Di dunia di mana setiap manusia berusia 18 tahun akan diuji oleh Bulan untuk mengetahui apakah mereka keturunan manusia biasa, penyihir, atau werewolf tersembunyi — seorang gadis yatim piatu bernama Lyra menemukan bahwa dirinya bukan hanya werewolf biasa. Ia adalah keturunan darah murni terakhir, yang ditakdirkan untuk menjadi pasangan sejati raja serigala yang brutal, Alpha Kaelen — pria yang membenci segala sesuatu tentang cinta. Namun, Lyra tidak mau diperbudak takdir. Ia ingin memilih jalannya sendiri. Sementara itu, dunia werewolf berada di ambang kehancuran akibat pemberontakan, pengkhianatan, dan rahasia kelam yang mulai terungkap. Akankah Lyra menaklukkan takdirnya dan menyelamatkan dunia para serigala, atau justru menghancurkannya? ---
view moreBulan purnama menggantung di langit malam yang gelap. Cahaya putihnya menyinari pepohonan hutan, memantul di tanah lembap, seolah menghakimi setiap langkah Lyra. Angin malam berdesir pelan, membawa bisikan samar yang mengingatkannya pada kata-kata sang nenek sebelum ia pergi.
"Hari ini, kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya." Lyra menelan ludah. Ketegangan membelit tenggorokannya saat ia menatap bulan yang terang menggantung, seolah menanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Apa yang akan terjadi malam ini? Ia tak tahu. Yang ia tahu, hidupnya akan berubah selamanya. Dengan langkah mantap, ia menapaki hutan lebih dalam, meninggalkan rumah kecil sang nenek—tempat yang selama ini menjadi pelindung dari dunia yang tak dikenalnya. Tak seorang pun tahu masa lalunya, atau siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya seorang gadis yatim piatu, tumbuh dalam bayang-bayang rahasia yang tak pernah terungkap. Bulan bersinar sunyi, seolah menuntunnya. Sang nenek pernah berkata, "Bulan tak pernah berbohong. Jika kamu siap, ia akan menunjukkan jalanmu." Malam itu, bulan tampaknya sedang menunggu jawabannya. Suara langkah kaki mendadak terdengar dari belakang. Lyra menoleh,Dari balik bayang-bayang muncul sosok tinggi dan tegap. Mata pria itu bersinar tajam seolah bisa menembus jiwanya. "Alpha Kaelen," gumam Lyra, nyaris tak percaya. Kaelen—pemimpin kawanan terbesar, ditakuti sekaligus dihormati—berdiri di hadapannya. Tatapannya dingin, namun Lyra menangkap kesedihan yang mengendap di baliknya. Sesuatu yang tak terucap, luka lama yang tersembunyi dalam keheningan. "Kamu tahu mengapa aku di sini, Lyra?" tanyanya dengan suara berat, penuh perintah. "Aku... aku tidak tahu," jawab Lyra, bingung. Kaelen melangkah maju. Setiap langkahnya menggetarkan tanah. "Bulan memilihmu malam ini. Kamu bukan gadis biasa. Kamu adalah keturunan darah murni terakhir." Kata-kata itu menghantam Lyra seperti petir. Ia terhenyak. "Apa maksudmu? Aku... bukan manusia biasa?" "Ini bukan sekadar tentang menjadi werewolf. Kamu adalah pasangan sejati yang ditakdirkan menjadi ratu di sisiku," ujar Kaelen, suaranya dalam dan tegas, seolah takdir telah diputuskan tanpa bisa ditolak. Lyra menggeleng. "Tidak," desisnya. "Aku tidak ingin jadi bagian dari ini." Kaelen tersenyum tipis—bukan senyum kebahagiaan, melainkan penyerahan. "Kamu tak punya pilihan. Bulan tidak pernah salah." "Bulan tak bisa memutuskan hidupku," balas Lyra dengan gemetar. "Aku bukan milikmu." Tatapan Kaelen melembut, suaranya merendah. "Kamu tidak mengerti. Takdir kita telah ditulis sejak lama. Kamu adalah bagian darinya, tak peduli sekeras apa pun kamu melawan." Hati Lyra berdebar kencang. Bukan karena takut, tapi marah. Dalam-dalam. "Aku tidak akan jadi bagian dari takdir yang dipaksakan padaku." Kaelen mendekat. Matanya yang berkilat bertemu pandangan Lyra. "Takdir itu lebih besar dari kita berdua. Dunia ini membutuhkan kita untuk bertahan." "Dan jika aku menolak?" tantangnya. Kaelen terdiam. Namun dalam diam itu, Lyra melihat keputusasaan. Rasa sakit. Luka yang terlalu dalam untuk disembunyikan. Malam itu, di bawah cahaya bulan yang penuh, Lyra berdiri dalam beban takdir yang menghimpit. Ia tahu, keputusannya malam ini akan mengubah segalanya. "Jika dunia ini harus hancur demi aku memilih jalanku..." bisiknya lirih, "...maka aku akan membuat dunia itu memilih jalanku, bukan takdir." Dan bulan, yang menyaksikan semuanya, hanya tersenyum dalam kesunyian. --- Kaelen menatap Lyra untuk waktu yang terasa lebih panjang dari seharusnya. Wajahnya tetap dingin, namun sorot matanya bergeser—ada sesuatu yang berubah. Seolah ia melihat bukan hanya seorang gadis yang menolak takdir, tapi seorang pejuang yang berani mengguncang ramalan para leluhur. “Jika dunia ini harus hancur untuk aku memilih jalanku,” Lyra berkata, suaranya gemetar namun tegas, “maka aku akan membuat dunia itu memilih jalanku, bukan takdir.” Kaelen menahan napas, seakan kalimat itu menampar hatinya. Ia tidak menjawab. Tidak kali ini. Angin berembus lebih kencang, membawa aroma tanah basah dan kabut hutan yang makin menebal. Langit di atas mereka tetap terang, tapi seolah semakin sempit, seakan bulan pun menahan napas, menyimak apa yang akan terjadi selanjutnya. Lyra memundurkan langkah. Ia tidak tahu akan ke mana, tapi ia tahu ia tak bisa berdiri di sana lebih lama. Kaelen tidak menahannya. Ia hanya berdiri dalam diam, seperti bayangan yang tak bisa hilang dari hidup Lyra. Langkah Lyra pelan, berat, seperti menyeret beban yang tak kasat mata. Tapi ia terus melangkah, menembus kegelapan pohon-pohon, hingga cahaya bulan hanya tinggal bayangan di sela dedaunan. “Takdir… siapa yang menulisnya? Dan kenapa aku yang harus menanggungnya?” Suara hatinya menggema dalam sunyi. Ia teringat masa-masa saat ia hanya gadis kecil yang duduk di pangkuan neneknya, mendengarkan cerita-cerita tentang roh hutan, tentang cinta dan kehilangan, tentang bulan yang memilih. Tapi semua itu hanya dongeng, bukan? Langkah Lyra terhenti di sebuah batu besar, ditutupi lumut dan akar. Ia duduk, memeluk lututnya, membiarkan udara dingin malam membelai kulitnya yang menggigil. Di kejauhan, lolongan serigala terdengar panjang. Bukan sekadar suara, tapi panggilan. Panggilan yang terasa asing… dan juga familiar. Suara yang seolah memanggil darahnya sendiri. Matanya memejam. "Aku bukan milik siapa pun," batinnya. "Tapi entah kenapa, aku merasa seperti aku milik bulan itu." Ia tak tahu berapa lama ia duduk di sana, hingga suara langkah kaki lembut mendekat dari arah lain. Bukan langkah Kaelen. Tapi seseorang yang lain… yang juga mengenalnya. “Kau tidak bisa lari dari ini, Lyra,” bisik suara dari balik semak. Lyra menoleh cepat. Sosok berbayang muncul, dan jantungnya berdetak lebih cepat. “Jax?” gumamnya. Sahabat masa kecilnya berdiri di sana, wajahnya samar diterangi remang bulan. Di matanya, ada kekhawatiran… dan sesuatu yang belum pernah Lyra lihat sebelumnya. “Aku mencarimu. Aku takut mereka sudah—” Ia menghentikan kata-katanya, lalu mendekat. “Kamu bertemu dia, ya?” Lyra mengangguk pelan. “Kaelen.” Jax mengepalkan tangan. Ia tidak berkata apa-apa, tapi Lyra tahu—ia tahu Jax ingin melindunginya, meski ia sendiri tidak mengerti dari apa. Lyra menarik napas dalam-dalam. Malam belum selesai. Jawaban belum datang. Dan takdir… baru saja membuka pintunya. “Kalau memang aku bagian dari ramalan…” “…aku akan memilih bagaimana aku memenuhinya.” Dan bulan, tetap bersinar di atas sana, menjadi saksi malam pertama seorang gadis—yang akhirnya menyadari, ia bukan lagi manusia biasa. ---Fajar mulai merangkak di ufuk timur. Cahaya keemasan menembus celah-celah pepohonan di Hutan Penjaga, tempat pertemuan terakhir antara Lyra, Kaelen, dan Orion. Kaelen duduk di atas batu besar, menatap kosong ke langit yang kini kembali cerah. Wajahnya keras, tapi matanya basah oleh duka yang tak terucap. Di sisinya, Jax dan Eira berdiri diam. Mereka tahu bahwa sesuatu telah hilang malam itu — bukan hanya Lyra, tapi juga harapan yang ia wariskan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah keheningan. “Kaelen.” Semua menoleh. Di depan mereka berdiri sosok yang tak terduga — Orion. Wajahnya lelah, tapi ada ketenangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. “Kau kembali,” ujar Kaelen dengan suara parau. Orion mengangguk. “Aku datang bukan sebagai musuh. Malam itu, saat Lyra menyatu dengan bulan, aku mengerti... kekuatan bukan tentang menguasai, tapi tentang merangkul.” Kaelen memandang Orion, lalu menatap ke arah hutan yang mulai hidup oleh sinar matahari pagi. “Kau benar
Langit terbelah oleh cahaya bulan purnama. Cahayanya tak lagi lembut, tapi tajam—menyobek bayangan, menyingkap luka. Di atas puncak Bukit Takdir, Lyra berdiri sendirian, mengenakan jubah putih bersulam simbol leluhurnya. Rambutnya dibiarkan terurai, membingkai wajah yang tak lagi gadis, tapi bukan pula seorang ratu. Di bawah sana, dua pasukan telah berkumpul. Di sisi kiri: Klan Serigala, dipimpin Kaelen, berbaris dalam diam. Mata-mata mereka menyala perak. Di sisi kanan: Umbra, menyatu dengan kegelapan, menunggu aba-aba dari Orion. Dan di antara mereka—adalah Lyra. Bukan sebagai pihak, tapi sebagai jembatan. Atau mungkin... pengorbanan. Suara langkah mendekat. Kaelen. “Kau yakin ingin melakukannya seperti ini?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris pecah. “Tanpa perlindungan, tanpa kekuatan?” Lyra menatapnya. “Justru karena aku ingin mereka melihatku... sebagai manusia.” Kaelen menghela napas. “Jika sesuatu terjadi padamu—” “Aku tahu,” potong Lyra lembut. “Tapi ini pilihanku. Sama s
Malam itu, Lyra tak tidur.Ia duduk di atas menara batu tua tempat para Penjaga pernah menulis sejarah dalam cahaya bulan. Angin dari utara membawa bau kabut dan abu. Dunia mulai retak, dan retakan itu terasa di dalam dirinya.Kaelen berdiri tak jauh darinya, bersandar di pilar batu yang patah.“Kau tahu,” katanya pelan, “aku pernah berharap ramalan itu hanya mitos tua. Cerita untuk menakut-nakuti anak muda agar tetap di jalur.”Lyra tak menoleh. “Tapi kita adalah ramalan itu sekarang.”Kaelen berjalan mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara.“Tidak. Kau adalah harapan yang mereka sembunyikan dalam ramalan. Aku hanya... bayangannya.”Lyra menatapnya. Mata itu—mata seorang raja yang pernah menolak cinta—kini tampak lelah. Namun jujur. Dan itu lebih berbahaya daripada kemarahan.“Apa kau takut?” tanyanya.Kaelen diam sejenak. “Pada dunia? Tidak. Pada takdir? Selalu.”Lalu ia menatap Lyra. “Tapi pada kemungkinan mencintaimu... aku benar-benar takut.”Kata-kata itu menggantung di udara s
Malam telah berakhir, tapi langit tak benar-benar menjadi terang. Kabut yang seharusnya pergi setelah fajar tetap menggantung, seolah enggan melepaskan dunia dari cengkeramannya. Lyra berdiri di tepi danau, tempat bayangan bulan masih membekas di permukaan air. Ia baru saja kembali dari dunia bayangan, tapi bagian dari dirinya terasa tertinggal di sana—di tempat Orion memilih untuk tetap tinggal. “Tak ada yang benar-benar kembali utuh dari sana,” kata Eira pelan, menghampirinya. “Tapi kau lebih kuat dari yang kukira.” Lyra tersenyum kecil. “Kuat bukan karena tidak takut… tapi karena tetap melangkah meski takut, kan?” Eira mengangguk. “Dan karena kau tidak sendirian.” Dari kejauhan, Kaelen mendekat, membawa selembar gulungan kulit kayu yang baru saja diterima dari penjaga perbatasan. “Ada pergerakan di utara,” katanya sambil menyodorkan gulungan itu. “Pasukan Umbra mulai bergerak. Orion mungkin masih menahan serangannya, tapi bayangan di bawahnya tidak akan menunggu lebih lama.”
Langit mulai memudar ke abu-abu saat rombongan kecil itu kembali dari reruntuhan. Tak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Tapi dalam diam itu, suara-suara lain berbicara—keraguan, pertanyaan, dan ketakutan yang tak terucap. Lyra duduk di atas akar pohon tua, menatap ke danau kecil yang memantulkan sisa cahaya pagi. Ia memutar-mutar kristal merah tua di tangannya, kilauannya kini terasa lebih redup. Seolah tahu, sesuatu telah bergeser dalam dirinya. “Jadi... dia tak sepenuhnya memilih Umbra,” gumamnya, nyaris tak terdengar. Kaelen berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh pada batang pohon. “Tapi dia juga belum memilih kita.” Lyra mengangguk pelan. “Mungkin karena dia belum pernah diberi alasan untuk percaya.” “Dan kau ingin jadi alasan itu?” Lyra menoleh. Tatapannya tajam, tapi bukan marah—lebih seperti terluka. “Dia saudaraku, Kaelen. Setengah darahku mengalir dalam dirinya. Kalau aku menyerah pada dia sekarang, berarti aku juga menyerah pada kemungkinan bahwa kebaika
Angin di reruntuhan kuil seperti tak berani menyentuh mereka. Diam. Tegang. Waktu seolah menunggu keputusan. Lyra menatap Orion tanpa berkedip. Jarak di antara mereka hanya beberapa langkah, namun terasa seperti dunia yang terbentang luas. “Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya. “Bahwa kau tak bisa mencintai terang?” Orion menurunkan pandangannya sejenak, lalu berjalan pelan mengitari tiang batu yang hampir runtuh. Suaranya tenang, tapi berlapis—seperti sungai gelap di bawah permukaan es. “Cinta butuh ruang. Aku tak punya itu. Aku dibesarkan dalam kegelapan, dengan bisikan dendam dan janji yang tak pernah ditepati.” Ia berhenti. Menatap Lyra lurus-lurus. “Sedangkan kau… kau adalah cahaya yang tak pernah dijanjikan padaku.” Lyra merasakan sesuatu menghantam dadanya. Bukan kemarahan. Tapi iba. Dan ketakutan yang samar. “Lalu kenapa kau menunggu aku?” bisiknya. “Kalau kau membenciku… kenapa tak membunuhku sejak tadi?” Orion mengangkat tangan. Kabut di sekitar mereka berputar,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments