Danu Adibrata, seorang pegawai magang biasa yang selama ini selalu dhina dan diejek orang sekitar, tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah hanya karena menolong seorang nenek misterius di pinggir jalan. Mendadak, Danu dapat mendengarkan bisikan-bisikan gaib yang mampu menyeretnya ke dunia magis luar biasa, bahkan membuatnya memancarkan aura yang mengguncang dunia sekitar! Danu pun menarik hati para perempuan, dan menyalakan api cemburu para pria. Lantas, bagaimana nasib Danu setelahnya? Apakah ini anugerah … atau awal dari kehancurannya?
View More07.42
Pagi di kota Lawang Sentra tak pernah benar-benar tenang. Bising klakson, aroma gorengan kaki lima, dan seruan para pejalan kaki menyatu dalam irama yang memekakkan kepala. Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pria muda menyelip di antara trotoar yang padat sambil menggenggam tas selempangnya erat-erat. Danu Adibrata. Dua puluh lima tahun. Magang. Gaji pas-pasan. Penampilan payah. Bahkan jam tangannya bukan penunjuk waktu, tapi penanda berapa lama lagi dia harus menahan lapar. Di lobby kantor Naradipa Corp—sebuah perusahaan percetakan raksasa—Danu menarik napas panjang sebelum menyentuhkan kartu identitasnya ke mesin fingerprint. Sepersekian detik setelah lampu hijau menyala, terdengar suara langkah sepatu kulit menggedor ubin marmer. “Lihat siapa yang datang? Si tukang fotokopi kebanggaan kita!” Danu menoleh. Di sana berdiri Alvino—kepala divisi desain, berjas rapi, rambut disisir licin, senyum sinis mekar seperti kembang api yang menyambut petaka. “Aduh, jangan bilang hari ini lu bakal dapet kesempatan presentasi, ya Dan?” Alvino menyikut bahu Danu sambil tergelak. “Udah gue geser jadwalnya ke gue sendiri. Nggak mungkin dong kita kasih klien liat template karya bocah magang?” Beberapa staf menahan tawa. Salah satunya Nadine, mantan kakak tingkat yang dulu sering meminjam catatan Danu—dan kini bahkan ogah menatap matanya. “Tapi itu project gue yang bikin layout—” “Lu bikin,” potong Alvino, “gue poles! Kalo gue nggak ‘koreksi’, itu proposal cuma pantas buat lomba desain SMA.” tawanya menggema di lobby. Danu mengepal tangan. “Pak Yudha tahu saya yang—” “Pak Yudha lagi cuti. Dan selama dia nggak ada, gue yang megang semua. Termasuk ... siapa yang boleh muncul di ruang meeting. Ngerti lu?” Seketika lampu lift berdenting. Alvino masuk lebih dulu, menyenggol bahu Danu untuk kedua kalinya. Nadine mengikuti sambil melempar senyum remeh. Danu terdiam. Di belakangnya, suara staf lain terdengar menggema. “Jadi bener ya? Dia yang bikin? Kirain Pak Alvino.” “Magang doang, sok jago.” “Kasihan, gak tahu tempat.” ** Pukul 11.10, ruang pantry penuh aroma kopi instan dan suara ceret air panas. Danu duduk menyendiri di ujung, menatap email balasan yang tak kunjung masuk. Tiba-tiba, suara Nadine terdengar dari belakang. “Dan?” Danu mendongak. Nadine bersandar di meja dengan ekspresi terlalu manis untuk jadi tulus. “Kamu masih simpan file master project 'Aksara Visual'?” “Iya,” jawab Danu pelan. “Kenapa?” “Aku mau minta. Buat ... jaga-jaga. Tadi presentasi Alvino kayaknya kurang greget. Aku mau revisi sekalian.” Danu menatap mata perempuan itu. Tatapan itu ... sama seperti dulu, waktu dia pernah berani mengungkapkan perasaan—lalu ditertawakan. “Revisi ... buat kamu?” tanyanya datar. “Ya buat kita semua. Tim desain lah!” jawab Nadine cepat. “Kalau kamu cuma disuruh Pak Alvino, bilang aja, gak akan saya berikan!” Nadine tertawa kecil, tapi matanya menajam. “Dan, jangan drama! Kamu kan cuma magang? Bisa apa kamu?” balasnya ketus, melenggang pergi dengan menghentakkan kaki. Ucapan itu menampar lebih keras daripada penghinaan Alvino. Sebelum Danu sempat merespon sikap Nadine, ponselnya berbunyi. Nomor Tidak Dikenal. Suara gemetar dari seberang sana membuat napasnya tercekat. “Mas ... ini ... saya Bu Siti. Ibu Mas Danu ... jatuh dari tangga barusan. Berdarah ... banyak.” Danu menjatuhkan ponselnya. Suara keributan di kantor mendadak hilang dari pendengarannya. Hanya ada suara detak jantung—dan langkah kaki dirinya yang makin cepat. Namun saat ia keluar dari gedung dan melewati lorong parkir bawah tanah ... Seorang nenek berdiri membungkuk di sana, diseret oleh dua pria berjaket hitam. Satu di antara mereka mengangkat batang besi. Suara batin Danu berteriak, “Kalau kau ikut campur, hidupmu tak akan sama lagi, Danu!” Tapi kakinya sudah bergerak. Tubuhnya melesat tanpa pikir panjang. “Hoi!” teriaknya, menendang keranjang belanja ke arah kaki salah satu pria. Dentingan logam memantul. Pria pertama tersentak. Pria kedua berbalik, mengayunkan batang besi ke arah kepala Danu. Ia menunduk cepat, lalu menubruk tubuh lawan dengan seluruh sisa tenaganya. Tubuh mereka terhuyung dan jatuh menghantam beton. Danu melayangkan pukulan mentah ke rahang si pria, tapi tangan kurusnya tak menghasilkan banyak pengaruh. Balasan datang lebih keras. Sebuah hantaman mendarat di perutnya. Danu tersungkur. Napasnya terengah. Dunia mulai berputar. Tapi sebelum kesadarannya lepas, ia melihat nenek itu menatapnya lurus. Matanya bersinar ... bukan seperti manusia biasa. Sebuah bisikan halus menggema di telinganya, samar. "Kau telah memilihnya." Detik berikutnya pandangan Danu menjadi ... gelap. Apa yang akan terjadi?“Tak semua tinta harus ditulis. Tapi sekali ditulis oleh tangan seorang Putra Aksara, dunia akan bergeser dari porosnya.”– Catatan Rahasia Ilmare, Penjaga Aksara Nimfa –Perpustakaan Langit — Zaman Purba Aksara, sebelum Danu diciptakanAngin tak berhembus di Perpustakaan Langit. Di sana, naskah-naskah kuno melayang seperti bintang yang diam, disimpan dalam gulungan cahaya. Di balik rak raksasa, dua sosok berdiri diam, satu pria bermata perak, berjubah aksara, satu wanita bermata air, bersayap tipis seperti kelopak kertas.“Kita tidak bisa terus begini,” kata Ilmare memalingkan wajah yang hendak disentuh oleh si pria.“Kita bukan ‘kita’ dalam naskah. Tapi aku ingin menulis kita.” Sebuah kalimat yang tak semestinya diucapkan sang penulis naskah takdir.Ilmare menoleh, menatapnya lembut. “Lalu langit akan jatuh, dan aksara menjadi darah.” Dia menunduk tajam, bulir air menetes dari matanya.Namun cinta bukan aksara biasa. Cinta adalah naskah tak terikat. Maka pada malam itu, Putra Aksara
“Tulis kisahmu sendiri, Danu. Buktikan bahwa pena bukan lagi hanya alat menulis, tapi senjata perusak realitas.” tegas Alvino yang sekarang menjabat sebagai CEO NarasiNet pada Danu yang berusaha menyusup ke sistem kerjanya.Di hadapan Danu berdiri sebuah layar melengkung raksasa—platform NeoReality, hasil gabungan sistem Alvino dan kecerdasan buatan yang diaktifkan oleh Andhira. Ribuan cerita ditulis, diserap, diproses ... dan dihidupkan.Andhira berjalam mendekat dari belakang layar melalui celah sempit. “Selamat datang di tempat di mana fiksi menjadi kenyataan.”Senyumnyaengembang menatap Danu dengan wajah yang merendahkan.“Tulislah ceritamu sendiri, Danu. Tapi ingat: yang kau tulis … akan terjadi. Dunia akan menelan kenyataan yang kamu ciptakan!” ulang Alvino memberi peringatan dengan mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah Danu.Danu terpaku di kursi penulisan. Pena digital sudah terhubung ke sistem. Kayla, terperangkap di kapsul realitas di belakangnya, menjadi sandera wakt
Malam turun dengan senyap. Di sebuah kamar yang sempit dan berantakan, cahaya dari layar laptop tua menerangi wajah Danu yang dipenuhi gurat kelelahan dan tekad. klik klik klik Di hadapannya, naskah baru mulai mengambil bentuk. Judulnya: “Jalan yang Tidak Ditarik oleh Tangan Tuhan” Bukan sekadar fiksi. Ini eksperimen. Percobaan terakhir. Tulisan ini bukan tentang takdir yang ditentukan, tapi pilihan yang disadarkan. “Kayla, ini gila,” gumam Danu tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Aku menulis karakter yang memilih untuk tidak mengikuti tulisanku … tapi setiap pembaca yang membaca, malah melakukan persis apa yang kutulis.” Kayla menyandarkan diri ke dinding. Matanya menyipit, curiga. “Jadi kamu—kamu sudah menemukan cara untuk … mengendalikan orang?” “Bukan. Aku hanya … menyuarakan sesuatu yang selama ini diam di dalam mereka. Aku menulis, dan mereka merasa itu suara hati mereka sendiri.” Kayla menggeleng. “Kamu bisa mengubah dunia, Danu. Tapi juga menghancurkannya
Danu Adibrata, 23 tahun, karyawan magang di Perpustakaan Daerah Cendekia, Jakarta Selatan.Ia tak lagi membawa pena abadi. Tak ada lagi aura takdir yang membalut dirinya. Ia mengenakan seragam staf biasa—rompi biru dongker, sepatu hitam formal yang sudah aus, dan ID card yang digantung di leher:Danu A. — Magang - Divisi Arsip & KlasifikasiDi balik meja arsip yang dingin dan sepi, Danu hidup seperti manusia biasa. Ia belajar mengetik katalog, mengklasifikasikan buku, merapikan naskah tua, dan menyapa pengunjung perpustakaan dengan senyum palsu yang makin lama makin nyata.Hidupnya dimulai dari nol.Tapi ia bahagia.Atau setidaknya ia berusaha bahagia.Kemunculan Alvino: Musuh Lama dalam Dunia Baru Suatu sore yang tampak biasa, ketika Danu tengah menata koleksi langka di rak lantai tiga, sebuah suara dari masa lalu menyusup:“Kamu pikir bisa sembunyi selamanya, Danu?”Alvino.Rambutnya leb
Basement Naradipa Publishing, gelap dan beraroma besi tua. Beberapa bulan lalu, Danu pernah menyelamatkan seorang nenek tua renta yang dianiaya 3 pria berjubah hitam. Kala itu, sang nenek hanya berkata lirih:“Aku dulu pernah menulis … dunia.”Kini, nenek itu muncul lagi, berjalan keluar dari bayangan rak buku rusak dan logam berkarat. Rambut putihnya tak sepenuhnya menutupi sirkuit logam tipis di tengkuknya. Matanya? Bukan mata manusia biasa. Tapi lensa dengan iris kode-kode aksara bercahaya biru lembut.Danu tertegun. Napasnya tercekat.“Kamu ... siapa sebenarnya?”Nenek itu tersenyum samar.“Aku adalah satu dari tiga Penulis Bayangan yang pernah gagal menjadi Putra Aksara sejati. Tapi aku … tidak berhenti menulis. Aku tidak diberi Pena Abadi. Maka aku menciptakan pena sendiri ... dari kecerdasanku, dari logika tanpa emosi. Pena digital. Pena sempurna.”Lima dekade lalu, nenek itu bernama Raghani Iswara, seorang ahli linguistik kuantum dan eks anggota Lembaga Penulisan Takdir Altern
Langit kini tak lagi penuh retakan tinta. Dimensi takdir kembali menyatu dengan dunia nyata. Namun kebangkitan dunia tak serta-merta membawa kedamaian.Setelah Mainframe Aksara hancur, manusia kini memiliki pena masing-masing. Mereka mulai menulis naskah hidup mereka sendiri. Namun .…Tidak semua manusia siap.Di berbagai penjuru dunia, muncul fenomena yang disebut "Tinta Liar"—tulisan-tulisan tak terkendali yang menyusup ke realitas, menciptakan distorsi dan mutasi realita.Seorang ayah menulis agar anaknya menjadi jenius—namun sang anak kehilangan empati.Seorang wanita menulis untuk hidup abadi—tubuhnya terus hidup, tapi jiwanya membeku.Sekelompok pemimpin membentuk kelompok "Penulis Agung" yang ingin menyensor pena milik rakyat.Dan yang terburuk adalah ....Muncul desas-desus bahwa seseorang sedang membangun kembali Mainframe versi baru, dengan kode campuran antara pena manusia dan kecerdasan buatan.Danu kini tinggal di tempat sunyi, menjaga Perpustakaan Langit yang kembali dib
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments