Share

BAB 6 Siapa yang Melukai Febby?

“Jawab sayang! Siapa yang melakukan ini padamu?” tanya Kenny penuh intonasi.

Febby terdiam dan menundukkan kepala. Terlintas kembali di pikirannya tentang kejadian tadi siang. Dia dikeroyok oleh dua wanita yang tentu Kenny juga kenal.

“Febby, kamu mendengarkan aku, kan?”

“Sudahlah Mas, aku tidak apa-apa kok. Hanya kepentok meja dan kepleset tadi.”

“Hmm..” Kenny mengerutkan keningnya.

Sejurus kemudian, Kenny meraih dagu Febby dan memperhatikan wajah istrinya tersebut dengan detail.

“Kamu mau jujur atau aku yang tanya orang rumah. Kalau tidak terjadi apa-apa, kenapa kamu begitu kuat ingin menyembunyikan wajahmu?”

“I-itu karena aku tidak mau kamu khawatir. Sungguh aku tidak apa-apa, Mas.”

“Apa orang rumah sudah tahu wajahmu bengkak dan luka begini?” tanya Kenny.

Febby kembali mendadak diam mematung. Dia bingung apa yang harus dijawabnya.

“Oke, sepertinya aku memang harus bertanya pada yang lain. Aku tidak mau ada orang berprasangka  tentang rumah tangga kita,” terang Kenny sambil berjalan menuju pintu kamar untuk keluar.

“Mas.. Mas Kenny tunggu, Masss..”

 Tanpa menghiraukan panggilan Febby, langkah kaki Kenny terus menjauh. Dia menuruni anak tangga dengan cepat.

Terlihat di ruang makan, anggota keluarga Maharendra telah berkumpul sambil menikmati makan malam bersama. Memang sangat jarang mereka dapat melakukan hal seperti ini, mengingat kesibukan mereka yang berbeda-beda dan menyita waktu.

“Kenny, Papah pikir kamu tidak turun untuk makan,” ucap Hendri Juan.

“Makanlah, Nak. Kamu pasti lelah seharian bekerja,” imbuh Laras.

“Febby tidak ikut turun, Ken?” tanya Ronald sambil meneguk air minum.

Kenny menarik kursi dan mulai menuang makanan di atas piringnya. Dia menatap satu persatu anggota keluarga yang melingkar di meja makan.

“Ada apa?” tanya Ronald heran.

“Febby kurang enak badan. Ada yang tahu kenapa wajah Febby bengkak dan terdapat luka-luka?” tanya Kenny.

“Uhuk.. uhuuk.. luka? tadi siang Mamah lihat wajah istrimu baik-baik saja,” ucap Laras sambil menghentikan makannya.

“Seperti habis bertengkar dan dipukuli seseorang. Aku tahu betul efek pada kulit wajah seperti apa,” Kenny menegaskan.

Sontak Ronald melirik kearah Tantri yang masih asik mengunyah makanan, tanpa mempedulikan pertanyaan Kenny.

Entah mengapa suasana hati Ronald menjadi tidak tenang. Dia tahu betul bagaimana sikap Tantri pada adik iparnya yang selalu sinis dan kasar.

“Tantri, apa seharian ini kamu bersama Febby?” tanya Ronald.

“A-aku..? ya tentu saja tidak. Maksudmu apa bertanya seperti itu, Mas?”

“Kenapa kamu marah? Aku hanya bertanya.”

“Istrimu bersama Mamah ke salon tadi siang, Ronald,” Laras mengambil alih.

“Nah, kamu sudah mendengar apa kata Mamah, kan.”

“Biii.. Bibiiii..” teriak Hendri Juan.

Sejurus kemudian Laras dan Tantri saling melempar pandang. Wajahnya mendadak tegang karena mereka menyadari bahaya jika Hendri Juan mengetahui apa yang terjadi pada Febby, pastilah riwayat mereka tamat.

Laras dan Tantri terlihat gusar dan terus berpura-pura sibuk dengan makanannya. Beberapa kali Tantri menelan ludah dan meneguk air mineral di hadapannya, hanya untuk meredakan ketegangan.

“Iya Tuan..”

“Bi, tolong jawab jujur. Saya ingin kamu jelaskan apa yang terjadi pada Febby saat kami semua tidak ada di rumah?” tanya Hendri tegas.

Suasana menjadi hening. Mereka menunggu jawaban dari bibi yang sudah pasti tahu kronologi kejadiannya.

Kenny meletakkan sendok dan garpu, lalu menopang dagu seraya menunggu jawaban dari asisten pribadi istrinya tersebut.

Sorot mata bibi beralih ke arah Laras dan Tantri, lalu kembali kepada Hendri Juan.

“Tadi siang.. Umm..”

“Iya kenapa istriku tadi siang, Bi?” Kenny tidak sabar mendengarnya.

“Tadi siang Nona Febby terpeleset di kamar mandi, Tuan,” jawab bibi sambil menundukkan kepala.

“Jadi terjatuh, kok bisa? Bicaralah yang jelas, Bi!” Kenny mulai mendesak.

“Sabar Ken. Itu Bibi lagi menjelaskan,” ucap Ronald.

“Non Febby terburu-buru memasuki kamar mandi. Saat itu Bibi sedang mengambil makanan di bawah. Ketika Bibi kembali ke kamar, Non Febby sudah terduduk di lantai. Katanya habis jatuh, kepalanya kepentok tembok dan washtafel, Tuan.”

Seketika Laras dan Tantri menghembuskan napas lega secara bersamaan. Ketegangan yang sempat dirasakan tadi, mulai berangsur normal. Jari-jari tangannya yang dingin kembali menghangat dan sesak di dada mereka mulai mereda.

‘Ternyata pembantu ini bisa juga bersandiwara. Aku pikir dia akan berkata jujur. Entahlah, apa yang sudah diberikan oleh Mamah sampai Bibi bisa mengarang bebas,’ gumam Tantri sambil tersenyum sinis.

“Ya mungkin itu yang membuat wajahnya terluka, Ken,” Ronald menanggapi.

“Iya mungkin, Bang.”

“Ya sudah kita lanjutkan makan lagi. Nanti juga sembuh kok,” potong Laras.

“Besok kalau masih bengkak, bawa saja istrimu ke klinik biar diobati. Rontgen juga, takutnya terjadi apa-apa pada tulang wajahnya,” titah Hendri Juan.

“Ah tidak perlu itu, pah. Gak lama juga pasti sembuh. Pakai salep dan kompres saja cukup,” ucap Laras.

“Tidak-tidak, besok bawa Febby ke klinik atau rumah sakit untuk rontgen. Mungkin Mamah atau Tantri bisa temani kalau Kenny sibuk,” titah Hendri.

Sontak bola mata Laras dan Tantri membesar. Bagaimana mungkin mereka mau berbesar hati mengantarkan orang yang paling dibenci di keluarga Maharendra untuk berobat.

“Bi, lain kali tolong jaga Febby. Bibi kan bekerja disini untuk menjadi asisten pribadi istriku, jadi beritahu aku jika terjadi sesuatu padanya. Jangan sampai hal ini terulang kembali.”

“Baik Tuan Kenny, maafkan Bibi.”

Setelah beberapa menit suasana makan malam tampak menegangkan, akhirnya Hendri Juan dan kedua anaknya beralih kepada pembicaraan lain mengenai rencana esok hari untuk bertemu klien.

Sementara itu, Laras dan Tantri pamit lebih dulu untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Mereka berjalan beriringan menuju lantai dua.

“Mah, maaf aku ingin bertanya. Memang Mamah sudah memberi atau menjanjikan apa pada Bibi, sampai-sampai dia bisa bersandiwara seperti itu?” tanya Tantri penasaran.

“Maksudmu? Mamah tidak ada ngomong apa-apa. Hmm.. tapi benar juga. Sebelum Mamah istirahat, coba kamu panggil Bibi,” ucap Laras sambil berbisik di tangga yang cukup megah.

“Baik Mah. Tadi aku tegang sekali. Aku takut Papah tahu atas kejadian siang tadi. Padahal maksud aku dan Aurel baik loh ingin menasihati Febby, tapi anak itu malah berulah.”

“Sudah Mamah katakan gadis kampung itu tidak bisa menjadi perempuan berkelas. Parahnya suamiku dan putraku terus membelanya. Jadilah tingkah Febby semakin liar. Cepat kamu panggil Bibi, dan bawa ke kamar Mamah. Pastikan suasana aman.”

Secepat kilat Tantri beranjak untuk memanggil Bibi. Setelah beberapa menit menunggu, sesuai arahan ibu mertuanya Tantri meminta Bibi mengikutinya ke kamar Nyonya besar tersebut.

Pintu kamar diketuk dan mereka berdua masuk.

“Bibi, aku apresiasi sandiwaramu tadi. Kamu memang bisa diandalkan untuk menjaga ketentraman keluarga ini. Pilihanmu tepat untuk tidak memihak Febby, gadis kampung pembuat onar,” ucap Laras sambil tersenyum puas.

“Betul. Aku tidak menyangka ternyata kepolosanmu itu membawa untung, Bi. Mereka semua percaya,” imbuh Tantri.

“Ini untukmu, ambillah.”

Tiba-tiba Laras memberikan sebuah amplop cokelat yang cukup tebal kepada Bibi. Seketika bola mata Bibi membesar. Sambil mematung Bibi menatap amplop tersebut dengan gusar.

“AYOO AMBIL! Ini kan yang kamu inginkan. Tenang, kamu sudah berada dipihak yang benar!” titah Laras sekali lagi.

Glek..

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status