Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat

Dicampakkan Suami, Dinikahi Konglomerat

last updateHuling Na-update : 2025-07-07
By:  TrianaROngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
6Mga Kabanata
6views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

CERITA INI SEQUEL DARI CERITA "TERJERAT MENIKAH DENGAN PRIA LUMPUH" Hidup Berlian hancur setelah melahirkan. Bayinya dinyatakan meninggal dunia, tapi ia tak diizinkan melihatnya, bahkan tak tahu di mana anak itu dimakamkan. Tak hanya itu, sang suami justru berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri, lalu mengusirnya dari rumah saat tubuhnya masih lemah pasca operasi. Saat hidupnya seolah tak ada harapan, takdir membawanya bertemu seorang pria konglomerat yang tengah mencari ibu susu untuk bayi laki-lakinya. Berlian menerimanya demi bertahan hidup, tapi siapa sangka pertemuan itu justru membuka jalan menuju rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya. Baca dan ikuti terus kisah ini ya

view more

Kabanata 1

Part 1. Bayinya Meninggal

Part 1

“Bayi Anda meninggal dunia, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik …”

Ucapan itu terasa seperti palu godam yang menghantam dada Berlian. Tubuhnya masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, mata sayu dan sembab karena belum sempat tidur sejak kontraksi semalam.

Dia menoleh pelan, seolah berharap mendengar kalimat lanjutan yang menenangkan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tapi tidak ada. Hanya tatapan dingin dari Leo, suaminya, yang berdiri kaku di samping ranjang.

“A-apa?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Tidak mungkin … tidak … Aku, aku dengar tangisnya tadi … aku dengar ...”

Perawat yang berdiri di sampingnya menunduk dalam. “Itu tangisan sesaat, Bu. Bayinya lahir prematur. Parunya belum sempurna. Kami mohon maaf …”

Air mata jatuh begitu saja, membasahi pipi pucatnya. Tangan Berlian menggenggam selimut rumah sakit erat-erat, gemetar hebat. Dia bahkan belum sempat menyentuh anaknya. Belum sempat memberi nama. Belum sempat membisikkan doa.

"Aku ingin memeluknya … aku ingin menggendong anakku … Sus, bolehkah aku melihatnya?" Suaranya terhenti oleh tangis parau.

“Untuk apa?” sela suara seseorang dengan tajam.

Ibu mertua Berlian melangkah masuk ke kamar dengan wajah sinis dan mata yang dipenuhi kilat amarah. Dan saat itu sang perawat justru memilih pergi meninggakkan ruangan.

“Anakmu bahkan nggak sempat hidup. Anakmu sudah mati, Berlian! Sudah mati! Kamu pikir kamu layak dipanggil ibu?”

Berlian terdiam. Nafasnya tercekat. Luka di tubuhnya belum kering, dan kini luka baru dibuka lebar-lebar tanpa jeda.

“Sudah kubilang dari awal, kamu itu perempuan pembawa sial. Baru beberapa tahun menikah, bisnis anakku seret, dan sekarang cucuku mati. Ini pasti karena kamu!” lanjut ibu mertua sambil menunjuk wajah Berlian dengan telunjuk gemetar.

Leo tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, seperti boneka tak bernyawa.

Air mata menetes di pipi Berlian, namun dia tak lagi punya tenaga untuk membela diri. Semua terasa kosong dan hampa.

“Ini semua gara-gara kamu. Karena kamu anakku menderita!”

“Bu, cukup ...” lirih suara Berlian akhirnya pecah, namun justru membuat amarah perempuan itu semakin membara.

“Cukup?! Kamu mau menyangkalnya? Kamu itu bukan siapa-siapa, Berlian! Kalau saja kamu lebih berguna sedikit saja sebagai istri—”

BRAK!

Tiba-tiba suara bangku kecil di sudut ruangan terguling ke lantai. Leo akhirnya beranjak. Tapi bukan untuk memeluk Berlian, bukan untuk menenangkan ibunya, melainkan melangkah keluar tanpa sepatah kata.

Berlian terpaku. Bahkan pria yang mengucap janji akan menjaganya kini memilih pergi.

Di tengah keheningan, seorang perawat muda masuk membawa sesuatu dalam kotak kecil yang tertutup kain bersih.

“Bu Berlian …” katanya dengan suara hati-hati, menahan napas. “Ini … barang terakhir milik putra Ibu.”

Ia meletakkan kotak itu di pangkuan Berlian dengan sangat hati-hati.

Berlian membukany, di dalamnya terlipat rapi selimut bayi berwarna putih susu, yang masih menyisakan aroma lembut dari ruang bersalin. Selimut itu hanya sempat membungkus tubuh mungil putranya selama beberapa menit terakhir hidupnya.

Berlian menatapnya tanpa berkedip. Tangannya yang gemetar menyentuh kain itu, mengusapnya perlahan, lalu menariknya erat ke dadanya.

Tangisnya pecah, menyesakkan dada.

“Maafkan Mama, Nak …” ucapnya parau. “Maafkan Mama nggak bisa jagain kamu … Mama belum sempat peluk kamu …”

***

Tiga hari kemudian.

Dokter datang ke kamar rawat dengan senyum tipis.

“Bu Berlian, kondisi Ibu sudah cukup stabil. Kami izinkan pulang hari ini. Tapi pastikan tetap istirahat total di rumah ya.”

Berlian mengangguk pelan.

Sejak kemarahan ibu mertuanya hari itu, tidak ada satu pun anggota keluarga yang datang menengoknya. Bahkan suaminya, Leo, tak pernah muncul lagi. Tidak ada bunga, tidak ada pesan ataupun dukungan.

Dengan tangan lemas, Berlian meraih ponsel dari meja kecil di samping tempat tidur. Ia membuka daftar kontak dan menatap nama “Suamiku" cukup lama, sebelum akhirnya menekan tombol panggil.

Nada sambung terdengar. Sekali. Dua kali. Enam kali. Tidak diangkat.

Berlian menutup panggilan. Ia menarik napas panjang. Lalu mengetik pesan.

[Mas, hari ini aku sudah diperbolehkan pulang. Apa kamu nggak jemput aku?]

Jari-jarinya gemetar saat menekan tanda kirim. Ia menunggu. Menunggu lebih dari sepuluh menit. Hingga dua puluh menit. Dan akhirnya, ponselnya bergetar.

Satu balasan dari sang suami.

[Aku sibuk. Ada meeting sama klien. Kamu bisa pulang sendiri, pesan taksi. Tagihan rumah sakit udah aku bayar.]

Berlian menatap pesan itu lama sekali. Detik demi detik, huruf-huruf itu terasa seperti jarum yang menusuk hatinya.

'Kamu bisa pulang sendiri.'

Tangannya perlahan turun, memeluk perut kosong yang dulu pernah menampung kehidupan.

Air matanya jatuh lagi. Ia menggigit bibirnya berusaha menahan isak.

“Aku bahkan kehilangan anak kita, Mas … Tapi kamu selalu sibuk …”

Dengan langkah limbung, Berlian bangkit dari bed pasien. Ia membereskan barangnya sendiri. Memanggil perawat untuk sedikit membantunya. Tak ada pelukan, tak ada jemputan, tak ada tangan yang menguatkan.

Seolah alam pun ikut bersedih.

Langit mendung menumpahkan hujan sejak Berlian keluar dari Rumah Sakit. Derasnya air membasahi kaca taksi yang membawanya pulang.

Berlian berdiri di ambang pintu rumah besar yang ia tinggali. Tangannya gemetar menggenggam plastik obat dan map berisi dokumen rumah sakit. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena basah kuyup tapi karena luka operasi sesar yang masih perih, setiap ia bergerak.

Dengan napas berat, ia menekan bel. Ding dong.

Ia menunggu beberapa saat. Hujan masih deras. Kakinya mulai dingin dan berat. Namun matanya berbinar ketika akhirnya pintu terbuka.

Sosok Leo muncul di ambang pintu.

Tapi tak ada pelukan. Tak ada sambutan yang hangat. Wajah Leo begitu dingin.

“Kamu ngapain datang ke sini?” tanya Leo singkat.

Berlian terdiam tak mengerti. “Mas ..."

Leo menghela napas kasar. “Kamu harusnya tahu diri. Jangan bawa sial kamu ke sini. Ini bukan rumahmu lagi.”

Petir menyambar, membuat suara Leo terdengar makin menggema di telinga Berlian. Dia terdiam sejenak, menatap wajah suaminya, mencari sisa kasih yang pernah membuatnya jatuh cinta. Tapi yang dia lihat hanya kebencian yang tak pernah ia mengerti dari mana asalnya.

“Mas, kenapa tega?” tanyanya pelan.

“Jangan menyalahkan aku atas semua ini. Kamu udah gagal jadi istri. Dan juga gagal jadi ibu,” balas Leo tajam.

Ucapan itu menohoknya begitu keras. Berlian nyaris tak bisa berdiri. Tapi belum sempat ia membalas, sebuah suara lain terdengar dari dalam rumah.

“Ada siapa sih, Mas…?”

Sebuah langkah ringan terdengar menghampiri, lalu muncullah seorang perempuan cantik, rambutnya dikuncir asal-asalan, tubuhnya hanya dibalut baju tidur tipis transparan berwarna peach.

Berlian membeku. Matanya membelalak. Napasnya tercekat.

Perempuan itu berdiri di belakang Leo, menggelayut di lengannya, menyandarkan dagu manja ke bahu pria itu.

“Oh …” Perempuan itu terkekeh kecil saat melihat Berlian.

Leo tak berkata apa-apa. Tapi diamnya sudah cukup jadi jawaban.

Berlian mematung. Setetes air hujan jatuh dari ujung hijabnya yang basah, menyatu dengan air mata yang kini tak bisa lagi ia bendung.

Tubuhnya bergetar hebat. Luka sesar terasa makin ngilu, tapi lebih menyakitkan lagi adalah luka yang barusan diiris tajam oleh suaminya sendiri.

“Mas …” Suaranya bergetar. “Aku baru kehilangan anak kita. Dan sekarang kamu--”

“Cukup!” potong Leo. “Kalau kamu mau tinggal di rumah orang tuamu lagi, silakan. Tapi jangan pernah datang ke sini lagi. Aku sudah capek. Kita pisah saja!”

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
6 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status