarak dua meter dari jendela besar yang tirainya terbuka. Matahari mulai menampakkan dirinya saat itu. William bergeming, bahkan ketika kulitnya berasap karena terkena cahaya matahari.“Sampai jumpa!” cahaya Maria mulai meredup, dan menghilang ketika matahari semakin tinggi.Maria, terlihat seperti perempuan usia dua puluh tahunan. Setengah wajahnya adalah borok yang terus menerus mengeluarkan nanah. Jalannya pincang, walau tak terlihat ada yang salah dengan kaki-kakinya. Katanya, sudah lama ia tinggal di mansion Aegel Gustave Saveri. Lalu, siapa pun yang datang ke mansion itu, akan berurusan dengannya. Sayangnya, Maria mengancam orang yang salah. Sebuah cekikan dari seorang Black Finger sempat singgah di lehernya. Jika saja William tidak bermurah hati, maka Maria akan segera menjadi cahaya hitam yang tidak berarti apa-apa.“Maafkan saya, Tuan!” kata Maria
Setelah Sandra pergi, Rin dan Isabel terlempar ke kelas yang berbeda. Isabel terpaku di hadapan kanvas putih yang terlihat begitu cerah di antara nuansa kecoklatan kelasnya sekarang. Kelas berlantai papan dengan banyak paku yang menonjol. Bagi Isabel, tempat itu seperti mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia pernah merasakan takut teramat sangat. Senyap, tidak ada seorang pun saat itu. Lalu, ia menemukan sebuah rumah kayu. Isabel masuk dan mengurung dirinya di sana. Pintu ditutup rapat. Namun, itu tidak membuat rasa takutnya berkurang. Hingga tengah malam, nuansa horor semakin menjadi. Dari celah dinding papan, Isabel melihat ada empat makam di halaman belakang. Sesuatu kemudian bangkit dari sana. “Cobalah sekarang!” Isabel tersentak. “Tidak,” sebutnya.
“Kamu akan pergi?” Maria muncul lagi di batas senja. Tepat di samping William yang duduk di sofa yang telah koyak. Perlahan, ia mendekat pada William dan bersandar di bahu William.“Apa seperti ini sifat aslimu?” William menghalau Maria.Seperti siput, hantu perempuan itu menggeliat. “Menjijikkan,” William berdiri.“Kamu boleh tinggal di sini sampai kapan pun,” katanya terkesan tiba-tiba.“Kemarin kamu ingin mencelakaiku!”“Itu kemarin. Kupikir aku berubah pikiran. Punya teman bicara sepertinya tidak buruk.”“White! Ayo, kita pergi!”Diran terhenyak. “Kenapa tiba-tiba?” pikirnya masih tak yakin. Ia memperhatikan perempuan yang sebenarnya belum pernah mengajaknya bicara. Tentang seberapa urgent Maria harus dihindari, padahal matahari belum benar-benar bersembunyi.William menarik sebuah kain hitam yang menutupi sebuah meja hias. Ia kemudian melilitkan kain itu dari kepala hingga tiga per empat tubuhny
Lampu jingga yang bergoyang, membentuk siluet tubuh Isabel di dinding menjadi tidak konsisten. Isabel tahu dia sedang diawasi oleh pria tinggi yang sekarang bersandar di daun pintu. Dan Isabel pantas merasa tidak nyaman dengan alasan itu, juga dengan alasan lainnya.“Saya akan kembali ke asrama saja!” Isabel berdiri. Sorot matanya masih terarah pada jejeran papan yang berdecit ketika diinjak.Ryu Laoshi sedikit tersenyum dengan sikap Isabel yang tiba-tiba itu.“Saya tidak ingin menjelaskan siapa laki-laki pembuat onar tadi,” lanjut Isabel.“Apa aku bertanya?” Ryu Laoshi sekali lagi tersenyum. “Aku bisa menebak apa artinya dia bagimu, wanita selalu plin-plan jika sedang jatuh cinta.”“Kami tidak mungkin bersama,” katanya tanpa berharap gurunya itu mengerti. Terlalu rumit untuk dijelaskan dan Isabel ingin tidak seorang pun bertanya.“Biar begitu, kamu tidak bisa mematahkan fakta bahwa kamu suka dan dia peduli. ‘Tidak mungkin
William menghilang. Giulian Vasco dibuat sibuk dini hari itu. “Pintu masih dirantai dan digembok dari luar. Tidak ada celah untuk keluar. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa lolos?”“Lihat ini, Komandan! Memang terlalu gelap, tapi saya rasa rantai yang mengikat tersangka bergerak,” Giulian Vasco memperhatikan dengan serius CCTV.“Apa ada orang lain di sana?” tanya Komandan Vasco.Rekannya ragu untuk menjawab.“Sepertinya memang tidak ada siapa-siapa,” Vasco menjawab pertanyaan sendiri. “Apa dia seorang penyihir?” tanyanya lagi tidak ditujukan pada siapa-siapa. Jika pun iya, maka asumsi itu akan dibakarnya lebih dulu.“Ini rekaman pukul 01.32, dia sempat mendatangi temannya dan duduk di sisi meja operasi. Kemudian…menghilang! Setelah itu, di dalam ruangan hanya tinggal satu orang. Oh, ya. Beberapa hari lalu, ada laporan kecelakaan di distrik selatan. Kecelakaan bus. Beberapa penumpang dan supir bus mengalami luka-luka.Tidak terlalu parah. H
“Sial!” Giulian Vasco menarik dasi dari lehernya. Pria kulit hitam itu kemudian menghempaskan dirinya di atas kursi yang bisa berputar 360 derajad. Hidungnya yang besar tidak menjamin ia bisa bernapas dengan baik di tengah kasus yang ia hadapi sekarang. Beberapa hari lalu, kurator Edgar Louis mendatanginya untuk kemungkinan adanya penyelundupan berlian yang berasal dari kerajaan Slavia, reruntuhannya; Slavidion, masih bisa dilihat hingga sekarang. Namun, hubungan tidak baiknya dengan keluarga pengurus istana-istana di Slavidion, membuat Edgar Louis sendiri tidak yakin asal mula Black Diamond yang ia dapat dari sahabatnya, seorang pebisnis batu berharga. Ada tiga di tangan Giulian Vasco saat itu, satu yang ia dapat dari sang kurator. Dan dua sisanya, diambil dari telinga orang yang menjadi tersangka. Tiga benda itu serupa. Hasil uji laboratorium, batu tersebut memilki karakteristik yang mirip dengan batu-batu asal kerajaan Slavia yang kini tersimpan di museum.“Apa