Share

Misi Keempat_Identifikasi Pemain: Nara # Gadis Dari Kelas Satu

Buram. Perlahan aku mulai bisa melihat cahaya terang menyapa pengelihatanku, menyilaukan. Aku tidak bisa mencerna keadaan hingga mataku akhirnya terbuka sempurna. Entah sudah berapa lama aku telah berhasil mempertahankan diri dalam kondisi setengah sadar. Selain hanya bisa mendengar hirukpikuk percakapan orang-orang, aku tidak melihat apapun yang terjadi di sekitarku. Mataku terlalu berat untuk dibuka. Pemandangan terakhir yang kulihat adalah sebuah telapak tangan yang menyentuh lenganku sebelum kegelapan kembali menyergap.

Rasanya, tubuhku sedang tidak baik-baik saja. Lalu ini? Selang infus? Ruangan serba putih dengan aroma obat yang menyengat. Rumah sakit lagi. Aku sudah bosan lagi-lagi harus mampir ke tempat seperti ini.

“Kamu sudah bangun?” tanya seorang gadis dengan rambut sebahu yang sedang duduk di samping tempatku berbaring.

Dengan pandangan yang masih agak buram, aku memperhatikan gadis itu. Rok berwarna coklat kopi susu, kemaja putih dan blazer marun, ditambah dasi dengan warna senada, dan almamater itu, tampak familiar. Ah, benar juga. Rupanya siswi SMA Cendekia, jelas saja seragam kami sama.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi sambil melepas earphone lalu mematikan laptopnya. Mengerjakan tugas, kah? Rajin sekali.

Aku mengalihkan perhatian kepada langit-langit sembari sedikit mengucek mata. “Aku baik, tapi ini ... “ Dengan sedikit bingung aku berusaha mencerna situasi.

“Tampaknya kamu pingsan di perpustakaan, Kak Nadia membawamu ke sini, tapi dia sudah pulang karena harus kuliah,” jalas gadis itu seolah bisa membaca pikiranku.

“Dokter bilang tekanan darahmu rendah, kamu juga kurang gizi dan kelelahan, jadi butuh istirahat yang cukup dan makan tepat waktu. Malam ini kamu harus menginap,” lanjutnya tanpa diminta.

Aku hanya mengagguk-angguk mendengar keterangannya. Andai saja semua ini memang sesederhana apa yang dokter katakan, aku pasti akan dengan senang hati untuk tidur seharian.

“Terimaksih banyak dan maaf sudah merepotkanmu,” ujarku tidak enak hati. Lagi-lagi aku membuat masalah untuk orang lain.

“Tidak masalah, kebetulan saja aku yang melihatmu tadi. Pastinya tidak mungkin aku pergi begitu saja, kan. Ah, dan tadi ada yang menghubungi ponselmu, maaf karena mengangkatnya tanpa izin. Orang itu bilang akan datang,” timpalnya sambil tersenyum kecil menunjuk sebuah ponsel di atas meja samping bankar yang juga terdapat tasku di sana. Ekspresinya canggung sekali.

“Hari sudah gelap dan aku baik-baik saja sekarang. Apakah orangtuamu tidak masalah bila kamu pulang terlambat?” tanyaku yang secara harus berharap dia segera pulang.

Aku tidak bermaksud mengusirnya, sih. Akan tetapi memikirkan kemungkinan bila dia memiliki keperluan lain membuatku semakin tidak enak jika membiarkannya lebih lama lagi di sini. Bisa saja dia sudah menunda beberapa hal karena harus tertahan karena kondisiku.

“Sebenarnya tidak masalah bila aku pulang telat, tapi memang ada yang ingin aku kerjakan, sih. Apa baik-baik saja untukmu sendirian?” Gadis itu menatapku seolah mencari kepastian. Orang ini cukup terus terang. Tapi syukurlah, sikapnya yang seperti ini membuat semuanya lebih mudah.

“Hmm, aku sudah jauh lebih baik. Lagipula sebentar lagi orang yang mengubungiku tadi pasti akan segera tiba,” tukasku membuatnya tersenyum lega.

“Baiklah, aku senang kamu baik-baik saja. Lain kali hati-hati, kata dokter kondisimu bisa jadi lebih serius kalau sampai terjadi lagi. Aku pulang dulu,” pamit gadis itu sambil membereskan barang bawaannya.

“Sekali lagi terimakasih. Kamu juga berhati-hatilah di jalan pulang,” pesanku yang hanya dibalas dengan anggukan singkat sebelum sosoknya mengilang di balik pintu.

Aku terdiam sesaat setelah kepergiannya, sepertinya ada yang kurang. Aah, aku lupa menanyakan namanya. Kenapa aku bisa sangat tidak sopan? Dia pasti sangat kerepotan, tapi aku bahkan tidak kepikiran sama sekali untuk menanyakan nama gadis itu. Setidaknya aku harus kenal dengan orang yang telah menyelamatkanku dari situasi yang bisa saja membuatku mati, kan.

“Permisi, apakah penghuni kamar ini masih hidup?” ujar seseorang yang sedang menyembulkan kepalanya sambil mengetuk pintu. Itu dia si Davin, bersama tingkahnya yang tidak pernah berubah.

“Aku tidak ingat memiliki kenalan bocah SD yang akan datang menjengukku,” timpalku sambil berbenah diri untuk duduk bersandar.

Davin tidak menanggapi lebih lanjut. Orang itu hanya nyengir kuda dan bergegas masuk. “Jika memang sangat menyukai rumah sakit, seharusnya kamu belajar untuk bisa menjadi dokter, bukan membiasakan diri menjadi pasien,” sindirnya sambil duduk di atas kursi yang sebelumnya ditempati oleh gadis yang menolongku.

“Manusia mana yang hobinya menabung di rumah sakit? Ingin jadi investor tetap?” Imbuhnya yang hanya membuatku berdecak. Sebenarnya aku juga tidak ingin sering-sering mampir ke tempat seperti ini, loh.

“Jadi, kamu yang menghubungiku tadi,” ujarku mengubah topik sebelum Davin menjadikannya sebagai materi debat konstitusi.

“Memangnya ada orang lain yang akan menghubungimu ketika nomer ponselmu sendiri adalah rahasia negara? Memangnya kamu siapa? Agen BIN? Presiden?” sindir Davin yang hanya kusambut dengan tawa. Hari ini sarkasnya banyak sekali.

Dari dulu, Davin tidak pernah suka dengan kebiasaanku. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak terlalu nyaman membagi-bagikan kontak pribadiku kepada sembarang orang.Yaah, mungkin hanya beberapa orang yang cukup penting untuk dihubungi.

“Ngomong-ngomong, apakah gadis yang menganggkat panggilanku tadi baru saja pulang? Sepertinya aku melihat seorang siswi mengenakan seragam sekolah kita di pintu depan,” tanya Davin tiba-tiba menyinggung tentang gadis itu.

“Benar. Apa Kamu tau siapa namanya?” tanyaku membuat Davin melongo.

“Ngomong-ngomong, Bro, kamu tidak menanyakan nama orang yang telah menolongmu?” Davin bertanya balik dengan wajah tanpa ekspresi.

Gelengan kepalaku membuat Davin mengembuskan napas panjang. “Jadi sekarang kesopananmu sudah hilang? Selanjutnya mungkin kemanusiaanmu yang akan lenyap,” ujar Davin frustrasi.

“Aku tidak menyangkal jika sikapku tidak baik. Tapi tidak bisakah sekarang Kamu hanya memberi tahuku siapa dia? Setidaknya aku ingin berterimakasih secara pantas nanti,” gerutuku yang tidak kalah frustrasi.

“Kalau tidak salah namanya Lisa dari kelas 1-D, dia menjadi cukup dikenal setelah acara rapat bersama OSIS tempo hari. Jovan membuatnya menjadi pusat perhatian dengan bertanya hal-hal aneh,” tutur Davin dengan cukup rinci.

Aku mengangkat alis, sedikit terkejut oleh nama yang dikaitkan Dvin dengan gadis itu. “Sangat mudah baginya untuk menjadikan seorang gadis sebagai sorotan, apalagi sejak mendapatkan jabatan sebagai ketua Osis. Dia hanya harus sedikit ramah kepada gadis itu dan semua mata akan tertuju kepadanya dengan berbagai macam penilaian. Aku turut prihatin dengan apa yang dialami Lisa,” gumamku yang tiba-tiba saja merasa kesal. Orang itu tidak pernah berubah.

“Bukannya ucapanmu sedikit keterlaluan? Bagaimanapun juga kalian berdua adalah teman,” ujar Davin sambil tertawa kecil.

“Ralat, yang benar adalah pernah berteman,” koreksiku tidak terima.

“Ayolah ... bukankah sudah waktnya bagi kalian berdua untuk berdamai dengan masa lalu? Apa kalian tidak pernah memikirkan kondisiku yang harus berada di antara tempramen buruk kalian berdua?” Davin menggerutu ditutup dengan napas panjang yang terdengar malas. Yah, aku tidak bisa memaksanya untuk tidak lelah berada dalam kondisi sulit itu, kan.

“Bukan aku yang mencari perkara,” tukasku membela diri.

“Terserah saja, kalian memang tidak pernah tahu bagaimana rasanya menghadapi dua orang keras kepala yang tidak bisa berpikir jernih. Bagaimanapun juga, apa yang telah terjadi tidak akan pernah berubah walau kalian merusak hal-hal baik yang mungkin bisa terjadi di masa depan. Kalian terus membuatku stress dan sakit kepala dari hari ke hari tanpa ada satupun yang sadar diri.”

Davin mengomel panjang sambil mengubek-ubek ranselku tanpa izin. Setelah menemukan laptopku, laki-laki itu mulai bergerak menjauh dan duduk di lantai yang anehnya terlihat nyaman.

“Hei! Mau apa?” tanyaku dengan mata yang masih mengekori gerak-geriknya.

“Aku akan menginap untuk menemanimu, jadi seharusnya kamu tidak perlu protes hanya karena aku meminjam laptopmu untuk bermain. Aku bisa berjamur jika tidak berusaha untuk mengusir bosan, kan,” jawab Davin tanpa rapot-repot menoleh ke arahku.

“Setidaknya bilang dulu sebelum mengambil barang seniormu,” tukasku setengah bercanda.

“Kita tidak sedang di sekolah, jadi aku bukan juniormu. Saat ini aku adalah tetangga sekaligus wali dari pasien di kamar ini,” ujar Davin dengan senyum tengilnya.

“Wali pasien? Umurmu bahkan belum cukup untuk membuat Surat Izin Mengemudi,” ledekku membuatnya berdecih.

Dasar Davin...rasanya baru kemarin aku melihat anak itu menangis hanya karena tangannya menyenggol sarang laba-laba. Tapi sekarang dia sudah tumbuh menjadi sosok yang bisa mengatasi dua manusia keras kepala. Tanpa terasa, seolah waktu telah melewati kami begitu saja. Dengan begitu cepat. Membuatku tiba-tiba merasa bila keberadaan ini tak banyak berarti.

******* 

“Sudah memutuskan untuk move on dari Feren? Aku tidak pernah membenci gadis itu, sih, tapi jika keputusanmu sudah bulat, aku akan dengan senang hati mendukungnya. Lalu kamu bisa berbaikan juga dengan Jovan,” ucap Davin yang tiba-tiba muncul dari arah belakang sambil meletakkan tangannya di atas pundakku.

“Aku hanya berniat untuk berterimakasih dengan pantas, jadi berhentilah memikirkan hal-hal aneh.” Aku menyingkirkan tangan Davin dari pundakku dan melanjutkan langkah menuju kelas 1-D.

“Tidak kusangka kamu benar-benar berangkat ke sekolah tepat setelah keluar rumah sakit. Jika aku diposisi itu, aku pasti akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Apa karena ingin bertemu Lisa?” ujar Davin sedikit mengejek sambil mengekoriku.

Tidak bisakah orang ini meninggalkanku sendiri? Jujur saja, Davin adalah tipe manusia yang memiliki potensi besar untuk membuat masalah, jadi sangat wajar bagiku untuk merasa was-was ketika dia ingin menemaniku bertemu Lisa. Otak usilnya terlalu kreatif dan selalu memunculkan kejutan-kejutan tak terduga yang sangat merepotkan.

“Aku sangat berterimakasih atas perhatianmu, tapi sungguh, kamu tidak harus repot-repot mengawalku sampai ke sini,” ucapku setengah menyindir.

“Anggap saja ini penjagaan untuk pasien,” jawabnya enteng.

“Tapi aku bukan lagi pasien, jadi silakan tinggalkan aku sendiri. Lagipula kita sudah sampai,” tukasku gemas sendiri karena kelakuannya.

“Justru karena kita sudah sampai aku jadi tidak bisa pergi begitu saja sebelum menemuinya. Bagaimanapun juga, aku merasa harus ikut berterimakasih karena dia telah menjaga teman dekatku yang merepotkan,” ujar Davin memaksa.

Alasannya tidak hanya buruk, tapi juga menggelikan. Siapa pun pasti bisa langsung menagkap bahwa ada begitu banyak maksud lain yang tersembunyi dibalik sorot mata jailnya itu.

“Akan kusampaikan padanya nanti, lagipula itu bukan kewajibanmu,” sahutku tidak mau kalah.

“Aku tidak tau mengapa kamu sangat bersikeras agar aku tidak bertemu dengan Lisa. Tapi jika karena kamu cemas dia akan menyukaiku, maka tenang saja, aku tidak ada niat untuk mengambil incaran temanku setelah sekian lama dia berusaha keras dengan perasaannya,” timpal Davin percaya diri. Bisa hentikan delusimu itu! Sangat menjengkelkan.

“Berhenti mengucapkan hal-hal yang bisa membuat orang lain salah paham, Vin. Astaga! Aku tidak tau apa yang tidak beres dengan diriku sendiri karena bisa berteman dengan makhluk menjengkelkan sepertimu selama bertahun-tahun,” gerutuku sambil menjitak kepala Davin.

“Permisi, ada yang bisa dibantu?”

Seorang gadis bermata jernih dengan tumpukan buku dipelukannya muncul dan memandang kami berdua dengan tatapan heran. Aku bisa memaklumi sikapnya itu, sih. Jika aku berada di posisinya, aku pasti memiliki respon yang sama.

“Kami ingin bertemu Lisa,” jawab Davin sambil meringis mengusap-ursap kepalanya.

“Oohh, sayangnya hari ini dia tidak masuk sekolah,” jawab gadis itu sambil tersenyum.

“Kamu tau kemana dia?” tanyaku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Kenapa kebetulan sekali, sih?

“Semalam ada saudara yang menjemputmya, jadi dia izin tidak masuk sekolah selama dua hari untuk berkunjung ke tempat saudaranya itu,” jelas gadis itu sambil memiringkan kepala dengan ekspresi berpikir.

Siswi ini terlihat familiar, apa kami pernah bertemu sebelumnya? Tidak aneh juga, sih. Kami berada di sekolah yang sama, mungkin saja aku pernah berpapasan dengannya beberapa kali.

“Jika kulihat lagi, ternyata kamu cantik juga,” celetuk Davin yang seolah membuat waktu di sekitar kami membeku.

Ya ampun anak ini!!! Apa yang kukatakan benar, kan! Terbukti sudah keganjilan dari sifat Davin. Astaga! Astaga! Astaga! Tidak peduli berapa kali pun aku terjebak dalam situasi aneh yang diciptakan oleh Davin, aku tidak akan pernah bisa terbiasa dengan hal ini. Lihatlah sekarang! Wajah gadis itu memerah dengan ekspresi yang hampir menangis, dia pasti sangat malu. Wajah itu sangat berbanding terbalik dengan si biang kerok yang malah cengar-cengir tanpa sedikitpun merasa berdosa.

“Maaf, tolong jangan tersinggung. Meski sangat menyebalkan, se-sebenarnya dia tidak berniat buruk, hehehe,” ujarku terbata dengan tawa canggung.

Ayolah, Vin! Setidaknya ikutlah bertanggung jawab dengan apa yang sudah Kamu mulai. Mengatakan hal seperti itu kepada gadis yang baru pertama kali kamu temui bisa menyebabkan banyak kesalah pahaman, tau! Bahkan jika gadis ini tersinggung, dia bisa menganggapmu telah melakukan pelecahan verbal karena menggoda perempuan yang tidak kamu kenal. Apalagi dengan tampangmu itu, benar-benar mendukung untuk orang yang pantas dituntut.

“Jadi...itu...“

Aku tidak tau harus mengatakan apa lagi, Davin sendiri masih cengengesan tidak jelas melihat gadis di depannya menunduk dalam, sangat canggung, dan kebingungan. Dasar makhluk kejam!

“Atas sikap temanku, aku benar-benar minta maaf,” ucapku pasrah.

Perlahan gadis itu mengangangkat kepalanya, bibirnya menarik selengkung senyum yang manis walau jelas terlihat jika garis itu sangat dipaksakan. Orang ini benar-benar sopan untuk ukuran korban kaganjilan sifat Davin, dia berusaha sebisa mungkin menjaga sikapnya walau mungkin kepalanya sudah mendidih dipenuhi keinginan untuk mencabik-cabik makhluk astral di sebelahku ini. Tenang saja, aku sangat memahami perasaanmu, dan aku akan memberikan pelajaran kedanya nanti sebagai gantinya.

“Nanti akan kukatakan kepada Lisa jika ada yang mencarinya, sekarang aku harus ke perpustakaan,” pamit gadis itu yang kemudian berlalu dari hadapan kami berdua.

“Tunggu! Setidaknya beri tau kami siapa namamu,” seru Davin membuat langkah gadis itu berhenti, bersamaan dengan detak jantungku yang mungkin sebentar lagi akan berhenti.

Ajaib sekali orang ini. Setelah membuat situasi menjadi sangat ambigu, sekarang dia bisa bersikap seolah tidak ada yang terjadi sama sekali. Gadis itu memutar badannya dan menatap kami dengan senyum yang jauh lebih ramah, sangat berbeda dengan senyum yang ditampikannya beberapa saat yang lalu.

“Namaku Ava, Ava Nafiza,” ujarnya kemudian menundukan kepala lalu kembali memutar badannya untuk melanjutkan langkah.

“Dia itu benar-benar wujud nyata dari istilah ‘kebaikan alam semesta’, gumam Davin sambil mengangkat satu alisnya menatap punggung Ava yang semakin jauh.

“Kalimat yang tidak seharusnya keluar dari seseorang yang hampir saja menjadi kriminal. Dasar! Keganjilan alam semesta!” gerutuku sambil menendang tulang kering Davin yang langsung membuatnya meringis terkejut sekaligus kesakitan.

Terkadang dia memang butuh pelajaran tambahan agar kelakuan absurdnya sedikit berkurang. Aku berlari menghindari Davin yang mengejarku dengan langkah tertatih. Mulutnya tidak berhenti melemparkan sumpah serapah yang hanya kutanggapi dengan tawa. Mungkin sudah cukup untuk hari ini, aku akan mencoba bertemu Lisa lagi nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status