Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.
“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.
“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.
Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.
Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak dengan Gajah yang jauh lebih besar.
“Dulu orang Cina datang ke Jawa diantaranya membawa kedelai dan mereka membuat tahu dari kedelai itu. Lalu orang Jawa yang tidak terlampau suka dengan makan yang serba panas, menggunakan kedelai itu untuk membikin Tempe yang kini melegenda, seperti juga kopi luwak,” terang kakek Sabda.
“Konon penjajah Belanda dulu membawa tanaman kopi dari Yaman. Di Jawa, kurangajarnya orang-orang Belanda itu melarang pekerja pribumi memetik buah kopi untuk diminum sendiri,” cerita kakek Sabda.
“Tapi nenek moyang kita orang-orang yang panjang akal. Suatu waktu mereka menemukan sejumlah Musang/Luwak penggemar buah kopi. Namun, hanya daging buah yang dicerna perut Luwak. Kulit ari dan biji kopinya utuh. Dan karena ingin ngopi, biji-biji kopi yang tercampur kotoran itu mereka pungut, dicuci, disangrai, ditumbuk, kemudian diseduh dengan air mendidih, lalu terciptalah kopi Luwak legendaris yang kini harganya selangit itu,” kembali kakek Sabda bercerita.
Sabda pun meraih cangkir yang berisi kopi itu. Diciumnya aroma kopi yang luar biasa itu. Lalu perlahan, ia coba meneguknya. Isi kepala Sabda seperti melayang merayakan legenda itu menari di mulutnya.
Sepotong biscuit diambil dan dimakannya. Coklat nan manis biscuit itu beradu dengan rasa kopi yang masih tersisa di mulutnya……..”Alhamdulillah, nikmat Tuhan manalagi yang kau dustakan,” bisik batin Sabda.
Beberapa kecap kemudian, terdengar suara roda kopor berderik dibawa pembantu Diandra menuju beranda depan rumah yang teduh nan anggun itu. Dari beranda, PRT itu kemudian menuju Sabda dan bertanya,
“Pak, saya disuruh ibu bertanya. Apa bapak dari sini masih ada acara di Jakarta atau mau kembali ke Bogor?” tanyanya ramah.
“Saya langsung balik ke Bogor mba,” jawab Sabda yang mencoba tidak kalah ramah.
“Ok. Kalu gitu saya pesankan taxi online dari sini ke Bogor sekalian untuk ibu ke bandara Soeta,” terang sang PRT yang tampak trengginas dan Sabda pun hanya membalasnya dengan mengangguk, karena sang PRT sambil kembali menuju beranda tampak sibuk dengan telpon genggamnya memesan dua taxi untuk jurusan berbeda.
Sabda kini meraih gelas air putih dan meminumnya. Tapi aneh rasa kopi yang baru diminumnya itu terasa masih tak juga hilang. Sabda pun mencoba seteguk lagi.
Dari arah dalam terdengar suara langkah sepatu yang tampak tidak terlampau tergesa. Sejurus kemudian Diandra dengan sepatu yang tampak tidak terlampau tinggi, blue jean, atasan cerah hijau segar, dibalut jacket kulit yang tampak mahal, tas tangan yang juga tampak mahal lagi elegan dan tampak kacamata bertengger di kepala.
“Woow…..,” Sabda kini betul-betul tercengang melihat penampilan Diandra yang begitu luar biasa. Dengan aroma parfum yang lembut tapi kuat menusuk membuyarkan ingatan Sabda akan kopi Luwak. Dan meski usia Diandra sebetulnya sudah tidak lagi muda, tapi yang kali ini tampak seperti perempuan baru 30an tahun. Tampak segar, menawan, sekaligus cerdas tak mau kalah.
Diandra agaknya memahami perubahan dan kekagetan tamunya itu. Pengalamannya yang cukup panjang di berbagai pertemuan dengan aneka lelaki membuatnya tidak ingin memberi peluang sekecil apapun. Diandra hanya memberikan beberapa catatan kecil dan betel-betul seperlunya atas pekerjaan yang akan dilakukan Sabda.
“Kalau saya tengah tidak bisa dihubungi sementara ada hal mendesak yang erlu kamu tahu tentang pekerjaan itu, kamu bisa nanya ke Retno. Karena ini sebetulnya pekerjaan kami berdua, tapi karena Retno tengah sangat repot menyiapkan pernikahan anak perempuannya, jadi dia minta saya untuk lebih banyak terlibat. Tapi karena saya juga ada urusan lain pada minggu ini, jadi kamu bisa nanya kedia. Dengan catatan kalau saya tengah tidak bisa kamu hubungi,” ucap Diandra pada Sabda.
Tak lama kemudian tampak Diandra memberi beberapa instruksi pada PRT nya. Sampai kemudian dua taxi online yang dipesan memasuki halaman rumah Diandra yang cukup luas. Seorang petugas security kemudian tampak bergegas melaporkan kedatangan kendaraan yang dipesan itu pada Diandra.
“Ok, taxi sudah datang. Kamu berangkatlah dulu. Saya menyusul kemudian,” ucap Diandra yang seakan mengusir Sabda agar segera pergi.
Dan Sabda pun kemudian mengambil tiga bundle berkas yang diberikan Diandra kemudian segera bangkit dari kursi dan gegas menuju taxi yang sudah bersiap di halaman rumah.
“Terimakasih, saya permisi,” ucap Sabda pada Diandra yang dijawab dengan anggukan dan senyum mempersilahkan.
Mendarat di Bandar Udara Haneda-Kuko, Tokyo, hati Diandara berdegup kencang. Derap langkah Radite, juga genggam tangan erat suaminya itu tiba-tiba kembali terasa.“Ah, kenapa gak mau berhenti juga,” bisik batin Diandra.“Kenapa Di? Beberapa menit lagi kita mendarat di Haneda Di,” bisik suara Rajesh seakan tahu perasaan hati Diandra saat itu.Diandara hanya tersenyum dan mengangguk.Ditatapnya Rajesh yang seperti diceritakan Retno bahwa sedikit banyak Rajesh telah mengetahui apa yang membuat Diandra agak gamang untuk mendarat di Tokyo.“Kamu pasti kuat dan mampu mengatasi apa yang kamu piker sebagai masalah itu Di. I trust you,” Rajesh menguatkan Diandra.“Trimakasih,” jawab Diandra singkat sambil menguatkan dirinya.Malam telah lama tiba di Tokyo. Orang-orang masih sibuk lalu-lalang. Koper-koper dan semua bawaan peserta pertemuan Singapura semua telah diurus oleh panitia. Diandra juga Rajesh dan lainnya hanya membawa tas tangan dan computer jinjing.Di tengah bandara yang begitu sibuk
Di pesawat menuju Tokyo, Diandra duduk bersebelahan dengan Rajesh, kawan Retno ketika di Inggris yang juga ketua penyelenggaran pertemuan Singapura dan Tokyo. Persahabatan mereka masih terus berlanjut ketika baik Rajesh maupun Retno menggeluti isyu yang sama.“Maaf Di, bagaimana bisa kamu sebegitu akrab dengan Retno,” Tanya Rajesh menghalau keheningan dalam pesawat yang tengah terbang tinggi.“Ayah saya dan Ayah Retno telah bersahabat sejak mereka sama-sama kuliah di Bandung. Ayah Retno lebih senior dari ayah saya, tapi hubungan mereka begitu akrab, pun sampai masing-masing berkeluarga dan mempunyai anak, aku dan Retno,” jawab Diandra panjang.Diandra dan Rajesh sebetulnya sudah cukup lama saling mengenal. Tapi pada setiap pertemuan, obrolan yang mereka lakukan belum menginjak ke wilayah yang lebih pribadi. Dan, dari Changi menuju Haneda ini obrolan yang lebih pribadi itu agaknya kemudian terjadi.“S1 kamu dan Retno kabarnya juga satu kampus, betul itu?” Tanya Rajesh lagi.“He he he…
Jelang siang, Diandra bersama orang-orang yang ikut pertemuan semalam kembali ke Changi. Hari itu mereka akan menuju bandara Haneda Kuko, Tokyo. Perjalanan di Changi ke Haneda diperkirakan 7 jam lebih beberapa menit.Bagi Diandra perjalanan menuju Haneda Kuko, Tokyo ini sebetulnya hal yang paling tidak ingin dia lakukan. Mengingatkan dia akan hal-hal yang sebetulnya tak ingin diingat.Dan, sejak mengelola perusahaan bersama Retno, ada 6 atau 7 kali pertemuan di beberapa kota yang berbeda di Jepang, Diandra tidak bersedia turut. Diandra selalu menghindar untuk datang ke negeri ini karena satu alas an, Radite.Tapi kali ini Diandra memutuskan untuk berdamai dengan perasaannya, juga dengan masa lalunya. Hidup harus diselenggarakan. Masa lalu tidak perlu dilupakan, tapi biarlah cukup sesekali dilihat melalui kaca spion. Penting, tapi tidak harus mendominasi, sebab hidup berjalan ke depan.Jejak langkah Diandra waktu masih bersama suaminya, Radite masih begitu benderang. Sesaat setelah men
Sebagai seorang anak perempuan dan semata wayang dari keluarga yang secara ekonomi sangat mapan. Diandra memang dimanja oleh kondisi lingkungannya, selain juga kehendak orang tuanya untuk selalu ingin menjaga putri tunggalnya itu.Tapi sikap orang tua Diandra sangat hati-hati. Meski cukup memanja, mereka berdua sepakat untuk menjadikan anak perempuannya tegar, mandiri dan sebisa mungkin harus mampu menyelesaikan banyak persoalan sendiri.Kelas 3 SD, Diandra dimasukan dalam kelas Judo. Sebelumnya, sejak umur 3 tahun, Diandra sudah mahir bersepatu roda, ikut rock climbing, berenang, pencak silat dan kemudian Judo yang diteruskan hingga Diandra mendapat sabuk hitam.“Biarpun Di perempuan, kita mesti menjadikan anak kita anak yang kuat dan mandiri bu,” ucap pak Pur, ayah Diandra pada sang istri.“Pak, bukannya nanti Diandra juga bakal punya seorang suami yang akan menjaga dan melindunginya,” gugat bu Rarah, ibu Diandra.“Bu, apa yang ibu pikirkan betul semua. Tapi rasanya tetap saja, lebi
Di Singapura kali ini Diandra menginap di hotel yang sama untuk pertemuan. Biar lebih praktis, selain juga karena hanya semalam di negeri jiran ini.Untuk acara tersebut, segala sesuatunya sudah diatur sama Rajesh, termasuk juga tempat untuk menginap Diandra. Rajesh sendiri merupakan teman Retno waktu di Inggris dulu, dan untuk pertemuan itu Rajesh menjadi ketua panitianya.Ada 9 orang dari berbagai Negara Asean yang menghadiri pertemuan di Singapura ini. Pertemuan ini merupakan pertemuan pendahuluan yang akan dilanjutkan dengan pertemuan Tokyo esok lusanya.Acara diselenggarakan persis setelah makan malam usai dan berakhir sekitar jam 22.00. Tidak terlampau lama memang, karena hanya saling mengkonfirmasi gagasan-gagasan yang akan dibahas di pertemuan Tokyo besok lusanya.Usai pertemuan, Diandra sempat ngobrol beberapa saat dengan Rajesh. Obrolannya cukup beragam. Mulai dari rencana Rajesh ke Indonesia saat Retno mantu, soal agenda Tokyo besok dan rencana ke Inggris bulan berikutnya y
Satu setengah jam lebih sedikit akhirnya Diandra tiba di bandara Changi, Singapura. Hari sudah mulai sore. Bayang kecemasan perempuan yang ditinggal pergi pasangan prianya di bandara Soekarrno-Hatta sebelum berangkat tadi masih menggelayut.Diandra tidak tahu persis apakah pasangan itu akhirnya tidak jadi berangkat bersama atau bagaimana. Bayangan mas Radite yang juga meninggalkan punggungnya itu juga belum punah.“Hey, Diandra,” terdengar suara memanggil dari arah kiri Diandra yang tengah terjebak dalam lamunan.Diandra pun gegas mencari sumber suara yang menyapanya. Sambil sedikit berkejap dan merapikan ingatannya. Lalu Diandra menjawab dengan cukup ceria.“Hey, mba Maryamah kan ya?” Diandra bertanya untuk meyakinkan dirinya kalau yang ditemuinya itu adalah salah seorang seniornya waktu di kampus ketika ia masih muda dulu.Ketika orang yang disapa itu mengangguk antusias, Diandra pun datang memburu dan memeluknya erat.“Begini jauh kita ditemukannya di sini mbak. Mbak sehat-sehat ka