Seakan ada yang menusuk ke jantung hatiku. Rasanya sakit mendengar hinaan dari suamiku sendiri. Sangat sakit. Hal ini makin membuatku bertekad untuk segera pulang.
Aku berlalu ke kamar. Tanpa terasa kristal bening ini jatuh berderaian di pipi. Allah, tolong hambamu ini ...
"Bunda, kenapa nangis?" tanya Daffa sambil mengusap lembut pipiku.
"Nenek sedang sakit di kampung, Nak. Tapi kita gak bisa pulang. Uang simpanan bunda masih kurang buat beli tiket pesawatnya."
Daffa-Daffi langsung memelukku. Entah kenapa hatiku makin terkoyak. Sakit sekali.
"Bunda jangan sedih ya, kami pasti akan doakan nenek supaya cepat sembuh."
"Iya, sayang."
Lama aku berpikir. Apa yang harus kulakukan? Apa aku kirim uang saja untuk berobat ibu? Jadi aku gak perlu pulang?
'Mbak, apa mbak gak bisa pulang? Ibu sangat rindu sama mbak. Sekarang ibu sedang sakit mbak, udah
"Tapi, Nak--""Bunda, ayo! Mumpung ada om baik," celetuk Daffi seraya menarik tanganku.Mas Denny hanya tersenyum melihat tingkah anak-anakku."Pak Wid, kita anterin teman saya dulu ya," titah Mas Denny pada sopirnya."Baik, Mas. Kita mau kemana ya, Mbak?""Desa Siayuh, Pak.""Mas, desa itu jauh sekali dari sini, bisa-bisa kita kemalaman disana.""Tidak apa-apa, Pak. Saya masih punya banyak waktu luang," jawab Mas Denny dengan tenang.Pak sopir mengangguk dan mulai menjalankan setir bundar itu. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, bersiap menuju kampung halamanku.Kampung halamanku memang sangat jauh dari kota, mungkin bisa dikatakan desa terpencil. Butuh waktu enam jam perjalanan agar bisa sampai disana. Kondisi jalan tidak beraspal dan penuh dengan batu. Desaku sangatlah berbeda, tak seperti di kota yang semuanya serba
Deg! Jantungku berdetak dengan cepat. Firasat seorang ibu memang tak pernah salah. Apakah harus kukatakan semua tentang Mas Haikal? Tapi aku takut badan ibu makin drop. Aku memandang ke arah bapak."Ibu, ibu coba ibu lihat, ini anak-anak Mila, cucu kita. Lucu-lucu kan mereka?" Bapak mendekat sembari menggandeng si kembar."Nah, Daffa-Daffi ini nenek. Beri salam pada nenek," sergah bapak.Si kembarku mencium punggung tangan neneknya. "Assalamualaikum, Nek."Ibu tersenyum sembari mengangguk lemah. "Waalaikum salam.""Ini yang digendongan Wulan juga cucu dan ibu lho!""Boleh ibu menggendongnya?" tanya ibu dengan lirih. Ibu bangkit dari tidurnya dan duduk.Wulan mendekat, dia menyerahkan Alina pada ibu. Ibu tersenyum. Meskipun tangannya gemetaran, ibu tampak antusias memangku cucunya."Alina cucu nenek, cantik sekali kamu, Nak," puji Ibu sambi
Rasa letih begitu mendera. Beberapa hari terakhir ini rasanya begitu menyiksa. Semenjak terluka karena dikeroyok preman, badan jadi sering sakit. Apalagi uangku sudah ludes tak bersisa. Untuk akomodasi aku sampai meminjam uang Farhan. Malu sebenarnya, tapi dari pada kelaparan terpaksa aku meminjam uangnya.Mentari sore di ufuk barat, bersiap untuk bersembunyi ke peraduan. Menjelang maghrib, aku baru pulang ke rumah.Berharap istri dan anakku menyambut di teras, namun harapan itu hanya semu belaka. Rumah seperti tempo hari, gelap dan sepi. Apakah Mila dan anak-anak sedang pergi lagi? Jangan-jangan menemui laki-laki itu?Gegas aku membuka kunci rumah. Semua ruangan begitu gelap. Kunyalakan saklar lampu, akhirnya ruangan jadi terang. Kondisi rumah begitu sunyi senyap seperti tempo hari. Kenapa aku merasa dejavu?Ruangan tampak begitu rapi, tak ada perabot ataupun mainan yang berserakan. Bersih layaknya tak be
Rasa kesal langsung merajai diri. Bisa-bisanya istriku pergi dengan orang lain. Langsung kuhubungi nomor asing itu, ia dapatkan dari mana dan siapa dia sebenarnya, namun sayang panggilanku tidak digubrisnya.Tak lama pesan dari nomor itu datang lagi.[Jangan percaya sepenuhnya pada istri yang dianggap polos, justru dia bisa jadi boomerang untuk dirimu sendiri][Siapa kamu? Jangan fitnah! Kalau berani angkat telepon saya!][Kau tak perlu tahu siapa saya, akan saya kirimkan gambar lain yang lebih membuatmu tercengang]Selang beberapa detik, pesan itu datang lagi, berisi kiriman foto antara Mila dan juga Denny. Foto yang pertama tadi dipotret dari jarak yang jauh hingga terlihat jelas kalau mereka sedang berada di Bandara.Ting! Satu foto Mila dan Denny tengah bersama, mereka tampak akrab.Ting!Satu foto lagi Denny sedang menggandeng si kembar Daf
"Apa maksudmu, Mil?"Mila terdiam, tangannya begitu cekatan membuatkan teh manis untukku."Ini diminum dulu, habis perjalanan jauh pasti kamu capek," ujar Mila. Ekspresinya tampak begitu dingin.Aku memandang sekeliling, bangunan ini masih tampak seperti dulu, tak ada yang berubah. Sedari tadi bapak dan ibu tak terlihat di rumah. Denny juga sepertinya sudah pergi tak kutemui disini, apa mereka cuma kebetulan bersama?"Bapak sama ibu mana, Mil?" tanyaku sembari menyeruput teh yang masih panas itu."Bapak ada di kebon, lagi cari sayuran sama singkong. Kalau ibu ada di makam.""Apa maksudmu, Mil? Ngomong yang jelas dong.""Mas, ibu sudah meninggal," ucap sebuah suara dari belakang. Aku menoleh, Wulan mendekat sembari menyerahkan Alina pada Mila."Meninggal?"Wulan mengangguk. "Iya, ibu sudah meninggal kemarin. Setelah Mbak Mi
"Pak, aku minta maaf. Tapi kedatanganku kesini untuk menjemput mereka pulang. Bapak seharusnya tidak mencampuri urusan rumah tangga anak bapak sendiri. Ini masalah aku dan Mila, Pak!""Begitu kah menurutmu, Mas? Kalau gitu kamu juga harus bilang pada ibu supaya tidak mencampuri urusan rumah tangga kita," sanggah Mila."Tapi itu berbeda, Mil.""Kenapa berbeda? Apa kamu mau bilang biarpun sudah menikah anak laki-laki tetap milik ibunya?""Mil--""Sudahlah Mas, aku sudah bosan mendengar kata-kata andalanmu itu. Aku kurang sabar apa coba? Dulu aku tak pernah mempersoalkan nafkah yang diberikan untukku. Aku tak pernah mengungkit-ungkit hal itu. Aku tak apa-apa. Tapi sikapmu yang tak adil membuatku berontak. Untuk istri dan anak-anakmu kau begitu pelit sedangkan untuk ibu dan saudaramu kau begitu loyal. Jujur aku iri. Sebenarnya kamu menganggap aku apa, Mas?"Sekarang Mila justr
Terpaksa aku ikut kembali bersama Mas Haikal. Dia mengancam akan memisahkanku dan anak-anak. Aku benar-benar takut Mas Haikal akan merealisasikan ancamannya itu. Dia berduit, hal apapun bisa dia lakukan termasuk menyewa pengacara mahal untuk memojokkanku. Sedangkan aku? Aku belum punya persiapan atau kekuatan apapun untuk melawannya. Harus kuurungkan niat kembali untuk berpisah dengannya. Aku tak ingin anak-anak tumbuh tanpa mengenalku. Aku tak ingin mereka tersiksa."Pak, maaf. Mila memilih kembali bersama Mas Haikal, tolong doakan Mila agar Mila kuat. Doakan juga agar Mas Haikal benar-benar bisa berubah," lirihku saat berpamitan dengan bapak."Bapak yakin kamu bisa melewatinya dengan baik. Terus berdoa pada Allah, sang Maha pembolak-balik hati. Jangan menyerah ya Nak. Demi anak-anakmu kamu pasti kuat."Aku mengangguk, walaupun sebelah hatiku merasa perih."Wulan, kamu nanti bikin nomor rekening ya.
Selalu saja itu yang ibu ucapkan sebagai kalimat andalannya. Aku sampai bosan mendengarnya.Aku berjalan menghampiri mereka sembari meletakkan masakanku diatas meja. Sayur asem, ikan goreng, tempe dan tahu, lalapan, sambal terasi yang menggugah selera."Bu, memang benar apa yang ibu katakan. Biarpun sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kewajibannya sebagai seorang suami yang utama adalah menafkahi istri dan anaknya, baru kerabatnya yang lain. Kalau ibu belum paham bisa tanyakan hal ini pada pak ustadz," selaku.Ibu menatapku tajam. "Kamu gak usah ikut campur, Mil! Sok tahu kamu!""Sudah Bu, sudah! Aku tidak ingin berdebat lagi dengan ibu. Maaf, bulan ini aku tidak bisa ngasih ibu uang, habis buat bayar utang. Udah ibu pulang aja.""Ck!" Ibu berdecak kesal. Ia kemudian melenggang pergi, tapi tiba-tiba kembali lagi."Mil, bungkusin lauk