enjoy reading ....
"Apa? Tidur dengannya?" tanyanya dengan raut tidak percaya.Aku melangkah mendekati keduanya dengan nafas terengah-engah sambil meredam kepanikan yang terus menguasai keberanianku. "Lo!" geram Richard ketika melihat kehadiranku.Risty ikut menoleh begitu aku berada diantara keduanya. "Sejak kapan lo nidurin cewek gue ke***at!?" Aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan Richard yang menuduhku telah berbagi kehangatan dengan Risty. Jangankan berbagi kehangatan, kenal dekat dengannya saja belum genap satu bulan. "Emang lo cari mati ya?! Nyesel gue kenapa kemarin nggak gebukin lo sampai mampus!" Beruntung gangguan kepanikanku mereda perlahan-lahan karena telah menemukan Risty. Tangannya digenggam erat karena Risty berusaha melepaskan diri. "Jawab! Sejak kapan kalian tidur bareng!" pekik Richard dengan emosi tertahan ditengah kesunyian parkiran klub malam ini."Lepasin gue, Richard!" "Diem!!!" sentak Richard tepat dihadapan Risty."Nggak! Lo nggak ada hak ngatur gue sama sekali!"
Kali ini, apa lagi? Kenapa Mas Kian menghadangku di ruang tengah? Sial! Kalau begini, aku bisa ketahuan sehabis beradu fisik. "Sha, bawa Shakira masuk ke kamar," perintah Mas Kian dengan tatapan tetap tertuju padaku. "Papa, aku belum selesai main," rengeknya. "Mas, jangan pakai kekerasan," Mbak Sasha selalu memperingatkan Mas Kian jika akan mengadili kenakalanku. Bagaimana aku tidak semakin mencintai dia karena sikap penuh perhatiannya yang tiada duanya untukku. Kemudian ia membawa Shakira masuk ke kamar, meninggalkan aku dan Mas Kian berdua di ruang tengah. Apakah ini akan menjadi akhir dari penyamaran profesi baruku sebagai bodyguard Risty? "Buka helmmu, Do," perintahnya. Aku sangsi membukanya karena Mas Kian pasti mengetahui tambahan lukaku. "Rado, kamu denger Mas ngomong kan?!" Jika sudah begini, mau tidak mau aku harus melakukannya. Sorot mata dan nada bicara Mas Kian, memancarkan aura intimidasi bahwa ia tidak mau didebat barang sedikit pun. Baiklah, ini artinya
"Aku nggak punya apa-apa buat bayar kamu biar mau cerita, Do. Sebagai kakak ipar, aku cuma mau yang terbaik buat kamu. Salah satunya jangan berantem terus kayak gini. Mas Kian jadi kesal sama kamu. Dia berangkat kerja tapi hatinya dongkol." Mau bagaimana lagi, Mas Kian tidak bisa lagi mengambil hatiku karena aku sudah jarang bermanja-manja padanya. Tidak seperti dulu. Karena sekarang, posisi itu telah diganti oleh Mbak Sasha. Aku menggenggam tangannya lembut lalu berucap, "Aku mau cerita asal Mbak Sasha nemenin aku senang-senang hari ini." "Senang-senang kemana?" Bayanganku berkelana seperti kencan para muda-mudi jaman sekarang, "Nonton film, makan bareng, pokoknya have fun." "Shakira? Kamu lupa kalau ada dia?" Astaga, keponakan usil kesayanganku itu hampir saja terlupakan. Karena aku fokus mencari kesenangan bersama ibunya. Mumpung, Mas Kian bekerja dan biasanya akan pulang ketika senja telah tiba. Jadi, aku memiliki banyak waktu untuk mencuri perhatian istrinya. "Sama Bik
Bukan film romantis, melainkan film horor yang kami tonton. Mbak Sasha juga memberi batasan, jika di tengah-tengah menonton film nanti Shakira menangis mencari dirinya, maka mau tidak mau acara 'kencan' yang kurencanakan bersamanya akan berakhir di tengah jalan. Bagaimanapun Shakira lebih utama dan aku harus mengalah untuk keponakan kesayanganku itu. "Tapi aku berharap dia nggak nangis apa lagi nyariin kamu, Mbak," ucapku sambil merangkul pundaknya. "Dasar manja! Dulu kamu tuh manja banget sama Mas Kian, tapi kenapa sekarang jadi manja ke aku?" Aku mempersilahkan Mbak Sasha duduk lebih dulu ketika seat kami telah ketemu. Lalu aku duduk disebelahnya dan langsung menyandarkan kepalaku di pundaknya. "Ya pengen manja sama kamu, Mbak. Kamu lebih pengertian dan lembut meski aku nakal. Kalau Mas Kian sekarang berubah intolerir. Aturannya saklek banget." Aku tidak mempedulikan tatapan pengunjung lain karena melihat aku begitu manja dengan kakak iparku ini. Masa bodoh! Aku tidak kenal
Risty sialan! Kenapa dia harus muncul ketika aku sedang berkencan dengan Mbak Sasha. "Aneh ya teman kamu itu. Mikirnya kita pacaran," Mbak Sasha terkekeh, "Malah ngatain aku janda beranak satu pula." Aku membalas ucapannya dengan senyum kaku. Fiuuh ... syukurlah jika Mbak Sasha tidak berpikir macam-macam dengan ucapan Risty. "Mungkin karena kita hampir seumuran kali ya?" "Bisa aja, Mbak. Kan kita cuma beda lima tahun." "Oh ya, Do. Kapan-kapan aku mau loh kenalan sama pacarmu." Pacar? Untuk yang satu itu aku tidak jamin karena sebenarnya aku tidak memiliki kekasih, karena cintaku sebenarnya hanya untuk Mbak Sasha, kakak iparku. Sepulang dari jalan-jalan, aku meminta Mbak Sasha mengobati luka yang ada di wajahku. Hitung-hitung mencari perhatian darinya sebelum Mas Kian pulang. Sekaligus meminta tolong pada Mbak Sasha agar membujuk Mas Kian untuk tidak bersikap intimidatif padaku. Waktu seakan seakan berjalan dengan cepat, ketika deru mobilnya terdengar memasuki garasi ruma
Apa? Richard menantang Risty agar menciumku di sini? Di kafe ini? Dihadapan banyak pengunjung yang sedang menikmati waktu siangnya? Apa Richard gila? Risty melangkah santai menghampiri Richard yang berdiri di dekat meja makan. Lalu kedua tangannya terulur lembut merapikan kerah kemeja Richard yang tidak kusut. Mengusapnya ke kanan dan ke kiri lalu memberi tepukan halus di pundak dan pipinya. "Richard sayang, please lo terima kenyataan kalau mantan kekasih lo yang cantik dan tajir ini udah nggak minat ngelanjutin hubungan ini. Jadi, jangan pakai drama yang nggak mutu kayak gini." "Tapi aku butuh pembuktian, Ris!" "Butuh bukti nggak perlu dengan cara yang seakan-akan ngerendahin gue dihadapan banyak orang, Rich," ucapnya santai sambil bersedekap. "Kalau lo mau, gue bisa tunjukin di apartemen gue. Lo mau lihat gue sama Rado ciuman berapa lama? Dan apa lo yakin, setelah lihat kita berciuman nggak bakal panas hati?" Risty kemudian terkekeh lalu menyibak rambut panjangnya yang inda
“Risty, kembalikan!” aku berusaha meraih botol berisi obat penenangku yang telah Kak Rafa resepkan. Sungguh aku membenci moment seperti ini dimana orang lain mengetahui kekurangan asliku yang sebenarnya. Aku tidak suka mereka menganggapku depresi, stress, atau bahkan gila. Tidak! Aku tidak gila! Aku hanya trauma dengan kejadian lima belas tahun silam. Saat Papa menghajar Mama berulang kali dihadapanku demi wanita lain. “Ini obat anti depresan. Rado, gue punya apotek. Meski gue bukan anak farmasi, tapi gue selalu baca daftar obat yang masuk ke dalam apotek-apotek milik gue. Dan gue tahu obat ini meski nggak detail.” “Gue nggak harus bilang ke lo, Ris! Sekarang, balikin!” tegasku. “No! Sebelum lo bilang obat ini buat apa!” “Buat apa sih lo ngurusi kehidupan gue!” “Karena ini obat keras, Rado! Lo nggak boleh mengkonsumsi obat ini tanpa ijin dokter. Bahkan lo bisa dipenjara kalau menggunakan obat ini tanpa resep! Ngerti nggak?!” Jika aku bilang bahwa obat itu diresepkan oleh Dokte
Rekaman CCTV yang kucari tetap tidak ketemu. Dan aku masih memikirkannya hingga sepanjang malam, bahkan setelah makan malam bersama Mbak Sasha dan Mas Kian. Tidak ada tatapan intimidatif dari Mas Kian, itu artinya dia belum tahu isi rekaman CCTV rumah jika istrinya pernah kucumbu dalam keadaan tidak sadarkan diri. Juga, dia percaya dengan cerita karanganku jika aku babak belur seperti ini karena membela kekasihku. Kekasih tipuanku yang sebenarnya selama ini tidak pernah ada. Biarlah, toh aku tidak mau mereka mengerti perasaanku yang sebenarnya pada Mbak Sasha. Dan pagi ini, ketika aku sudah siap dengan penampilanku yang akan berangkat ke kampus, aku kembali mengecek ponsel untuk kesekian kali. Barangkali Risty menghubungi, namun ternyata tidak. Aku menghela nafas pelan karena satu masalahku bertambah karena dia mengira aku mengonsumsi obat anti depresan untuk kepentingan yang tidak benar. Padahal, obat itu diresepkan untukku atas saran Dokter Rafael, psikiater yang beberapa tahu