LOGINArfan Khalid terpaksa menikah dengan seorang gadis bernama Agnia Fahira yang badannya gendut sehingga penampilannya kurang menarik dan tampak tidak cantik demi wasiat almarhum ayahnya yang akan memberikan warisan jika memenuhinya. Pernikahan tetap terjadi, tapi Arfan memutuskan pergi untuk bekerja di perusahaan keluarga yang ada di luar kota tanpa berpamitan dengan siapa pun. Setelah sekian lama, Arfan tak sengaja bertemu perempuan cantik yang badannya ideal hingga ia jatuh cinta. Ternyata perempuan itu adalah istrinya sendiri yang selama ini diabaikan.
View MoreAku mengangkat salah satu ujung bibirku sambil berdecap kesal. Kedua alisku mengerut melihat seseorang dengan bobot tubuh di atas rata-rata dari ujung kaki hingga kepala yang dibalut hijab.
Bisa-bisanya dia dijodohkan denganku. Apa nggak sadar diri! Umpatan itu terucap penuh amarah di dalam hati. Lihat saja ukuran bajunya, bisa dipakai lima orang sekaligus. Aku meraup wajahku dengan gusar. Ruangan yang di dalamnya terpajang beberapa gaun pengantin terasa begitu engap olehku. * “Ibu kesurupan, ya! Cewek gembrot macam Agnia disuruh menikah denganku? Apa Ibu nggak malu punya menantu sepertinya! Aku aja nggak mau!” hardikku dengan tanduk yang meruncing di kepala. Seminggu sebelum pergi fitting baju pengantin, aku memuntahkan segala kekesalanku pada ibuku yang kekeuh melakukan perjodohan dengan perempuan yang tak kucinta sama sekali. Melihat pun ogah. Aku sangat berharap, semua yang sudah ditentukan akan gagal dan tidak pernah terjadi sampai kapan pun. “Jangan ngomong begitu, Ar. Semua demi memenuhi wasiat dari Almarhum ayahmu. Beliau menginginkanmu menikah dengan anak sahabatnya. Kamu harus menerima, Ar. Demi warisan juga, Ar.” “Persetan dengan warisan, Bu! Aku nggak kerja lagi di perusahaan milik Ayah nggak masalah, asal aku nggak menikah sama cewek yang nggak kusuka. Cewek gendut yang bikin sakit mata!” “Arfan! Jaga ucapanmu! Ibu hanya ingin ayahmu tenang di alam sana. Agnia nggak seburuk itu, Ar! Dia cantik walau badannya berisi! Dia juga datang dari keluarga baik-baik, Ar. Ayahmu pasti nggak sembarangan menjodohkanmu melalui wasiatnya.” “Aku nggak mau menikah sama dia, Bu! Aku mau menikah sama cewek yang kucinta. Satu untuk selamanya. Bukan malah dengan bungkusan karung macam Agnia itu. Hah! Wasiat Ayah bikin aku naik darah, Bu! Sembarangan memutuskan semuanya sendiri tanpa bertanya dulu padaku!” “Rawat dia dengan baik setelah menikah, Ar. Nasihati dengan kata-kata yang halus agar dia mau memperhatikan penampilannya. Agnia pasti akan terlihat lebih cantik sesuai dengan keinginanmu, Ar. Ayahmu pasti akan bahagia saat kamu menuruti wasiatnya, Ar. Ibu nggak mau memaksamu, tapi begitulah garis takdirmu, Ar.” * “Mas, giliranmu,” ucap Agnia yang sudah berada di belakangku. Suaranya lembut. Kalau tidak melihatnya langsung, pasti mengira pemilik suara itu adalah seorang wanita yang cantik hampir sempurna. Tapi kenyataannya, badannya seperti gajah, sama sekali tidak ada cantik-cantiknya. Aku berdecap untuk menanggapinya dan tak menatapnya sama sekali. Dari ujung mataku saja sudah bisa melihat gundukan lemak itu. Mana mungkin aku mau melihat wajahnya yang bikin aku makin kesal padanya dan pada nasib buruk yang sedang menemaniku. Aku berjalan menjauhinya. “Jodoh memang sepadan ya, Mas. Yang cewek cantik, Mas-nya juga cakep.” “Mana ada dia cantik. Kek gajah duduk gitu,” kataku menanggapi ucapan orang yang hendak membuatkan baju pengantin untukku. “Nggak boleh begitu, Mas. Calon istri Mas-nya itu cantik walau badannya berisi. Nggak kayak gajah, Mas. Mas-nya pasti nggak pernah melihat wajahnya dengan benar, ya. Sampai ngomong begitu.” “Males banget, lihatin wajahnya. Udah kelihatan lemak di mana-mana.” “Duh, Mas. Kasihan loh, anak orang yang dibesarkan sepenuh hati sama orang tuanya, malah diperlakukan kurang baik sama suaminya. Aku tau, kalian menikah karena dijodohkan. Tapi coba deh, buka hati masing-masing.” Aku hanya menghela napas sambil mengitarkan bola mata. Sok tahu sekali orang ini. Memangnya dia tahu, bagaimana gejolak di dalam hatiku? Beruntung aku bisa menahan diri. Untuk membayangkan wajah Agnia saja sudah membuatku bergidik ngeri. Apalagi kalau harus melihatnya secara langsung dan berlama-lama. Bisa-bisa aku pingsan di tempat. “Mbak Agnia itu cantik sebenarnya, Mas,” ucapnya lagi. Mungkin dia hanya empati karena sama-sama perempuan. Yang diucapkan, pada kenyataannya jauh berbeda di mataku. “Bagiku, nggak sama sekali! Udahlah, Bu. Nggak usah menasihatiku lagi. Nggak bakal aku dengerin. Ini masalah hati, nggak mudah untuk dipahami,” ucapku dengan tegas agak ketus juga. “Kasihan Mbak Agnia. Mudah-mudahan, ada keajaiban dalam pernikahan kalian, ya.” Iya, keajaiban agar pernikahan akhirnya gagal. * Agnia berjalan lebih dulu menuju mobil. Kami hendak pulang setelah selesai fitting baju walau aku benar-benar enggan. Aku mengerutkan alis sambil melihat ke arah lain agar tak langsung melihat tubuh gembul calon istri yang tak kucintai itu. Bener-bener mirip gajah, kudanil. Bagaimana aku bisa membuka hatiku untuknya? Ngenes gini. Aku berdecap lagi walau pelan. Nggak bisa dibayangin waktu malam pertama. Aku nggak akan melihatnya. Ogah banget! Lemak semua pasti. Dadaku lama-lama terasa sesak ketika kepalaku memikirkan macam-macam tentang takdirku yang memilukan ini. Dalam bayanganku dulu, ketika menikah, aku akan sangat mendambakan malam pertama yang penuh dengan gairah yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Warna baru yang mungkin membuat rasa penasaran yang tak ada ujungnya. Ingin lagi dan lagi. Pada kenyataannya sekarang, perempuan yang akan menjadi istriku adalah seseorang yang membuatku tidak punya gairah hidup sama sekali. Melihat pun enggan, apalagi menyentuhnya. Apa salah dan dosaku, Tuhan! Kenapa aku harus menikah sama buntelan karung satu ton ini! Aku tahu, Agnia tidak seberat itu. Mungkin berat badannya sekitar 80 atau 90 kg. Tapi, tetap saja, berat badannya itu melebihi kapasitas semestinya. Aku tidak suka. “Kenapa kamu nggak menolak perjodohan kita?” tanyaku sontak membuat Agnia menoleh. “Kata siapa aku nggak menolak?” ujarnya dengan pertanyaan baru. Wajahnya datar. “Kamu diam saja. Menolak di sebelah mananya?” “Karena kamu nggak melihatnya. Aku sungkan juga kalau ngomong macam-macam di depan ibumu. Walau aku nggak suka, aku berusaha menghormati orang tua.” “Omong kosong! Kamu menikmati semuanya. Aku melihatnya begitu. Asal kamu tau, kamu bukanlah tipeku. Badanmu terlalu ....” Aku menggantung ucapanku. Hanya bisa berdecap kesal dan membuang napas lewat hidung dengan kasar. “Terlalu gemuk? Aku menyadarinya, Mas. Bukankah yang diuntungkan dalam pernikahan ini adalah kamu, ya. Kamu yang bakal mendapat warisan dari mendiang ayahmu. Sedangkan aku ... nggak dapat apa-apa!” ucapnya penuh penekanan. “Ya udah, kita batalkan pernikahan ini.” “Ya udah, kamu yang harus berjuang sekuat tenaga. Aku sudah menolaknya berkali-kali, tapi orang tuaku kekeuh gara-gara wasiat ayahmu yang merupakan sahabat orang tuaku.” Aku mengusap wajahku dengan kasar. Memang semua berawal dari wasiat ayahku yang sudah meninggal. Coba kalau beliau masih sehat sampai sekarang. Mungkin perjodohan ini tidak terjadi karena aku akan menolaknya mentah-mentah di hadapannya. “Agni!” Aku ikut menoleh ketika suara lelaki memanggil namanya. “Benar kan? Itu kamu. Untung aku memanggilmu,” ujar lelaki itu lagi sambil mengulas senyuman di bibir dan melangkahkan kaki mendekati kami. Aku mengernyitkan kening, karena baru kali ini melihat wajah lelaki itu. Makin heran lagi, ketika melihat Agnia menyambutnya dengan senyuman yang melengkung di bibir. Padahal saat berbicara denganku, wajahnya begitu kaku. Senyuman itu enggan hadir. Apa mereka punya hubungan spesial?8Aku sangat heran ketika gadis cantik itu seketika pergi, bahkan tampak sangat terburu-buru setelah kami saling tatap.“Kenapa dia pergi begitu saja?” gumamku sambil melihat punggung gadis itu yang kian menjauh.Padahal aku pikir, inilah kesempatan emas buatku karena dia menyapaku duluan. Harusnya aku meminta berkenalan padanya. Minimal tahu namanya sudah membuatku bahagia.“Bodohnya aku nggak lihat ID pengenalnya,” gerutuku lagi masih mematung di tempat yang sama.Tidak biasanya aku seperti sekarang. Di luar nurul kalau kata orang. Memang seperti terhipnotis tanpa sadar. Ketertarikanku pada gadis itu sulit untuk ditepis. Malah terasa begitu bergejolak di dalam hati. Seolah sangat penasaran padanya.Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?Sejujurnya, aku memang tak begitu peduli pada perempuan. Aku lebih suka menyibukkan diri dengan hobi dan pekerjaan. Mantan pacar pun bisa dihitung dengan jari. Bahkan, sebelum menikah, aku memang sedang tidak dekat dengan perem
7Pov AgniApa yang aku takutkan, akhirnya terjadi juga hari ini. Bener-bener nggak nyangka kalau aku berhadapan langsung sama dia. Apa dia menyadari perubahanku? Kalau nggak, ngapain coba, dia berhenti di dekatku?Gelisah, sungguh hatiku gelisah sambil mengayunkan kaki memasuki restoran tempatku bekerja. Aku tak menoleh ke belakang sama sekali. Tak mau saling pandang dengan Mas Arfan.Aku yakin dia akan makan di sini. Bagaimana ini? Apa aku harus ramah padanya kalau benar dia mengenaliku? Hah! Tapi buat apa? Dia aja nggak peduli sama aku sejak dulu.Ponsel aku simpan ke dalam tas. Sangat kebetulan juga, mertuaku yang barusan telepon. Di waktu istirahat begini, biasa beliau melakukannya. Beliau begitu perhatian padaku. Apalagi kami sudah lama sekali tidak bertemu. Ya, setelah aku memutuskan untuk pindah ke rumah kakakku di luar kota.Meski kami sering kasih kabar satu sama lain, lebih tepatnya, mertuaku yang lebih sering melakukannya duluan, beliau tidak tahu perubahanku saat ini.Kal
6“Arfan, Agni akan tinggal di rumah kakaknya, kota yang sama denganmu, Ar. Ibu nggak bisa menolak permintaannya yang pengen mencoba pengalaman baru. Padahal Ibu sudah kasih jatah uang sebagai bentuk nafkah darimu, tapi Agni punya keputusan lain. Mungkin itu lebih baik daripada dia meminta cerai darimu.”Setelah tiga hari dari kejadian waktu itu, Ibu melaporkannya padaku lewat pesan. Bodoh amat sebenarnya. Lagian aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur, tapi begitulah maunya Ibu. Pun soal nafkah.“Ini alamatnya, Jalan Merdeka No 10 .... Kamu harus datang menemuinya, Ar. Ingat sama wasiat almarhum ayahmu! Ibu nggak mau pernikahanmu hancur. Itu permintaan terakhir ayahmu. Lakukanlah dengan benar, Ar. Coba buka hatimu untuk Agni, Arfan!”Bahkan, aku diomeli lewat rangkaian kata dan mencekokiku agar mau menelan segala takdir yang dirancang oleh mereka. Di mana jati diriku, coba? Mereka terus yang mengatur hidupku.Aku menghela napas kasar. Begitu malas rasanya selalu dikaitkan dengan A
"Dikira dia cantik? Menarik? Lagaknya sok cantik bener! Najis banget lirikannya tadi!” gerutuku sambil mengepalkan tangan di atas meja setelah ibuku dan Agni keluar dari ruangan pribadiku ini.Ibu tadi sempat memohon pada Agni, tapi wanita gendut itu seolah punya harga diri yang begitu tinggi. Badan mirip lontong begitu bikin aku makin kesal saja. Ibu juga mau-maunya merengek padanya. Bikin kesal, sumpah!“Jangan harap kamu bisa bahagia setelah menyakiti hati istrimu, Arfan!”Ucapan itu juga masih terngiang di ingatanku. Ya, ibuku menyumpahiku hanya demi Agni si gendut itu. Sebelum pergi dari ruanganku. Aku tidak habis pikir dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Seperti mimpi buruk, tapi semua adalah kisah hidupku yang begitu nyata.“Semua gara-gara wasiat Ayah yang sangat konyol. Tapi, kalau si gembrot itu nggak lahir ke dunia, nggak bakalan aku jadi begini.”Udara keluar dengan kasar lewat mulutku. Lalu, meraup wajahku penuh emosi.“Setidaknya, mereka sudah pergi dari sini. Syuku
Sekitar hampir dua minggu, hidupku seolah diteror oleh keluargaku sendiri. Tentu ibuku yang memerintahkan. Kalau Agni, dia tahu diri. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Jujur saja, ada saja perasaan kesal karena sikapnya itu.Namun, aku tidak mau ambil pusing. Aku sudah memproses segalanya hingga aku bisa dengan mudah bekerja di kantor milik keluargaku yang ada di luar kota—tempatku sekarang ini. Lagian, warisan itu pasti akan jatuh ke tanganku karena aku sudah menuruti keinginan almarhum ayah lewat wasiatnya.“Kita akhiri rapat hari ini. Terima kasih untuk semua kerja keras kalian,” ucapku di depan meja rapat.Sebelum kembali ke ruangan pribadiku, aku berbicara sebentar pada asistenku agar semua dokumen hasil rapat tadi diperiksa kembali.Setelah membereskannya, aku beranjak dari ruang rapat itu dan melangkahkan kaki jenjangku menuju ruangan pribadiku.Ketika daun pintu semakin terbuka lebar, aku terpaku melihat pemandangan di depanku. Ibu dan Agni sudah duduk di sofa di ruangan pe
Perlahan tapi pasti dengan sangat hati-hati, aku mengambil koper yang di dalamnya sudah ada pakaian yang dibutuhkan.Senyum terlukis tipis. Aku melihat Agni sebelum benar-benar keluar dari kamar.“Aku terpaksa menikahimu, makanya sekarang aku memilih kabur tanpa berpamitan denganmu. Masalah apa yang terjadi nanti, bisa dipikirkan belakangan.”Aku bicara sendiri untuk menguatkan diri atas perbuatanku. Membenarkan semuanya agar diri ini lepas dari tekanan yang terasa membelenggu.Di dalam kamar yang pencahayaannya temaran ini, sama sekali tidak ada adegan yang biasa dilakukan di malam pertama. Kami sama-sama enggan, walau entah di lubuk hati terdalam dari seorang Agni.Aku membuka hendel pintu sangat hati-hati.“Agni pasti juga lega karena aku tinggal pergi. Dia bisa leluasa bertemu dengan lelaki bernama Ghani yang mungkin ada perasaan,” gumamku.Aku melangkah keluar. Sorot mata mengitari setiap sudut ruangan untuk memastikan tidak ada kehidupan. Semua orang seharusnya sudah tertidur de






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments