Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Yara tidak mau ada ibu tiri di rumah ini."Brukk. Seorang anak perempuan berusia enam belas tahun berteriak dan melemparkan plastik bening berisi dessert box yang sengaja aku bawa."Astagfirullah." Hatiku mencelos, tapi tak sampai mengusap dada, aku tahu itu akan membuat mereka lebih tidak menyukaiku."Ayyara." Mas Nata memekikan suaranya hingga membuat kami semua yang ada di sana terhentak."Jangan kurang ajar," imbuhnya lagi dengan mata melebar bahkan nyaris seperti akan keluar dari tempatnya.Aku menatapi dessert box coklat yang sudah tercecer mengotori lantai rumah. Padahal sudah susah payah aku membuatnya sendiri untuk acara buka puasa bersama Mas Nata dan anak-anaknya, sekarang dessert boxnya harus terbuang sia-sia begitu saja."Yara tidak suka ada orang lain di rumah ini," tegas Ayyara, yang tak lain adalah putri pertama dari Mas Nata-calon suamiku."Tante Elia ini bukan orang lain, dia akan jadi mama kalian sebentar lagi, tolong kalian pahami maksud, Papa," bentak Mas Nata ta
Selesai salat maghrib Mas Nata mengajaku kembali menemui mantan istrinya di meja makan. Sementara anak-anak naik ke atas bersama calon ibu mertua."Niami Auristela Allisya Lesham," ucapnya, seraya mengulurkan tangan sehalus sutra padaku. Aku menarik napas panjang, kemudian menyambut uluran tangannya. "Elia." ucapku pendek."Hanya itu?" Niami menarik satu sudut bibirnya ke atas hingga terlihat senyuman sinis di wajahnya yang cantik nan bersih itu."Balgis Elia Bafaqih," ucapku lagi, menambahkan."Ch." Niami mendecih lau menjebikan bibirnya sedikit, kemudian melipat kembali dua tangannya di dada, ia lantas mengitariku dengan tatapan menyelidik.Mas Nata, lelaki dingin yang hari ini membawaku ke rumahnya memilih duduk di kursi makan dan membiarkan kami bicara berdua di sana."Kamu akan jadi ibu sambung anak-anakku, tolong pastikan penampilanmu setara dengan mereka," lontarnya membuat nyaliku semakin menciut.Aku meneliti penampilanku sendiri, rasanya tidak ada yang salah dengan apa yang
Entah mengapa wanita itu masih saja berhubungan layaknya keluarga dengan Mas Nata, bukannya tak boleh tapi melihat tingkahnya yang seperti itu aku takut Niami justru membuat hatiku semakin goyah dan bimbang."Ayo, Nyonya," ajak Bibik. Aku mengerjapkan mata dan buru-buru menutup pintu.Bibik mengajakku ke kamar tamu, ia menyuruhku untuk beristirahat di sana.Kutatapi kamar luas yang didominasi cat dinding berwarna putih dan list gold, ada beberapa furniture kayu dan ornamen jati yang disimpan di kamar ini, membuatnya terkesan sangat mewah kalau hanya untuk ukuran kamar tamu.Apa seberuntung itukah aku? Pantas saja ibu bilang aku tak boleh menolaknya, tapi meski begitu aku tahu alasan ibuku menerima pinangan Mas Nata bukan semata-semata hanya soal hartanya yang berlimpah, melainkan karena aku memang sudah waktunya berumah tangga. Teman-teman seusiaku bahkan sudah ada yang punya anak 2 atau bahkan 3."Nyonya, saya permisi ke dapur ya." "Iya Bi, terimakasih."Bibik kembali ke dapur untu
Aku melihat mata Niami mengerling, ia juga tampak menelan salivanya lalu menjatuhkan sendok dan garpu yang tengah ia pegang lantas mereguk segelas air hingga tersisa setengahnya saja.Melihat itu aku memilih menunduk menatap makanan yang ada di depanku lamat-lamat, aku merasa tidak enak hati sebab calon ibu mertua sudah memujiku di depan Niami. Aku tidak tahu seberapa besar kesalahan Niami di mata Mas Nata dan ibunya hingga mereka berdua bersikukuh ingin segera aku menggantikan posisi Niami di rumah ini."Ibu nyindir aku?" tanya Niami kemudian. Ia menatap tak suka pada calon ibu mertuaku."Memang kenyataannya seperti itu 'kan?" ketus calon Ibu mertua.Dreett.Niami bangkit dari kursinya, lalu pergi ke luar dengan wajah yang sudah merah padam."Mamaaa!" teriak Adira, si bungsu lantas berlari mengejar Niami."Sudah di sini saja, kalau Adira ikut Mama nanti Papa dan Omamu ngamuk-ngamuk," kata Niami."Tapi Adira mau ikut sama Mama, bawa Adira pergi, Adira mohon, Ma," rengeknya di bawah k
"Bu, bagaimana kalau Elia lihat Mas Nata dulu?" Aku meminta izin.Calon ibu mertua mengangguk. Sedikit ragu, namun kupaksakan kaki melangkah ke sana.Aku hanya berani berjalan sampai di bibir pintu, dari sana aku sudah dapat mendengar dan melihat sendiri Mas Nata sedang memarahi bahkan nyaris sedang memaki-maki anak lelakinya itu habis-habisan. Aku menarik napas berat, entah mengapa Mas Nata harus melakukan hal itu? Padahal semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Apakah ini perangai calon suamiku yang sebenarnya? Hatiku jadi makin ciut dan takut, pasalnya aku tidak pernah membayangkan akan punya seorang suami dengan watak yang keras seperti itu.Aku mengusap dadaku, segumpal daging di dalamnya tengah berdetak hebat tak beraturan. "Avin!!"Aku terperanjat mendengar Mas Nata berteriak sambil melayangkan tangan kanannya ke atas, sejurus dengan itu kakiku refleks berlari ke arahnya dan menahan tangan itu agar tidak mendarat di pipi Alvin."Apa-apaan ini, Mas? Tidak perlu seperti ini pada a
Ayyara menyipitkankan matanya saat mendengarku bertanya, tatapannya tidak berubah sejak tadi sore aku datang ke rumah ini. Masih menampakan kebencian dan ketidaksukaan padaku."Bukan urusanmu," decitnya. Gadis itu lantas menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya. Astagfirullah, aku mengelus dada, mencoba terus sabar memahaminya. "Non Yara memang sering pulang pagi, Nyah." Bibik berbisik di telingaku. Aku tertegun mendengarnya."Yang bener, Bik?" tanyaku tak percaya.Bibik menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, "sssttt, jangan bilang-bilang sama orang rumah, Nyah," bisik Bibik."Memangnya kenapa?" tanyaku heran."Non Yara mengancam Bibik seperti itu, kalau informasi ini sampai di telinga Tuan Nata dan Nyonya Amara, Non Yara akan memecat, Bibik," jawab Bibik serius.Aku menarik napas panjang, jadi selama ini Ayyara sering pulang pagi dan Mas Nata tidak tahu? Ya ampun, entah apa yang sudah dilakukan gadis itu di luar sana."Sejak kapan Ayyara sperti itu, Bik?" tanyaku lagi."Seja
Tak lama bibik datang membawa air es dan larutan air garam, segera kubawa Adira ke toliet untuk berkumur, setelah itu aku mengompres pipinya yang bengkak dengan air es. Sekitar 5 menit mengompres Adira mulai sedikit tenang, ia tak begitu histeris seperti tadi."Besok kita periksa ke dokter gigi ya sayang." Cepat Adira menggeleng, wajahnya tampak ketakutan, entah karena takut dengan dokter gigi atau karena ia takut pergi denganku."Pergi ya Nak. Mumpung ada Tante Elia yang antar," bujuk calon Ibu mertua.Untunglah, setelah dibujuk oleh beliau akhirnya Adira setuju akan pergi ke dokter gigi."Terimkasih ya, Nak. Kalau tidak ada kamu entah Adira bagaimana, sakit giginya sudah lama tapi Ibu tidak bisa membawanya ke dokter, jangankan pergi ke dokter jalan ke depan rumah saja rasanya kadang tidak kuat, maklum sudah tua," ujar calon Ibu mertua. Aku mengulum senyum sungkan, "tidak apa-apa Bu, ini memang akan jadi tugas Elia 'kan?""Oh ya Bu, memangnya Mas Nata tidak tahu soal ini?" imbuhku