Setelah mencoba semua baju pemberian Niami aku kembali pergi ke dapur untuk melihat bibik apakah bibik sudah datang atau belum."Bibik sudah pulang?" tanyaku sumringah saat melihat bibik tengah sibuk memberskan sayuran dari keranjang belanjanya."Iya Nyonya, saya baru pulang dari pasar, ada perlu sama saya, Nyonya?" tanya bibik balik, ia menyambutku dengan ramah."Bik, bisa antar saya pergi ke tukang urut? Tangan saya sepertinya tetap harus diurut supaya tidak bengkak begini." "Bisa Nyah, hayu pergi sekarang saja mumpung baru dzuhur." "Saya pamit dulu ke ibu mertua ya, Bik." Buru-buru aku menaiki anak tangga untuk menemui calon ibu mertua di kamarnya. Dan saat melewati kamar Mas Nata, kulihat Niami sedang tertidur pulas di sana, astagfirullah padahal mereka sudah cerai mengapa Niami masih saja berani tidur di kamar Mas Nata? Tentu saja aku sedikit kurang setuju, walau bagaimanapun Mas Nata adalah calon suamiku, sudah seharusnya mantan istrinya itu sekarang tidak lagi bersikap seper
Astagfirullah astagfirullah astagfirullah, aku menepuk-nepuk kening, sekuat tenaga membuang semua pikiran buruk yang bergulung di benakku."Kenapa, Nyonya?" tanya Bibik di samping."Tidak apa-apa, Bik," jawabku pendek, aku benar-benar sudah tidak karuan sekarang, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah.Taksi yang kami naiki segera meluncur membelah jalanan, menyatu bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Aku mengembuskan napas lega, tentu aku sudah jauh lebih tenang sekarang.Ya Allah, sisi lain dari kehidupan kota ini ternyata benar-benar membuat aku syok, baru saja tadi pagi aku mendapat kabar yang seolah menghentikan kerja jantungku soal kehamilan Ayyara, sekarang aku malah harus bertemu gadis-gadis yang nasibnya sama seperti Ayyara di tempat seperti itu. -"Nyah bangun sudah sampai." Bibik membangunkanku saat kami telah sampai di depan rumah. Tak terasa lamanya di perjalanan membuatku tertidur di dalam taksi.Aku mengucek mata dan mengumpulkan nyawa, lalu bergegas turun."Terima
"Ibu kirain ada apa, bikin kaget aja sih, ada apa teriak-teriak?" cecar Niami seraya mengucek kedua matanya."Ada apa, ada apa, gak malu kamu masih tidur di sini? Sana pulang ke rumah kamu dan jangan pernah berani lagi tidur di kamar Nata, karena besok kamar ini akan jadi kamar Elia dan yang jelas kamu sudah tidak punya hak lagi, paham?!"Beringsut Niami bangun, "silakan saja, siapa juga yang akan kuat menikah dengan seorang pria dingin dan kaku seperti Mas Nata, ambil tuh kamar," tandasnya, Niami mengambil tas kecilnya lalu bergegas pergi dari hadapan kami."Sudah, ayo antar Ibu ke kamar," ucap calon Ibu mertuaku lagi setelah memastikan Niami pergi menuruni anak tangga.Aku mengangguk pelan dan bergegas mengantar calon ibu mertua ke kamarnya. Adira masih terlelap di kasur beliau rupanya, syukurlah tampaknya pengaruh obat dari dokter masih berreaksi."Bu, Mas Nata biasa pulang jam berapa?" tanyaku setelah calon Ibu mertuaku berbaring di sebelah Adira."Sebentar lagi, biasanya jam 5 a
Aku tersentak, jantungku mendadak melonjak tak karuan, kuremas jari jemari ini sambil kutundukan wajahku, aku tahu setelah ini Ayyara akan berulah."Yara tidak akan pernah menerima dia sebagai ibu tiri Yara," imbuhnya lagi.Gadis itu lantas berlari menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya, disusul Alvin yang sejak tadi diam seribu bahasa tapi wajahnya menusuk sampai ulu hati. "Keterlaluan," desis Mas Nata di sampingku. Ia keratkan gigi-gigi dan mengepalkan telapak tangannya.Tak lama dia juga bangkit dan menyusul anak-anaknya ke atas, entah apa lagi yang akan dilakukan Mas Nata pada anak-anak sekarang, yang kulihat jelas Mas Nata pergi dengan wajah tak biasa."Tidak apa-apa Nak, anak-anak hanya butuh waktu," bisik Ibu mertua sambil mengelus bahuku. Aku mengulum senyum getir. Setelah itu ibu membawaku ke kamar tamu, kamar yang tadi menjadi tempatku dirias. Tampak seorang perias itu menatapku iba saat melihat air mata tumpah di pipi."Tidak apa-apa Mbak, hal ini wajar kok," ucapnya.
Kulihat jam di dinding klinik sudah menunjukan pukul setengah 6 sore, bibik tampak sudah resah menunggu hujan reda, beliau pasti memikirkan soal kudapan takjil di rumah. "Tenang Bik, biar untuk takjil kita beli saja," ucapku. Seketika wajah bibik berubah tenang."Kalian masih di sini?" Aku menoleh, Dokter Fauzan ternyata sudah berdiri di samping kami."Eh iya Dokter, belum sempat kami pergi hujan sudah turun sangat deras.""Mau bareng saya? Tenang saya antar sampai depan pintu.""Tidak Dokter, terimakasih, kami akan tunggu sampai hujan reda," tolakku sungkan."Ini sudah hampir masuk waktu buka puasa loh," ucapnya lagi sambil melihat arloji di pergelangan tangannya.Aku menengok ke arah bibik, bibik mengangguk pelan."Ya sudah Dok, jika Dokter Fauzan tidak keberatan kami akan ikut menumpang pulang," ucapku akhirnya.Syukurlah akhirnya aku dan bibik bisa segera pulang berkat kebaikan Dokter Fauzan, aku tidak tahu kalau kami tidak menumpang di mobilnya mungkin kami tidak akan bisa cep
Taksi Ayyara berhenti di sebuah ruko, Ayyara segera masuk ke dalam dengan terburu-buru, tampak dari luar tidak ada yang aneh dan mencurigakan dengan tempat itu, tapi aku tetap ingin memastikan apa yang Ayyara lakukan di dalam.Ya Allah bahkan kakiku masih bergetar karena baru pertamakalinya keluar rumah di jam 11 malam selama hidupku, tapi Ayyara? Usianya baru 16 tahun dia sudah kelihatan lihai sekali membaca situasi untuk pergi ke tempat yang seperti ini.Aku bergidik sendiri saat mengingat betapa mengerikannya suasana di malam hari menjelang tengah malam begini tapi malam ini aku jadi sedikit berani karena sebuah tanggungjawab yang kuemban dari ibu mertuaku agar aku menjaga cucu-cucunya.Sedikit ragu kupaksakan kaki melangkah memasuki sebuah ruangan yang sepertinya didesain khsusus agar semua orang tidak mengira itu sebuah tempat perkumpulan para remaja di malam hari, karena saat aku masuk ke dalam tampak lampu disko kerlap-kerlip menyambutku, di dalam tempat itu ternyata sangat
"Yara tenanglah, Tante akan membantu Yara, Tante tidak akan mengatakan hal ini pada siapapun, sungguh." "Kau memang tidak boleh mengatakan hal ini pada siapapun, tapi kau tidak usah repot-repot membantuku, kau paham?!" semburnya bertelunjuk jari.Mulutku mengatup, entah bagaimana lagi caranya aku memberi gadis ini pemahaman, dia benar-benar tak suka melihatku bahkan setelah aku menolongnya barusan."Ya sudah sekarang kita pulang dulu, ayo." Aku menarik tangan Ayyara danmemaksanya pulang menaki motor yang kubawa."Aku akan pulang sendiri," tolaknya menepis tanganku kasar."Disini tidak aman untukmu Ayyara, tolong mengertilah maksud Tante, apa kamu mau Kevin datang lagi memukuli perutmu itu?!" sentakku agak kasar.Ayyara terhenyak, ia tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya duduk di belakang dan pulang bersamaku di motor Pak Oman.-"Ini Pak kuncinya, terimakasih," ucapku pada Pak Oman setelah kami sampai ke rumah. "Iya Nyah, sama-sama." Pak Oman mengangguk sungkan.Sementara kulih
"Ayo Ayyara sebelum kamu pingsan di sini kita harus pergi ke dokter, atau nanti Papamu akan tahu apa yang terjadi." Untunglah setelah kubujuk akhirnya Ayyara mau dibawa ke dokter malam itu juga, susah payah aku kembali memboncengnya di atas motor Pak Oman karena Pak David memang tidak menginap di rumah ini, jadilah tidak ada driver yang stand by di rumah kami saat malam menjelang pagi begini."Pegangan yang erat Yara, kamu pasti kuat.""Ya," jawabnya lemah. Tubuhnya menyender pada punggungku membuatku tidak bisa melajukan motor lebih kencang dari kecepatan rata-rata.Udara dingin menembus hingga tulang, baru kali ini aku mengemudi motor malam menjelang pagi buta begini dengan perasaan was-was, ya Allah baru saja beberapa jam yang lalu aku membonceng gadis ini untuk membawanya pulang dari club malam, sekarang aku harus memboncengnya lagi ke rumah sakit. Perasaanku tak tenang, aku takut sekali rasanya, bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Ayyara?-Kami sampai di sebuah rumah sakit,