Share

Misi Kelima_Identifikasi Pemain: Lisa # Cermin Yang Retak

“Anak baru itu terlihat aneh.”

“Kudengar dia tidak memiliki orang tua.”

Sudah cukup! Hentikan!

“Ibu melarangku berteman dengannya.”

“Dia tinggal dekat rumahku, para tetangga sering membicarakannya.”

“Tapi dia terlihat baik.”

“Jangan bercanda! Bibinya saja menyebut gadis itu sebagai anak pembawa sial.”

Aku mohon, berhentilah...

“Menyeramkan.”

“Jangan terlalu dekat dengannya.”

Apa pun itu, apa pun salahku, aku minta maaf. Jadi kumohon berhenti.

“Apa dia dikutuk? Nasibnya sangat tidak bagus.”

“Anak itu menakutkan.”

“Kejiwaannya mungkin terganggu.”

“Tingkahnya juga sering tidak wajar.”

"Yang pasti dia sangat aneh."

BERHENTII!!!

Aku membuka mata dengan pandangan berkunang-kunang, gelap. Jadi aku hanya bermimpi? Tanganku meraba sesuatu yang basah mengalir dipipiku. Aah, mimpi yang menyedihkan itu datang lagi, memimpikan masalalu yang akhirnya membuatku menangis. Kali ini mimpi burukku begitu panjang. Bahkan sangat jelas kuingat meski diri ini sudah sadar.

Aku bangkit untuk mendudukkan diri sambil memegangi kepalaku yang rasanya sakit tidak karuan, tulang-tulang di sekujur tubuhku seolah diremukkan secara bersamaan. Aku mengucek mata lalu memperhatikan sekeliling. Tunggu dulu, mengapa aku tertidur di depan pintu?

Dengan tertatih aku berdiri untuk meraih saklar lampu. Cahaya menyilaukan dari lampu 15 watt segera memenuhi kamar ini, membuat pandanganku kehilangan fokusnya untuk beberapa saat. Setelah menyisir seisi ruangan, mataku berpindah kepada baju yang kupakai. Napasku tercekat dengan jantung yang mulai berdebar sangat kencang. Jaket ini, kan, milik Kak Abel? Lalu, bekas darah ini? Jangan-jangan...

“Dasar pembawa sial! Anak terkutuk! Dosa apa yang pernah kulakukan kepadamu? Mengapa kamu begitu membenciku? Tidak puaskah kamu mengambil suamiku? Sekarang kamu mengambil putriku juga! Arabella adalah satu-satunya yang kumiliki. Sekarang aku tidak memiliki siapa pun lagi. Aku tidak sui melihatmu di sini. Pergisekarang juga! Kumohon, berehentilah mengganggu hidupku.”

Setetes air mataku jatuh mengingat kemarahan Tante Erin yang kembali menggema

dalam kepalaku. Setiap kata yang diucapkannya bersama tangis pilu, setiap tetes air mata dan ratapannya yang begitu menderita. Tante Erin sangat terluka.

Bagaimana ini? Ternyata memang bukan mimpi. Fakta menyakitkan itu telah terjadi. Semalam Kak Abel memberiku kejutan dengan kunjungannya yang tiba-tiba, lalu kami keluar bersama. Semua begitu lancar dan menyenangkan. Aku yang sudah begitu kesepian bisa menghabiskan waktu bersama sepupuku, satu-satunya keluarga yang peduli kepadaku. Hari itu adalah yang terbaik. Sampai orang-orang berwajah seram itu datang.

“Ibumu meninggal dunia setelah melahirkanmu, dan ayahmu meninggal karena kecelakaan saat bersamamu. Sedangkan suamiku jatuh sakit tepat setelah kami menjadi walimu, dia harus menderita bertahun-tahun sampai akhirnya meninggal dengan kondisi menyedihkan. Lalu sekarang, haruskah Arabella juga? Asal tau saja, putriku itu sangat menyayangimu seperti adik kandungnya, tapi kenapa Kamu tega melakukan ini kepadanya? Dosa apa yang dia buat padamu? Kenapa dia harus meninggal karena melindungimu? Arabella adalah anak yang baik, kenapa dia harus pergi dengan cara seperti ini? Kenapa bukan Kamu saja?!”

Suara Tante Erin yang sedang mencerca dengan putus asa terus berputar-putar memenuhi pikiranku. Kak Abel benar-benar sudah pergi jauh. menghilang menuju tempat yang tidak mungkin bisa kugapai lagi. Aku tidak akan bisa lagi melihat senyumnya, merasakan elusan tangannya di kepalaku, mendengar kalimat-kalimat penghiburannya, dan merasakan hangat pelukannya sebagai keluarga.

Ini salahku, Kak Abel meninggal karena melindungiku. Apa aku memang anak terkutuk? Kenapa harus Kak Abel yang pergi meninggalkan dunia ini? Kenapa bukan aku saja? Setidaknya jika aku yang pergi, tidak akan ada yang merasa kehilangan atau merindukanku. Meski aku tidak ada, tidak akan ada seorang pun yang akan menderita. Dunia akan tetap berjalan dan tidak ada yang berubah. Tapi kenapa justru Kak Abel yang pergi? Kepergiannya yang membuat dunia Tante Erin telah berhenti. Lalu duniaku? runtuh.

Aku memungut ransel yang tergeletak di depan pintu dan mulai berjalan dengan gontai ke arah tempat tidur. Setelah menanggalkan jaket Kak Abel dari tubuhku, yang kulakukan selanjutnya hanya duduk diam sambil memeluk lutut di atas tempat tidur sembari merabai noda darah yang membekas pada jaket katun berwarna biru itu. Pikiranku kosong. Jika saja Kak Abel tidak melindungiku dari serangan para perampok itu, dapat dipastikan bahwa noda ini adalah noda darahku sendiri. Jika saja kami tidak melawan ketika perampokan itu terjadi, pasti Kak Abel masih ada, dia akan tetap bersamaku hari ini, menghabiskan waktu di tempat tinggalnya yang baru seperti rencana yang dia katakan padaku dengan penuh semangat semalam. Dasar Lisa, aku ini memang manusia tidak berguna.

Kepalaku dipenuhi oleh ingatan tentang kejadian semalam, hatiku sesak oleh penyesalan. Apa aku bahkan memiliki hak untuk menangis? Aku terlalu malu untuk mengucapkan kata maaf, terlalu bersalah untuk bersedih. Perasaan ini sangat menyakitkan. Terlalu sulit, kenyataan untuk menghadapi semua ini, apakah aku sanggup? Aku ingin menangis, berteriak dengan keras hingga sesuatu yang mengeras di dalam dadaku menghilang, remuk, melebur tanpa sisa. Sayangnya, tak perduli suara maupun air mata, keduanya tidak bisa keluar dengan mudah, seolah saling berkomplot untuk menyiksaku lebih dalam lagi dengan perasaan ini. Apa yang akan kulakukan sekarang? Aku sendiri tidak tau mengapa aku masih berada disini.

“Aku ingin mengantarkan Kak Abel ke peristirahatan terakirnya,” gumamku kepada diri sendiri.

Semua ini salahku. Aku tidak mungkin bisa menghadapi Tante Erin. Hatinya pasti akan jauh lebih menderita jika melihatku berada di sana. Bagaimana pun, aku yang menyebabkan putri semata wayangnya pergi. Tapi, bagaimana dengan perasaanku sendiri? Rasa bersalah ini, kesepian dan kehilangan ini. Tuhan ... mengapa aku diciptakan? Jika keberadaanku pada akhirnya hanya memberi beban dan rasa sakit kepada orang lain, bukankah lebih baik jika aku menghilang? Bukankah akan lebih mudah jika aku tidak pernah dilahirkan?

“Aku layak menerima rasa sakit ini. Aku harus dihukum,” gumamku sambil menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan.

Ddrrrrrttt...Ddrrrttt.....

Getaran ponsel? Mungkin karena ruangan ini terlalu mati sehingga getarannya bisa sekeras ini, bahkan detak dari detik jam dinding pun tak ada untuk mengisi sepinya ruangan ini. Dengan lemas aku berusaha meraih ranselku dan mencari-cari benda pipih itu di sana. Tidak sulit menemukan layarnya yang menyala.

“Ada apa, Va?” gumamku menjawab panggilan Ava sembari berusaha mengatur emosi senormal mungkin.

“Bukan apa-apa, hanya ingin menyampaikan jika Kak Nara tadi sempat mencarimu. Aku menghubungimu bukan karena merasa kesepian gara-gara kamu tidak ada di sini, loh. Aku hanya sedikit penasaran,” tutur Ava dari seberang sana.

“Lain kali saja akan kuceritakan,” jawabku sambil menghela napas berat.

“Huuuh, tidak asik sekali. Kamu pasti sangat bersenang-senang dengan saudaramu sampai tidak memiliki waktu untuk sekedar ngobrol denganku,” ujar Ava setengah menggoda.

Bersenang-senang? Jika saja aku bisa berharap apa yang Ava katakan adalah kenyataan. Bagaimana aku harus bilang kepadanya nanti? Ava terlihat ikut bahagia ketika aku pamit kepadanya semalam, haruskah aku merepotkannya lagi dengan keadaanku yang seperti ini?Entah di mana saja aku berada, nyatanya sku selalu menjadi beban.

“Sa, Kamu masih di sana?” tanya Ava setelah cukup lama aku terdiam.

“Ah, maaf. Aku melamun,” jawabku singkat.

“Baiklah, jika Kamu tidak mau menceritakan tentang Kak Nara kepadaku sekarang, setidaknya izinkan aku sedikit merepotkanmu lagi. Tolong kirimkan file hasil rapat dengan Osis tempo hari, ketua kelas memintanya,” tutur Ava dengan nada memohon.

“Baiklah, setelah ini kukirimkan langsung kepada Amanda,” timpalku.

“Sa,” panggil Ava dengan nada yang berbeda.

“Hmm,” gumamku sebagai respon.

“Apa ada yang tidak beres?” tanya Ava curiga.

Alisku tertaut. Apakah Ava yang terlalu peka atau kami memiliki telepati? “Tidak. Bukan apa-apa,” jawabku ragu.

“Aku tidak bermaksud memaksamu untuk bercerita, sih. Hanya saja suaramu tidak terdengar seperti seseorang yang sedang bahagia. Aku hanya ingin tau jika mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu,” ujar Ava terdengar cemas.

Aku mengembuskan napas berat, masih terlalu sulit untuk mengatakan banyak hal. “Tidak usah terlalu dipikirkan,” ucapku pelan.

“Ternyata aku memang belum cukup dipercaya untuk menjadi temanmu,” timpal Ava terdengar kecewa.

Mendengar ucapannya membuat cengkeraman tanganku pada ponsel semakin mngerat. Au semakin merasa bersalah karena orang seperti aku memiliki sosok seberharga ini sebagai teman. “Bukan begitu, hanya saja...”

Kalimatku menggantung. Aku kehabisan kata. Gadis ini baik sekali. Aku hanya tidak ingin memberinya masalah dan merepotkannya lebih banyak lagi, bukan berarti aku tidak mempercayai Ava sebagai temanku.

“Bukan berarti aku memaksamu untuk menceritakan yang terjadi, loh. Hanya saja aku akan sangat senang jika Kamu mau sedikit lebih terbuka kepadaku, Sa. Aku hanya merasa cemas,” ujar Ava terdengar sangat tulus.

Rasa bersalah itu berubah menjadi cemas setelah mendengar kalimat terakhirnya. “Apa Kamu akan menjauhiku jika aku terus seperti ini?” tanyaku tiba-tiba.

Entah mengapa pertanyaan itu muncul begitu saja dan tergelincir dari mulutku. Jika boleh sedikit egois, maka tidak ingin Ava pergi juga adalah satu-satunya keegoisan yang tidak akan pernah kurelakan. Merepotkannya membuatku merasa tidak enak. Berteman dengan orang sebaik dia setelah aku memberikan banyak rasa sakit kepada orang lain memang membuatku merasa bersalah. Tapi tetap saja, aku ingin tetap berada di samping gadis ini sebagai temannya.

“Kamu ini bicara apa? Maksudku, jika Kamu masih terus tertutup kepadaku, aku akan berusaha lebih keras untuk mendobrak pintu hatimu. Biar begini aku adalah orang yang sangat gigih, loh. Aku tidak akan meninggalkan temanku sendirian hanya karena alasan seperti itu. Aku pasti akan membuatmu lebih percaya kepadaku lagi,” tutur Ava dengan suara yang lebih tinggi dari seblumnya. Tanpa sadar bibirku sedikit melengkung mendengar perkataannya.

“Suatu saat nanti pasti. Saat ini aku hanya belum terbiasa berbagi perasaan dengan

orang lain, yang bisa kukatakan sekarang adalah aku sedang ada di kamar kos milik

keluargamu,” ujarku dengan suara merendah.

“Heeeeeeh?!” seru Ava terkejut dari saluran seberang.

“Aku akan mengirim file hasil rapatnya sekarang. Sampai nanti,” pamitku sebelum mengakhiri panggilannya.

Aku kembali meraih ransel yang sebelumnya kucampakan begitu saja untuk mengambil laptop di dalamnya. Ternyata laptop ini masih dalam mode tidur sejak semalam. Tentu saja, aku belum sempat mematikannya karena terlalu bahagia mengetahui Kak Abel datang berkunjung, lalu aku langsung membawanya pergi begitu saja tanpa mematikannya dengan benar.

Setelah mengirimkan email pesanan Ava kepada Amanda, aku memeriksa beberapa jendela yang masih terbuka di taskbar. Aku terdiam sesaat setelah panah kecil yang kutekan dua kali membuka game Black Mirror. Indah sekali. Entah mengapa, melihat avatarku sebagai Serenina membuatku sedikit iri. Dia kuat dan bisa diandalkan, kehadirannya banyak ditunggu bahkan oleh orang asing sekalipun, sosok yang bisa membantu banyak orang dan penuh percaya diri. Tidak sepertiku yang begitu rapuh dan hanya bisa memberi masalah kepada orang lain. Untuk sesaat, rasanya aku jadi ingin bertukar peran dengan Serenina. Konyol sekali, kan?

Aku menutup semua jendela pencarian dan shoftware yang sebelumnya masih bekerja di latar belakang. Setelah mematikan laptop itu dengan benar, aku menyalakan mode pesawat pada ponselku karena tidak ingin diganggu. Untuk hari ini saja, biarkan aku menikmati rasa sakit ini sendiri. Tanpa apapun, tanpa siapapun. Meladeni takdir yang sedang asik mencandaiku lagi, merayakan luka bersama sepi, sambil menertawakan kenangan indah yang tidak mungkin bisa kembali. Kak Abel ... selamat jalan. Tolong jangan membenciku.

******

Aku membuka mata dengan perasaan bingung atas pemandangan pertama yang menyapa pengelihatanku. Bentangan langit berbintang? Aku tidak ingat pindah tidur di jemuran atau mendekorasi plafon kamarku dengan gaya langit malam. Ini juga tidak seperti aku sedang berhalusinasi atau apa, tapi aku yakin jika sedang menemukan diriku terbangun di atas rerumputan dan diapit oleh akar-akar pohon raksasa.

Aku bangkit untuk berbenah diri, namun kebingunganku semakin bertambah sehubungan dengan semakin banyak keganjilan yang kutemukan. Hei, pakaian ini? Gaun lebar sepanjang lutut berwarna biru, stoking panjang dan sepatu boots kulit berwarna hitam. Aku juga mengenakan benda yang terlihat seperti Magic Butterfly Cloack, jubah panjang bertudung yang bisa berubah warna sesuai dengan sihir yang ditangkal. Jubah ini adalah salah satu atribut pelindung. Lalu, ada juga sabuk pedang dengan benda yang tampak menyerupai Lighting Sword yang tergantung manis di dalam sarungnya. Tidak salah lagi, ini adalah penampilan Serenina. Bahkan aku juga memakai anting yang terbuat dari Healer Chrysoprase dan kalung yang menyimpan sekeping Soul Fragment milik Mozarella. Satu-satunya yang berbeda adalah rambut. aku memilih rambut lurus panjang berwarna perak untuk Serenina ketika membuat karakternya, namun saat ini yang kulihat adalah rambut hitam sebahu, rambutku sendiri. Tapi kenapa aku seperti ini?? Mungkinkah?

"Aku ada di BlackMirror! Whaaah, mimpi ini terlalu indah.”

Aku berseru kegirangan sambil tenggelam dalam kekaguman. Mataku berkeliling melihat sekitar, memperhatikan lingkungan dan objek yang biasanya hanya bisa kusaksikan di depan layar. Tunggu dulu, sepertinya aku tau tempat ini.

Aku maju beberapa langkah untuk mendekat ke arah danau yang tidak jauh dari tempatku berdiri sebelumnya. Di tengah danau itu ada sebuah cawan berwarna emas melayang yang tidak henti-hentinya meneteskan air setiap lima detiknya. Jika itu adalah cawan sihir beracun, maka danau ini pasti danau Bulan Perak yang terletak di tengah hutan elf, bagian dari daratan Norvest di wilayah Barat Laut. Sudah lebih dari dua tahun aku menyusuri peta Black Mirror dan menghafalkan wilayahnya, tebakanku tidak mungkin meleset.

Apakah aku juga bisa mengeluarkan kontrolnya? Meski hanya dalam mimpi, aku ingin mencoba banyak hal yang biasanya hanya dapat kulakukan melalui layar monitor. Hahaha, rasanya aneh juga ketika bermimpi namun menyadari bahwa iniadalah mimpi. Sekarang mari lihat apa yang bisa dilakukan. Apakah lebih baik berburu untuk mendapat drop item terlebih dulu? Aku penasaran bagaimana rasanya mengambil harta yang dijatuhkan oleh para monster tanpa menggunakan kursor. Apakah aku juga memiliki skill yang telah dipelajari Serenina? Astaga, aku sangat bingung, dan berantusias. Tanpa sadar kepalaku sudah terlalu sibuk membicarakan banyak hal. Sedangkan tanganku meraba-raba, membentuk berbagai macam pola di udara dengan harapan kontrol avatar ini akan keluar. Biasanya aku hanya harus menekan gambar avatar Serenina di sudut layar untuk melihat statusnya. Ah, benar juga.

“Mungkin begini bisa.”

Tanganku berpindah dari meraba udara menjadi meraba anggota tubuhku sendiri. Telapak tangan, pegelangan tangan, kening, hingga tengkuk, tapi masih tidak berhasil. Namun ketika tanpa sengaja jari telunjukku menyentuh pelipis untuk berpikir, sebuah layar hologram muncul di depanku. Ini dia, kontrolnya keluar. Status kehidupan, kekuatan serangan, pertahanan, dan sihir, sama persis dengan milik Serenina. Perlengkapan dan skill yang dimiliki juga. Bahkan namanya juga sama.

“Eh? Apa ini berarti aku menjadi Serenina?”

Bukan masalah, sih. Lagipula, aku adalah Serenina dan Serenina adalah aku, jadi apa bedanya? Masalahnya saat ini terlalu banyak yang ingin kucoba dan aku tidak tau kapan aku akan terbangun sehingga mimpi indah ini berakhir. Tapi sebelum itu, mungkin sebaiknya aku memastikan sesuatu terlebih dahulu. Seperti reaksi tubuhku kepada hal-hal disekitarku misalnya.

Aku berlari dan terjun ke dalam danau. Whhooo, ini keren sekali! Aku bisa merasakan dinginnya air meski tubuh dan pakaianku tidak basah sama sekali. Mimpi ini sangat luar biasa. Aku bergegas keluar dari danau lalu meloncat ke cabang pohon raksasa yang sebelumnya melindungiku dengan akar-akar besarnya. Ini hebat, bahkan aku tidak perlu repot-repot untuk memanjat. Kemudian dengan sengaja aku menjatuhkan diri untuk memastikan perubahan statusku.

“Ouchhh.”

Aku meringis sambil memegangi pinggangku yang terasa ngilu. Seharusnya aku sudah tau, jika tubuhku bisa merasakan dingin, maka sudah sewajarnya bisa merasakan sakit juga, kan. Aku membenahi posisi duduk kemudian mengeluarkan layar kontrol untuk memeriksa statusku. Tidak ada perubahan, apakah jatuh daripohon tidak mempengaruhi status kehidupan? Lalu, haruskah aku mencari monster dan dengan sengaja menerima serangannya untuk memastikan cara kerja dari peristiwa ini? Tapi serangan mereka pasti jauh lebih menyakitkan dibandingkan

terjun dari atas pohon. Membayangkan hal itu membuat kepalaku otomatis menggeleng agar pikiran buruk itu menyingkir.

“Sepertinya menjadi solo player membuatmu memiliki banyak waktu luang.”

Sebuah suara asing mengintrupsi dan membuat reflek kepalaku bekerja untuk menoleh ke asal suara. Dengan segera sensor pemindaiku secara otomatis bekerja, membuatku bisa melihat semua informasi tentang orang itu dalam sekedip mata. Apa ini? Astaga...bahkan dalam mimpi sekali pun orang ini tetap menyebalkan. Kenapa harus ada dia di tengah mimpi indahku, sih?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status