Home / Lainnya / Bolehkah Aku Menangis / Ketakutan Maya, Sahabat Nona Muda

Share

Ketakutan Maya, Sahabat Nona Muda

Author: As Jaz
last update Last Updated: 2021-07-15 20:03:06

Kepalaku masih terasa berat untuk beranjak dari bantal. Namun, aku harus memaksakan diri. Sudah berapa hari tak bekerja saat masuk Rumah Sakit kemarin.

 

Tampak Maya baru saja keluar dari toilet. Dia tersenyum sekilas ke arahku, lalu mendekati tasnya. 

 

"Nona Muda ..." lirihku, lupa bahwa Nona Muda lebih suka disebut Kakak Maria. Aku memperbaiki posisi duduk dengan kaki menyentuh lantai, menghadap Maya. "Kakak Maria ada dimana, Kak?" tanyaku pada gadis berambut sebahu itu. Sibuk mengeluarkan pakaian.

 

"Ria di kamar Ibunya," jawabnya singkat.

 

Aku mengangguk pelan. Melangkahkan kaki ke toilet. Lalu, keluar untuk mencari handuk. Ketika aku hampir masuk ke kamar mandi, aku menoleh pada jendela. Kulihat pemandangan halaman rumah dengan beberapa pohon berdaun lebat. Daun kering berserakan seolah-olah memanggil untuk dilenyapkan.

 

Dalam kamar mandi, aku memilih mandi di bagian bak, menggunakan gayung. Sesaat aku memikirkan bagaimana sempurnanya orang-orang yang mendesain rumah itu. 

 

"Hana!" Berulang kali Maya terdengar memanggilku dengan pintu terus digedor-gedor. Aku memilih buru-buru membersihkan sisa sabun dan keluar memeluk handuk yang melingkari tubuh.

 

Ketika kubuka pintu, tampak Maya memandangi jendela. Bergantian ke arah pintu. Dia mendekati tubuhku yang menggigil. 

 

"Ada apa, Kak?" tanyaku kebingungan. Jantungku turut berdebar kencang melihat wajah Maya ketakutan.

 

"Kita keluar sekarang, Dik! Sekarang!" Dia menarikku dengan mata berkaca-kaca.

 

"Tidak, Kak. Aku belum memakai baju. Tunggu!" Aku menyambar tas dan mengeluarkan pakaian. 

 

"Sekarang, Dik ... aku ingin keluar!" Dia tak sabar, suaranya lirih, tetapi seperti teriakan yang tertahan.

 

Aku tak menghiraukannya dan menepis tangannya. Rumit jika lenganku digenggam erat saat memakai pakaian. Kupakai baju kaos lengan panjang menjulur ke lutut hingga celana dan khimar terpakai tanpa bercermin. Maya langsung menarikku keluar pintu.

 

"Ada apa, Kak?" Aku berkali-kali melontarkan pertanyaan sembari mengikutinya dari belakang karena tanganku tak dilepasnya.

 

Tiba di pintu utama, dia menarik gagangnya dan sesekali menatap ke arah kamar lantai dua di ujung sana. Tepat di atas kami, sebelah kiri. 

 

Pintu tak terbuka. Maya menendang pintu dan menangis. Dia duduk bersandar tengah menunduk. Tanganku dilerai.

 

"Tolong, Kak, katakan padaku!" Kembali aku memaksanya untuk mengungkap apa yang terjadi. Mengapa ia begitu ketakutan.

 

"May ..." seru Nona Muda dari lantai dua, tampak ia baru saja keluar dari kamar ibunya. "Kalian sedang apa duduk di situ?" tanyanya dengan suara tinggi sembari berjalan menuruni tangga. 

 

Aku berdiri, mengamati Nona Muda mendekati kami. Sementara Maya memeluk lutut, tak ingin melihat Nona Muda.

 

"Hei! Ada apa, May? Mengapa kau menangis?" Nona Muda menyeka rambut Maya dan mengangkat wajahnya dengan kedua tangan. Namun, Maya menyingkirkan jemari Nona Muda, mendorongnya dengan pelan.

 

Aku masih kaku, tak mengerti dengan sikap Maya.

 

"Biarkan aku pergi, Ri ... jangan sakiti aku!" Perkataan Maya membuatku terkejut. Rasanya jantungku berhenti berdetak beberapa detik. Aku merasakan ketakutan Maya dihantarkan pada tubuh ini.

 

"May! Kau mulai lagi!" Nona Muda menggelengkan kepala dengan raut kecewa. "Kau masih tidak percaya padaku," imbuhnya menjauhi Maya. Nona Muda mengusap wajah hingga ke bagian atas rambut. Tangannya melingkar di perut seolah memeluk dirinya sendiri. "Menjauhlah kalau begitu! Aku akan buka pintu," pinta Nona Muda kemudian.

 

Maya memberi ruang Nona Muda agar segera membuka pintu. Maya tampak begitu ketakutan, dia terus-terus menggigit jarinya. 

 

"Keluar!" Tangan Nona Muda memberi isyarat mempersilakan.

 

Maya keluar dan berlari melewati pagar. Entah ia mengendarai apa. Aku kembali mengamati Nona Muda yang duduk di sofa ruang tamu. Dia memijit kepala beserta rambut panjangnya.

 

"Kau juga ingin pergi, Han?" Nona Muda menatapku tajam. Matanya memancarkan kesedihan yang entah dari mana. Namun, aku merasa ia sedang frustasi seperti saat aku menangisi nasib adik-adik.

 

"Tidak, Kak. Aku tak ingin pergi," jawabku masih berdiri meremas tangan sendiri.

 

Nona Muda menyandarkan tubuh di sofa, memejamkan mata. "Aku butuh obatku, Dik."

 

"Obat?" Aku bingung, obat mana yang dimaksud Nona Muda. Dia tak pernah memperlihatkannya. 

 

"Cari di laci meja riasku, Dik! Tolong!" desak Nona Muda, membuatku bergegas naik ke lantai dua.

 

Otakku tertuju pada meja rias hingga tak sempat mengamati hal lain. Jalanku tergesa-gesa,  napasku terengah-engah usai menaiki tangga. 

 

Tiba di meja rias, aku langsung membuka lacinya. Potret keluarga di dalamnya, sekilas menarik perhatianku. Seorang pria dan tiga anak perempuan kecil beserta wanita dewasa.   Botol obat ada di dekatnya, aku langsung mengambil dan kembali menutup laci.

 

Apakah mereka keluarga Nona Muda? Kepalaku terus bertanya sembari mengenggem botol obat. Kuharap botol itu obat yang dimaksud Nona Muda. Sebab, tak ada obat lagi di laci itu.

 

"Aku hanya menemukan ini, Kak." Aku mengulurkan botol kecil ke hadapan Nona Muda yang membuka mata.

 

"Air ..." sahutnya.

 

Aku buru-buru ke ruang belakang. Beruntung, di dalam lemari es terdapat botol air mineral. 

 

Aku memberi air itu. Nona Muda meneguk beberapa biji pil. Ia menyandarkan tubuh dengan posisi kaki diluruskan.

 

"Jangan ganggu, Dik, kau juga bisa beristirahat di dekatku. Jangan tinggalkan aku!" Nona Muda tampak lemas, ia merebahkan tubuh dan melipat tangan di dadanya.

 

Aku duduk di bagian sofa lain, hanya beberapa meter jarak kami. Kupandangi wajahnya yang lembut. Aku mengerling ke atas, mencari sosok nyonya yang belum pernah kulihat jelas atau menyapanya. 

 

Kepala kusandarkan di bahu sofa hitam. Mataku terpejam, masih pagi dan mengundang kantuk. Terlebih, malam itu tidurku tak nyenyak dengan banyak beban.

Aku mendengar suara tapak kaki dari tangga di belakang. Kupikir, itu ada Nyonya besar yang hendak ke dapur. Ketika aku menoleh, dari ujung tangga tak tampak siapa-siapa di sana. Di sekitar ruang tamu pun tidak ada. Kembali aku merebah dan memandangi Nona Muda yang masih tertidur. 

Beberapa menit, aku merasa ada angin dingin menyambar wajah dari arah kiri. Lalu, sentuhan di leher belakang sekali. Sontak aku membalikkan badan, terlihat wanita berambut panjang dengan gaun putih menutupi kaki. Ia tak menampakkan wajah, tetapi terus berjalan dengan pelan.

"Nyonya ..." panggilku sembari beranjak dari sofa hendak bertanya apa yang ia butuhkan.

Aku terus melangkah mendekatinya. Namun, ia tak juga berbalik.

"Nyonya ... ada yang bisa saya bantu?" Aku telah berada di belakangnya dengan jarak tak cukup semeter. 

Ia pun berbalik perlahan. Aku menunduk, lalu mengangkat wajah saat kurasakan ia telah menghadap ke arahku. Tampak mukanya berwarna hijau dengan akar hitam bercak darah. Sangat hancur dan sulit tergambar. Jantungku seketika berhenti. Tubuh bergetar hebat dan menggigil. Tak dapat aku mundur atau berkata apapun. Semua menjadi gelap dan aku merasakan badanku ambruk ke lantai.  

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status