Share

5. Malam Memalukan

"Lil, nanti malam kamu gantiin saya mendampingi Pak Ezekiel acara gathering di hotel Rama, ya? Saya ada urusan keluarga yang nggak bisa saya tinggal."

Baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangannya, Bu Ana sudah memberinya tugas. Apa tadi, mendampingi Pak Ezekiel acara gathering nanti malam. Artinya dia tidak bisa berakhir pekan dengan tenang.

"Saya, Bu?" tanya Lila.

"Iya, kamu."

Sementara Yolanda di mejanya senyum-senyum jahil. Lila medesis. "Kenapa nggak Yolanda, Bu?"

"Aku udah bilang ke Bu Ana mau pulang ke Solo. Mamaku lagi sakit."

Lila menghela napas berat. Akhir pekan yang seharusnya dia gunakan untuk bersantai-santai, masih juga harus bertemu dengan bosnya yang menyebalkan itu.

"Nggak usah protes, Lila. Pak Ezekiel bakal marah nanti kalau nggak ada pendampingan dari dewan sekretaris." Bu Ana berucap, menampik kekesalan Lila.

"Iya, deh, Bu," sahut Lila berat.

Lila merasa canggung saat diberi tugas untuk mewakili Bu Ana, dalam menghadiri acara gathering para pengusaha. Ia harus menemani Ezekiel, si bos reseh. Meskipun terasa sulit, Lila berusaha menganggap ini sebagai kesempatan untuk membuktikan kemampuannya di mata atasan. Ya, hitung-hitung menghibur diri sendiri.

Malam harinya Lila pun datang ke hotel Rama. Acara gathering diadakan di auditorium hotel yang besar. Acara gathering para pengusaha yang mewah, pikir Lila. Terlihat dari kursi-kursi yang mengelilingi meja-meja bundar, lalu meja prasmanan panjang yang berisi berbagai menu makanan, serta panggung musik yang diisi band terkenal ibu kota. Wow, Lila pikir berapa mereka membayar band itu untuk perform di acara ini.

Lila menyadari bahwa ini bukan hanya pertemuan bisnis biasa. Ternyata, di dalam acara tersebut, diselipkan juga acara minum-minum. Terlihat dari beberapa pelayan yang mondar-mandir membawa nampan penuh dengan gelas berkaki panjang yang berisi cairan merah dan kuning kecoklatan. Lila bahkan merasa ruangan itu sudah seperti club malam saja.

Lila mencari-cari sosok Ezekiel di antara orang-orang berpakaian rapi yang semuanya terlihat seperti orang-orang dari kalangan atas.

Akhirnya, sosok tampan itu pun tertangkap oleh matanya. Dia buru-buru meghampiri Ezekiel yang sedang mengobrol dengan seorang rekan di dekat meja makan.

"Maaf, Pak. Saya telat," ucapnya.

"Kok kamu yang datang?" Ezekiel mengerutkan kening memandang ke arah Lila.

"Bu Ana yang menyuruh saya menggantikan beliau, Pak. Bu Ana ada acara keluarga malam ini."

"Oh, ya udah. Tapi, jangan bikin malu, ya?"

Dih, belum-belum sudah negatif saja si bos. Lagi pula apa yang bisa dia lakukan untuk membuat bosnya itu malu. Mulut Lila mengerucut menandakan dia mulai sebal dengan sosok Ezekiel itu.

Lila mengikuti langkah Ezekiel menemui para kolega sambil memasang senyum manis. Bahkan ada beberapa pria yang mencoba main mata dengannya. Heran, para pengusaha ini memang rata-rata mata keranjang, gerutunya salam hati.

"Kamu mau ngekor saya terus?" tanya Ezekiel membuat Lila terkesiap.

"Tugas saya kan mendampingi Bapak," timpalnya.

"Ya kan nggak harus ngekor terus. Saya kurang nyaman."

Hampir saja Lila mencakar wajah Ezekiel kalau saja dia tidak menahan diri dan mengingat bahwa sosok tampan di hadapannya ini adalah bosnya.

"Jadi, saya harus ngapain, Pak?"

Ezekiel mendecak. "Ini kan acara pesta, dan kamu bukan kencan saya. Ya terserah kamu mau ngapain, yang penting tadi sudah setor muka ke kolega saya."

Memang benar-benar ya pria satu ini. Dada Lila bergemuruh menahan kesal. "Ya, udah ... saya pamit keliling ya, Pak, panggil saya kalau butuh sesuatu."

"Hmm."

Sambil berbalik badan, Lila menggeleng pelan. Kok bisa ya ada orang semenyebalkan Ezekiel. Rasanya pria itu selalu ingin membuat Lila kesal.

"Mas, minta minumnya," pinta Lila pada seorang pelayan yang melintas di depannya. Pelayan itu memberinya satu gelas berisi cairan merah.

Lila meneguk minuman itu untuk menetralisir rasa kesal dalam hatinya. Mending minum dan menikmati pertunjukan musik yang disajikan. Hitung-hitung nonton konser gratis.

Malam semakin larut dan Lila sudah menghabiskan beberapa gelas. Ezekiel pun tidak terlihat lagi batang hidungnya. Kalau tahu begini, untuk apa pria itu didampingi. Tadi saja dia diusir. Bu Ana ini memang sengaja sepertinya, membuat akhir pekannya tidak tenang.

Tapi Lila tak peduli lagi. Karena sudah terlanjur minum, maka dia tidak bisa berhenti. Lagi pula dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan di acara ini. Berbicara dengan orang pun dia tidak kenal siapa-siapa kecuali Ezekiel yang entah ada di mana.

"Hello, Cantik," sapa seseorang membuatnya terkejut. Seorang pria paruh baya mendekatinya. "Sendirian saja?"

"Iya, Om," jawab Lila yang sudah setengah teler.

"Mau temenin om?"

"Temenin ke mana, Om?"

"Ngobrol di kamar. Om nginep di hotel ini."

"Ohh," sahut Lila. Dia tersadar kalau pria paruh baya itu sedang mengajaknya untuk tidur. "Maaf, Om ... saya sama bos."

"Oh, bos kamu siapa?"

Saat itu samar-samar Lila melihat Ezekiel mendekat dan berdiri di antara dirinya dan si pria itu. "Ada masalah, Pak Beni?" tanya Ezekiel.

"Oh, Pak Ezekiel. Tidak ada masalah. Saya sedang berbicara dengan Nona ini."

"Dia sekretaris saya," jawab Ezekiel seraya melipat kedua lengan.

"Oh, sekretaris Pak Ezekiel. Oke, oke, saya minta maaf, permisi." Pria itu berlalu dengan cepat. Sepertinya dia begitu segan dengan Ezekiel.

"Galak banget, Pak," kekeh Lila seraya mendorong bahu Ezekiel pelan. Mata Ezekiel mendelik melihat sikap berani Lila.

"Kamu minum?" tanya Ezekiel.

"Iya, Pak. Yaa ... abisnya saya bingung mau ngapain. Dari tadi ditinggal mulu sama Bapak," kikik Lila. Tubuhnya sedikit terhuyung. Jika saja Ezekiel tidak segera menangkapnya, mungkin Lila akan menimpa meja makan dan membuat kekacauan.

"Minum berapa gelas kamu?"

"Mmm ... sepuluh gelas ada kayaknya, Pak."

"Astaga!" Ezekiel memijat keningnya. Dia yakin kalau dia tidak cepat-cepat membawa Lila pergi, maka gadis itu akan benar-benar membuat kekacauan.

"Eh, mau ke mana, Pak?" sergah Lila saat Ezekiel menarik lengannya dan berjalan menuju pintu auditorium.

"Anter kamu pulang."

"Ih, Pak Ezekiel, aku belum mau pulang," rengek Lila. Dia bahkan tidak menyadari kalau bahasanya sudah berubah dari saya menjadi aku.

"Kamu bisa bikin saya malu."

"Enggak kok, Pak. Janji deh, aku nggak bakal bikin bapak malu."

Ezekiel mendecak sebal. Dia tidak peduli Lila protes atau tidak, dia tetap membawa Lila keluar.

"Pak, Pak ... aku belum mau pulang," rengek Lila kembali. Dia merangkul pundak Ezekiel dan mendusalkan kepala di sana.

"Kamu mabok, Lila!"

"Nggak kok, aku nggak mabok." Lila menghentikan langkah Ezekiel dan melingkarkan lengan di leher pria itu. "Pak Ezekiel ganteng banget, sih."

Ezekiel membulatkan mata. Dia pandangi wajah cantik bersemu merah yang begitu dekat dengan wajahnya. Sebagai lelaki normal, tentu saja dia merasakan sesuatu yang aneh dengan situasi itu.

"Nggak mau pulang, Pak."

"Memangnya kamu mau ke mana?"

"Ke kamar."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status