enjoy reading ...
Betapa leganya aku setelah menuntaskan satu tugas dari Risty untuk memberi pelajaran pada Ziany, saudara tirinya. Awalnya, Risty meminta hutang darah dibayar darah, namun Kaika akhirnya bisa membuat Risty mengurungkan niatnya dengan memberi pelajaran yang lain.Mencukur rambut panjang kesayangannya.Setidaknya aku tidak sampai menyakiti perempuan sekalipun Risty adalah majikanku. "Mana jatahku?" tanyaku pada Risty ketika masuk ke kamarnya. Betapa mulia nona muda ini karena mendapat izin dari Mas Kian dan Mbak Sasha untuk tinggal disini sampai lukanya sembuh.Dia membuka perlahan selimut hangatnya dan membiarkan televisi menyala. Tirai hanya disibak sedikit sehingga kamar terlihat temaram. Lalu dia duduk di tepi ranjang dengan baju tidurnya berwarna biru. "Sekarang?" "Iya." Risty memakai cardigan miliknya lalu mengikat rambut panjangnya, "Lo bebas apa-apain Mbak Sasha di kamarnya, gue bakal suruh Bik Nah keluar beli kebutuhan gue, dan Shakira biar sama gue. Satu jam. Cukup kan?!"
"Intinya, jangan terusin cinta lo ke kakak ipar sendiri, Do. Nafsu menguasai pikiran lo, tapi gue yakin di lubuk hati lo yang paling dalam, ada secerca perlawanan bahwa perasaan lo untuk Mbak Sasha itu sebuah kesalahan yang nggak seharusnya dilanjutin." Aku mengalihkan pandangan kemudian melangkah mendekati jendela kamar. Menatap sorot lampu jalanan yang berwarna kuning keemasan itu. "Gue nggak minta pendapat lo, Ris. Jangan campuri urusan gue." "Sebenarnya, gue nggak minat terlibat dalam cinta sialan ini sih, Do. Cuma ... gue kasihan aja lihat pengorbanan Mas Kian buat lo yang akhirnya dibalas kegilaan. Gue sampai jijik lihat lo gendong Mbak Sasha ke kamar," ucapnya dengan nada mencibir. "Pergi dari kamar gue, Ris!" bentakku sambil menatapnya nyalang. "Jangan bersikap kurang ajar sama gue, Rado. Gue majikan lo, inget itu," ucapnya tenang dengan dagu terangkat. "Dan satu lagi, dengan keluarga yang cukup berada kayak gini, kenapa lo milih diam-diam kerja jadi bodyguard gue? Ema
"Apa katamu? Mama?" Risty bertanya dengan nada mengejek, "Mama gatal begitu, kah?!" "Risty! Jaga bicaramu!" "Untuk apa aku menjaga bicara dihadapanmu, Nyonya Rira? Ah ... salah. Yang benar Nyonya Ferdinand. Istri si sopir Ferdinand yang ganjen itu." "Ini yang kamu dapat dari hidup di luar dengan dalih ingin mandiri, Risty?!" Risty dan ibunya saling beradu argumen dihadapanku tanpa tahu malu. "Dan apa yang kamu dapat dengan dalih ingin membuka bisnis sendiri?! Apa itu cuma alasan biar mendiang Papa nggak curiga kalau kamu dan si Ferdinand sialan itu lagi ena-ena di ruko yang kamu sewa?!" Tawa mengejek Risty makin terdengar penuh cibiran dan emosi. "Lalu menghasilkan produk manusia sampah kayak Ziany? Well, Bapaknya aja sampah, jadi jangan ngarep anaknya nggak lebih baik dari air comberan!" "Be***ah lo, Ris! Jangan hina gue!" Ketika Ziany akan merangsek menggapai tubuh Risty, aku segera menahan kedua tangannya ke belakang. Hingga ia memekik tidak terima dan kesakitan. "Lepa
Aku menjauhkan tubuh Risty secara paksa begitu lift menghentak lantai dasar. Aku tidak mau orang beranggapan bahwa kami sedang melakukan tindakan asusila di dalam lift hotel. Masalahnya bisa panjang jika pihak berwajib melaporkan hal ini pada keluargaku. "Mau sampai kapan lo di dalam, Ris?" tanyaku ketika Risty menunduk dengan tangan menyeka air mata. Begitu pintu lift akan tertutup, aku menggunakan kakiku untuk menahannya agar tidak tertutup kembali lalu menarik tangan kiri Risty. "Ini udah di lobby, Ris." "Gue tahu dan gue nggak katrok!" Kemudian dia berjalan lebih dulu ke arah dimana motor sportku terparkir. Memakai helm miliknya lalu menungguku menghidupkan motor lebih dulu. Kemudia ia menaiki jok belakang. "Club atau apapun itu yang buka di sore yang menyebalkan ini!" Aku menoleh begitu ia memintaku membawanya pergi ke tempat durjana itu. "Cepet, Rado! Gue pusing!"Jika healing yang diinginkan Risty dengan mendatangi club malam, aku tidak akan mewujudkan keinginannya. Aku
"Dua kali lo berani-beraninya ngaku-ngaku jadi cowok gue? Emang lo siapa?!" Risty bersedekap kesal lalu membuang muka ketika kami sudah duduk di kursi yang kupesan. Kursi kafe Ombak Laut yang menghadap gelapnya Pantai Ancol. "Sorry, gue sadar sama status kita. Tadi gue cuma nggak ada pilihan karena kita dilihatin banyak orang." "Gue maafin." "Thanks." Syukurlah Risty menyadari bahwa kegaduhan yang terjadi diantara kami tadi lebih banyak disebabkan karena ulahnya. Mana mungkin pramusaji kafe mau membawakan menu makanan ke pesisir pantai? Ada-ada saja permintaan Risty. Setelah pramusaji mencatat menu makan malam kami, Risty beralih meneguk lemon cooler miliknya hingga tandas. Entah dia haus atau karena hatinya kembali panas. Lalu kami memilih saling diam hingga pramusaji datang menyajikan menu makan malam kami. "Mas, gue mau menu makan malam ini, lo bawa ke pesisir pantai disana. Bisa kan?!" pinta Risty tanpa tahu malu. Pramusaji itu bingung lalu memandangi kami bergantian. "
Aku melepaskan diri dari pelukan paksa Risty karena penasaran dengan adegan 18+ apa yang dia maksud. Begitu bisa membebaskan diri, aku segera membalik badan sambil melangkah cepat menuju pintu samping rumah yang terhubung dengan garasi. Damn!!! "Oh hell, God!" Risty berseru di belakangku, "Gue udah bilang, kan?! Lo nggak percaya." Mbak Sasha sedang dicium penuh nafsu oleh Mas Kian ketika mereka sedang berada di dapur. Tubuh Mbak Sasha sengaja dihimpitkan Mas Kian ke tepi kitchen counter table. Lalu tangannya sudah menelusup ke dalam pakaian rumahan Mbak Sasha dengan bibir mereka saling bercumbu. "What a hot couple! Ini masih sore loh. Dan Mas Kian udah nggak sabar aja, mana masih pake baju kerja," Risty berucap untuk membuat kobaran di hatiku membuncah. Ketika aku akan melangkah untuk membuat kegaduhan agar mereka melepas percintaan yang menggelora itu, Risty langsung menahan tanganku. "Jangan ganggu mereka, Rado! Mereka mau bikin adiknya Shakira!" Aku menatap Risty tajam, "
Mendengar desahan wanita yang kucintai sedang bergelung penuh hasrat bersama suaminya, membuat emosiku memuncak hingga ubun-ubun. "Harusnya kamu itu jadi milikku, Mbak!" desisku. Di sore yang temaram ini, Mbak Sasha sedang bercinta dengan Mas Kian, suaminya. Dan tanpa mereka sadari, ada aku yang amat terluka karena hanya bisa mencintai Mbak Sasha tanpa bisa memilikinya. Kedua tanganku terkepal lalu meletakkan perlengkapan P3K begitu saja di depan pintu kamarku. Lalu aku melangkah cepat ke dapur untuk mengambil dua gelas kaca kemudian kembali menuju kamar. "Aku nggak akan biarin kalian bercinta lalu aku merana lihat kalian bahagia!" Dengan tenaga penuh, aku melempar kedua gelas kaca itu hingga membentur pojok dinding. Pyar! Pyar! "Mereka pasti berhenti," gumamku yakin. Karena tidak mungkin mereka tetap melanjutkan percintaan ketika mendengar suara pecahan kaca yang teramat jelas. Aku kembali mengambil kotak P3K lalu masuk ke dalam kamar. "Suara apa itu, Do?" Risty bertanya
“Astaga! Hantu!” Risty terkejut begitu menghidupkan lampu dapur karena ada aku yang sedang duduk di kursi dapur. “Gue Rado. Bukan hantu.” Risty mengusap dadanya dengan nafas naik turun, “Lagian lo ngapain sih disini kagak mau hidupin lampu?” Kemudian ia berjalan menuju kulkas lalu mengambil satu minuman kaleng dingin. Membukanya lalu ikut duduk di sebelahku. Aku melirik pakaian tidurnya yang … astaga … membuatku sakit mata. Kaos lengan pendek warna merah yang menampilkan perban di lengan kirinya. Dipadu dengan celana pendek sepaha. “Lo lagi merenung?” Tanganku bergerak mengambil minumanku kemudian meneguknya hingga habis. Lalu memutar kursi Risty agar menghadapku sepenuhnya. Meletakkan kedua tanganku di sisi kanan kiri kursi agar Risty tidak lari. “Denger, Ris! Gue kesel sama kelakuan lo yang sok melengketkan Mas Kian sama Mbak Sasha! Manas-manasin gue sama kemesraan mereka! Apa mau lo, heh?!” “Inget! Tugas gue cuma sebatas jadi bodyguard lo! Nggak lebih! Jadi jangan masuk ke